fbpx
#40HKS Bagian 1 – Beratnya Kezaliman dalam Islam

#40HKS Bagian 1 – Beratnya Kezaliman dalam Islam

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 1

BERATNYA KEZALIMAN DALAM ISLAM

 

Dari Abu Dzarr Al-Ghifari h, dari Nabi ﷺ bahwa di antara sabdanya yang diriwayatkan dari Rabb-nya, Dia berfirman: “Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan telah mengharamkannya di antara kamu, maka janganlah sebagian kamu menzalimi sebagian yang lain.”

 

SAYA INGIN MEMULAI bab ini dengan memulai dengan kutipan yang luar biasa dari Syed Ja’far Raza, yang menulis buku berjudul The Essence of Islam:

Jika saya diminta untuk meringkas prinsip-prinsip Islam dan esensi Islam, saya akan mengatakan itu adalah keadilan. Islam identik dengan keadilan. Adil kepada Sang Pencipta dengan menyembah-Nya dan menaati perintah dan perintah-Nya. Karena Dia adalah Yang Maha Adil. Adil kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan mengikutinya karena dia mewakili otoritas Tuhan di bumi. Adil kepada diri sendiri dengan menjaganya agar aman dari dosa dan keegoisan. Adil kepada tubuh dengan menjaganya tetap sehat dan bebas dari kelelahan dan penyakit yang tidak semestinya. Adil kepada jiwa dengan menjaganya tetap murni dengan kesalehan.

Adil dalam lingkup keluarga, adil kepada orang tua karena mereka telah berperan dalam menganugerahkan keberadaan kita. Adil kepada pasangan yang berbagi beban membesarkan keluarga. Adil kepada keturunan karena mereka adalah perpanjangan dari kehidupan kita sendiri dan memotivasi mereka untuk mengambil keputusan yang tepat dalam hidup. Adil kepada tetangga kita dengan berbagi dengan mereka di saat-saat sulit.

Adil kepada orang yang sakit dengan membantu mereka memulihkan kesehatan. Adil kepada orang yang tertindas dan miskin dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Adil kepada ibu pertiwi dengan menikmati keharuman jiwanya dan mencintai serta memajukan kemakmurannya serta siap berkorban untuknya. Adil kepada umat manusia dengan berkontribusi pada perkembangannya. Adil kepada ilmu pengetahuan dengan menyebarkannya jauh dan luas dengan memungkinkan umat manusia menikmati buahnya tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, keadilan adalah dasar dari prinsip-prinsip Islam dan menempati tempat disamping Tauhid.

Saya rasa kutipan ini memberikan pandangan komprehensif tentang pentingnya keadilan dalam Islam dan bagaimana keadilan mencakup semua yang kita lakukan setiap hari. Ini adalah cara yang tepat untuk memperkenalkan subjek yang akan kita bahas dalam bab ini: beratnya kezaliman (ketidakadilan) sosial.

Topik ini berdasarkan pada Hadits Qudsī (bentuk Hadits yang paling kuat; diriwayatkan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ atas nama Allah).

Abu Dzarr h meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Allah berfirman: “Hai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman bagi diri-Ku dan Aku telah mengharamkan kezaliman di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (Muslim)

Hadits ini dengan tegas menyampaikan bahwa segala bentuk penindasan tidak diterima oleh Allah –baik terhadap Diri-Nya sendiri maupun terhadap ciptaan-Nya.

Imam Ahmad r melanjutkan perkataannya tentang hadits ini, bahwa hadits ini adalah hadits paling mulia yang pernah diriwayatkan oleh penduduk Syam (Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon semuanya adalah bagian dari Syam). Ia juga menyebutkan bahwa ketika sebagian ulama seperti Abu Idris meriwayatkan hadits ini, mereka akan berlutut sebagai sarana untuk menunjukkan kerendahan hati dan kelemahan mereka di hadapan Allah. Hadits ini sendiri menetapkanp paradigma bahwa Tuhan bersikap baik kepada kita, maka kita pun diharapkan untuk bersikap baik kepada sesama.

Ada pula banyak pelajaran lain yang dapat kita petik dari hadits ini, selain pesan yang jelas tentang larangan kezaliman (penindasan), sebagaimana akan kita bahas di bawah ini:

  • Kalaulah ada yang berhak “berbuat zalim”, maka itu adalah Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi-Nya. Allah memiliki kekuasaan yang tidak terbatas.

Siapakah yang dapat memerintahkan sesuatu kepada Allah kecuali Diri-Nya sendiri? Dia memilih untuk tidak berbuat zalim, Dia telah melarang kezaliman bagi Diri-Nya sendiri; Dia telah melarang Diri-Nya sendiri untuk menzalimi ciptaan-Nya. Dan dalam kemuliaan-Nya, Dia hanya memerintahkan dua hal untuk Diri-Nya sendiri. Satu adalah agar Dia dan para Malaikat-Nya mengirimkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dan karena ini diamanatkan kepada Allah dan para Malaikat-Nya oleh Diri-Nya sendiri, kita juga diharapkan untuk mengirimkan kedamaian dan berkah kepada Rasulullah ﷺ; itu adalah pernyataan yang kuat yang menempatkan perintah Allah dalam perspektif bagi kita. Kita tidak dapat memiliki argumen apa pun untuk tidak mengirimkan shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dan yang kedua adalah apa yang telah disebutkan: Allah telah melarang kezaliman bagi Diri-Nya sendiri dan melarang kita untuk menindas satu sama lain.

Ibnu Rajab menjelaskan kepada kita bahwa ada tiga pendekatan terhadap situasi apa pun: kezaliman, keadilan, dan rahmat. Allah telah menegaskan bahwa Dia tidak akan berbuat zalim; bahkan ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk terburuk di antara ciptaan-Nya (misalnya Firaun yang telah menganiaya sebuah bangsa secara keseluruhan).

Mengenai keadilan, Allah menggunakannya dan akan menggunakannya ketika diperlukan. Pada Hari Pengadilan misalnya, mereka yang akan menerima hukuman akan diperlakukan dengan seadil-adilnya; tidak akan ada unsur kezaliman atau hukuman tambahan. Mereka akan dihukum sesuai dengan kesalahan yang telah mereka lakukan – Allah tidak akan menzalimi siapa pun di hari itu, dan Dia tidak akan membiarkan kesalahan yang telah dilakukan terhadap siapa pun dilupakan.

Dan terakhir, rahmat adalah sesuatu yang dicintai Allah. Allah memberikan rahmat tambahan kepada mereka yang bertakwa dan berusaha untuk menaati Allah sebaik-baiknya. Dia telah memudahkan kita untuk melipatgandakan pahala kita dengan amal-amal baik kita, semua itu berkat Rahmat-Nya.

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang di dalamnya Nabi Muhammad ﷺ meringkas hal ini dengan sempurna: “Seandainya Allah menyiksa seluruh penghuni langit dan bumi, niscaya Dia menyiksa mereka tanpa berlaku zalim kepada mereka. Dan jika Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya senantiasa lebih baik dari amal mereka.”

Meskipun pada awalnya kita mungkin terkejut dengan perkataan, “Seandainya Allah menghukum seluruh penghuni langit dan bumi,” penting untuk diingat bahwa Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak akan mampu menandingi apa yang Allah lakukan untuk kita, namun Allah memilih untuk tidak menghukum semua orang.

  • Pelajaran lain yang dapat kita ambil dari sini adalah makna penindasan (zhulm) dan apa yang dikatakan Islam tentang hal itu. Kata zhulm dalam arti teknis dalam bahasa Arab berarti ketidakadilan, dan dalam Islam berarti salah menempatkan hak. Atau dengan kata lain, meletakkan sesuatu pada tempat yang tidak seharusnya.

Secara bahasa, zhulm ada dua jenis: bertindak terlalu jauh atau berlebih, atau menahan terlalu banyak atau kekurangan. Yang pertama bisa jadi bertindak terlalu jauh dalam suatu perselisihan misalnya dan mengakibatkan kekerasan atau bentuk penindasan lainnya, sedangkan yang kedua bisa jadi menahan hak-hak pasangan. Mungkin tidak ada kekerasan atau pertengkaran terus-menerus dalam sebuah pernikahan, tetapi tidak menunjukkan kasih sayang terhadap pasangan Anda adalah bentuk kezaliman sebagaimana telah Allah perintahkan kita untuk berkasih sayang dalam pernikahan.

Dalam Islam, bentuk penindasan yang paling besar adalah menyekutukan Allah, sebagaimana disebutkan Allah dalam Surat Luqman ayat 13, Allah telah menciptakan kita, oleh karena itu, adalah hak-Nya untuk disembah. Menyekutukan sesuatu dengan-Nya berarti menempatkan ciptaan di tempat Sang Pencipta. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keadilan dan ketidakadilan tertanam kuat dalam aqidah kita.

  • Kita mempelajari alasan di balik Allah yang menyebut kita sebagai yā ‘ibādī (wahai hamba-hamba-Ku) dalam Hadits Qudsī.

Pertama, ia menempatkan hubungan kita dengan Allah dalam perspektif yang benar; jika kita tidak memahami dengan benar realitas hubungan kita dengan Sang Pencipta, maka akan sulit memahami hubungan kita dengan masyarakat.

Kedua, kata yā ‘ibādī menunjukkan cinta dari Allah. Dia memanggil kita dengan cara yang penuh kasih sayang untuk membantu kita terhubung dengan-Nya lebih baik serta merendahkan hati kita. Orang yang menindas orang lain kehilangan semangat cinta, atau maḥabbah, sebagaimana dikenal dalam bahasa Arab. Fitrah kita, atau watak alami, adalah kebaikan, kasih sayang, dan belas kasihan, bukan kekejaman atau kekerasan. Dan dalam cara Allah menyapa kita dalam hadits ini, kita benar-benar mampu memahami pentingnya kasih sayang.

Demikian pula, jika kita menegur seseorang dengan keras karena bersikap kasar atau berbuat salah kepada orang lain, maka orang tersebut mungkin akan bersikap lebih kasar dan memperburuk keadaan. Allah mengetahui hal ini, maka Dia menunjukkan kepada kita cara yang benar untuk saling menasihati dan pada saat yang sama memberi nasihat kepada kita agar tidak saling menindas.

Ketiga, Allah mengingatkan kita melalui kata-kata “Hai hamba-hamba-Ku,” bahwa Dia telah menciptakan kita untuk menyembah-Nya dan bahwa kita dikirim ke dunia untuk mengabdi dan memenuhi tujuan-Nya. Kita hanyalah hamba-hamba Allah dan kita tidak memiliki hak untuk bertindak sombong di dunia. Allah akan berkata pada Hari Pengadilan bahwa Dia adalah Raja, dan Dia akan memanggil orang-orang yang mengaku bahwa mereka adalah raja dan penguasa di dunia. Peringatan ini menanamkan dalam diri kita kebenaran bahwa kita tidak diberi wewenang untuk menzalimi orang lain. Allah memberi kita nikmat yang tak terhitung banyaknya, dan menentang apa yang Dia perintahkan berarti tidak bersyukur dan membangkang. Jika Allah telah menganugerahi kita suatu kelebihan, kita tidak boleh menggunakannya untuk menzalimi orang lain.

Keempat, para ulama berpendapat bahwa menzalimi orang lain merupakan bentuk ketidaksyukuran kita. Allah memberikan nikmat kepada kita, namun kita memanfaatkan nikmat tersebut untuk menzalimi atau menindas orang lain. Kita harus berada pada posisi tertentu untuk dapat berlaku tidak adil kepada seseorang, dan kalimat “Wahai hamba-hambaku” ini merupakan pengingat bahwa kita tidak boleh mengingkari nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, dan kita tidak boleh menggunakannya untuk melakukan kejahatan.

Terakhir, Allah tidak hanya menyapa umat Islam saja, Dia menyapa semua manusia melalui kata-kata yā ‘ibādī. Bukan hanya umat Islam saja yang menjadi hamba Allah, tetapi seluruh umat manusia. Allah telah memerintahkan supaya setiap orang berlaku adil terhadap sesamanya.

Di akhir Surat Al-Fatihah, kita memohon kepada Allah agar “janganlah kita termasuk orang-orang yang mendapatkan murka-Mu dan jangan pula termasuk orang-orang yang sesat.” Akan tetapi, permohonan ini batal ketika kita melampaui batas dengan perbuatan kita, sebagaimana Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an bahwa Dia tidak mencintai orang-orang yang zalim. Dengan menindas orang lain, kita mengorbankan cinta (maḥabbah) Allah. Kita tidak akan mendapat petunjuk dari Allah jika kita menganiaya ciptaan-Nya!

  • Nabi Muhammad ﷺ memperingatkan kita terhadap kezaliman karena kezaliman merupakan bentuk kegelapan. Kezaliman tidak hanya akan menyebabkan kegelapan di hati para penindas, tetapi juga menyebabkan kegelapan bagi mereka pada hari kiamat. Allah berfirman tentang Hari Kiamat dalam Surat Ta-Ha, ayat 111 bahwa, “akan merugi orang yang melakukan kezaliman.” Inilah beratnya kezaliman; siapa pun yang telah menindas akan menanggung kerugian terbesar pada Hari Kiamat.

Nabi ﷺ juga menyebutkan bahwa pada hari kiamat, manusia akan menyaksikan perbuatan hewan dan cara Allah menangani kezaliman di antara hewan. Begitulah keadilan Allah, bahkan kambing bertanduk yang menyerang kambing yang tidak bertanduk pun akan mendapatkan balasannya. Penghakiman atas binatang akan menimbulkan ketakutan dalam hati orang-orang yang zalim dan orang-orang kafir yang menginginkan agar mereka dihancurkan menjadi debu sebelum amal perbuatan mereka sendiri dipertanggung jawabkan.

  • Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Shafwan, radhiyallahu ‘anhu: “Barangsiapa yang berbuat zalim kepada seseorang yang telah kami jalin perjanjian dengannya, atau kepada seseorang yang berada dalam perlindungan kami, atau mengurangi hak-haknya, atau membebaninya di luar kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa seizinnya, maka akulah yang akan menjadi penuntutnya di hari kiamat.” (Abū Dāwūd)

Hadis ini sangat berbobot karena secara gamblang menunjukkan betapa seriusnya kezaliman dalam Islam. Menimbulkan penindasan atau ketidakadilan merupakan dosa besar, sehingga Nabi tercinta ﷺ akan menentang mereka dari umatnya sendiri yang menindas non-Muslim. Jika Nabi kita ﷺ berdebat melawan kita dan meminta Allah untuk menghukum kita atas perbuatan yang kita lakukan terhadap non-Muslim, maka apa harapan kita untuk masuk surga? Perjanjian yang dibuat pada masa Nabi Muhammad ﷺ mungkin sudah tidak ada lagi, tetapi kita tetap tidak memiliki hak untuk menzalimi siapa pun, baik Muslim maupun non-Muslim.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Al-Ash h, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang membunuh orang yang dilindungi oleh kaum muslimin, maka ia tidak akan mencium harumnya surga. Padahal harumnya surga begitu kuat sehingga dapat tercium dari jarak empat puluh tahun.” (al-Bukhārī). Begitulah beratnya akibat berbuat zalim kepada orang lain di dunia ini. Berbuat zalim akan menjauhkan kita dari surga, bahkan tidak mungkin bagi kita untuk mencium bau harum surga.

Ibnu Qayyim berkata bahwa ayat terkuat dalam Al-Qur’an tentang keadilan terdapat dalam Surat Al-Maidah ayat 8: Dan janganlah kebencian orang lain menghalangimu untuk berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kita mungkin tidak menyukai atau membenci seseorang karena alasan yang sangat baik, namun Allah memperingatkan kita untuk tidak membiarkan kebencian itu mengarah pada perbuatan zalim terhadap orang tersebut. Akan lebih baik bagi kita untuk bertindak adil dan bertanggung jawab, sambil mengingat Allah setiap saat.

  • “Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (Sūrah al-Mumtaḥanah, ayat 8). Nabi Muhammad ﷺ adalah orang yang paling dicintai Allah, namun beliau selalu khawatir akan kemungkinan menzalimi orang lain. Contoh bagus tentang hal ini dapat ditemukan dalam Shahih al-Bukhārī yang diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengutus Mu’ādz bin Jabal h, untuk menjadi gubernur Yaman dengan kata-kata berikut: “Takutlah terhadap doa orang-orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doa itu dan Allah, meskipun orang yang berdoa itu adalah seorang kafir.”

Yaman pada saat itu merupakan tempat yang sangat beragam, dengan orang-orang dari berbagai agama hidup berdampingan. Mu’ādz h diberi tanggung jawab besar, dan ia harus memastikan bahwa ia berlaku adil terhadap semua penduduk Yaman –bukan hanya kaum Muslim. Dinyatakan dengan sangat jelas dalam hadits bahwa jika seorang non-Muslim memanjatkan doa terhadap Mu’ādz karena ia telah berbuat zalim kepada mereka, maka doanya akan diterima oleh Allah.

Hadits lain yang sangat kuat dan menguatkan doa orang yang teraniaya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ, “Ada tiga golongan yang doanya tidak akan ditolak: orang yang berpuasa ketika berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang teraniaya.” (at-Tirmidzī)

Akan tetapi, Rasulullah ﷺ tidak hanya khawatir terhadap para sahabat dan umatnya, beliau juga sangat takut berbuat zalim kepada orang lain, sehingga Ummu Salamah i meriwayatkan bahwa beliau tidak pernah keluar rumah kecuali melihat ke langit dan berdoa kepada Allah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan atau menyesatkan orang lain, atau dari tergelincirnya aku atau membuat orang lain tergelincir (dari jalan yang benar), atau bahwa aku mungkin dizalimi atau menzalimi seseorang, atau bahwa aku akan menindas atau mengalami penindasan, atau bahwa aku akan berbuat salah atau dizalimi.” (Abū Dāwūd). Jika Rasulullah ﷺ saja begitu takut menzalimi seseorang, lalu bagaimana dengan kita?

Satu kejadian khusus yang telah diriwayatkan bahwa suatu waktu ketika Nabi ﷺ melihat seorang pemuda tertawa dalam suasana yang seharusnya serius (salah satu riwayat menyatakan itu adalah Perang Badar), dan beliau memukul perut pemuda yang tidak berbaju itu dengan sebuah tongkat. Pemuda itu berkata kepada Nabi, “Engkau telah menyakitiku, aku ingin membalas dendam.” Nabi Muhammad ﷺ tidak menunjukkan kesombongan atau kemarahan, tetapi malah menyingkap perutnya sendiri dengan mengangkat bajunya dan memintanya untuk  memukulnya dengan tongkat sebagai balasan. Pemuda itu kemudian mencium perut Nabi dan berkata, “Hanya itu yang aku inginkan darimu, wahai Rasulullah.” (Abū Dāwūd). Bahkan di tengah-tengah pertempuran, perhatian Nabi hanyalah tidak ingin menzalimi pemuda ini sedikit pun.

Ibnu Taimiyah berkata bahwa Allah akan menegakkan bangsa yang adil meskipun bangsa itu kafir, dan Allah akan menghancurkan bangsa yang zalim meskipun bangsa itu mukmin. Pernyataan ini sangat kuat: pernyataan ini menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa Allah akan membiarkan orang-orang kafir yang adil untuk maju dan orang-orang Muslim yang zalim untuk gagal. Seperti yang disebutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim, di seluruh Al-Qur’an, setiap kali Allah menyebutkan kehancuran suatu bangsa, Dia berkata bahwa Dia menghancurkan mereka karena mereka berbuat zalim, mereka menindas dan agresif terhadap para Nabi dan para pengikutnya. Itu bukan hanya karena pilihan mereka untuk menolak pesan yang dibawa para Nabi, tetapi itu juga hukuman atas tindakan mereka yang zalim.

Namun, jika menyekutukan Tuhan dengan membuat tandingan (syirik) adalah dosa yang paling tidak terampuni, bagaimana Allah bisa memberi pahala kepada orang-orang kafir yang berlaku adil di dunia ini? Sebuah kaidah hukum yang disepakati secara umum dalam Islam adalah ‘Jika hak Sang Pencipta dan hak makhluk bertentangan, maka tunaikanlah hak makhluk.’ Ini mungkin tampak membingungkan, tetapi ada alasan dan contoh yang dapat dipercaya untuk ini. Misalnya, jika bulan Ramadhan telah tiba, tetapi Anda terlalu lemah untuk berpuasa, hak tubuh Anda lebih diutamakan daripada hak Allah atas Anda. Dia mengizinkan Anda untuk memulihkan kesehatan dan berpuasa nanti untuk menebusnya. Allah adalah Yang Maha Penyayang dan Maha Adil; Dia tidak ingin ciptaan-Nya menderita dan Dia telah memberi kita dispensasi ini.

Jika Tuhan adalah yang Maha Besar dan Maha Berhak disembah, maka bagaimana kita dapat menyelaraskannya dengan kaidah hukum yang menyatakan bahwa jika terjadi pertentangan, hak makhluk didahulukan daripada hak Allah? Para ulama mengemukakan tiga argumen di sini:

Pertama, Allah senantiasa memberi kita kelonggaran, menunda azab-Nya, dan memberi kita kesempatan untuk kembali kepada-Nya dalam pertobatan hingga ajal menjemput. Bukan berarti kita harus sengaja menunda pertobatan, tetapi karena anugerah Allah, Dia akan terus memberi kita kesempatan hingga ajal menjemput.

Kedua, Allah tidak membutuhkan hak karena Dia Maha Adil dan Maha Besar, tetapi kita, hamba-hamba-Nya, membutuhkan hak-hak kita. Rahmat-Nya tercakup dalam ruang lingkup syariat; salah satu contohnya adalah jika kita ingin melaksanakan haji tetapi kita juga memiliki utang yang harus dibayar, maka kita harus melunasi utang tersebut terlebih dahulu. Allah tidak membutuhkan haji kita saat itu, tetapi orang yang kita pinjam uangnya berhak untuk mendapatkan kembali uangnya sebelum kita mempertimbangkan untuk memenuhi hak-hak Allah. Allah telah melepaskan hak-hak-Nya untuk memastikan bahwa hak-hak hamba-Nya terpenuhi.

Ketiga, Allah adalah Dzat yang telah memberikan hak-hak ini kepada kita. Oleh karena itu, jika kita mengambil hak-hak orang lain, maka itu adalah dosa besar karena kita tidak hanya telah berbuat salah kepada mereka, tetapi juga telah mendurhakai Allah dengan tidak menghormati mereka padahal Dia telah memuliakan mereka dengan hak-hak mereka. Itulah sebabnya pada Hari Pengadilan kita akan melihat amal ibadah kita lenyap, meskipun itu dilakukan demi Allah, karena amal ibadah kita diberikan kepada siapa saja yang telah kita salahi, atau kita hindari, atau kita rugikan dengan cara apa pun tanpa ada perbaikan. Inilah beratnya kezaliman dalam Islam.

Semoga Allah melindungi dan menyelamatkan kita dari kezaliman (zhulm), memberi kita rahmat untuk setiap hari mencari perlindungan-Nya dari berbuat zalim kepada siapa pun, dan tidak pernah secara sadar berbuat zalim kepada siapa pun, dan menyadari beratnya kezaliman dalam hidup ini dan konsekuensinya di akhirat. Āmīn.

 


Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Komentar