Bagian 3
DARI GULUNGAN SUHUF IBRAHIM
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar h, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang-orang yang adil akan duduk di atas mimbar-mimbar dari cahaya, di sebelah kanan Allah Yang Maha Penyayang (Al-Rahman), yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam keputusan mereka, dalam keluarga mereka, dan dalam segala sesuatu yang mereka kerjakan.”
SAYA INGIN memulai bab ini dengan mengutip sebuah hadis tentang Suhuf Ibrahim n, karena ini akan membantu kita memahami hadis utama yang akan saya bahas. Hadis ini diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban, dan ada beberapa perselisihan mengenai keshahihannya di antara beberapa ulama seperti Imam Albani, namun pesan yang disampaikannya tidak diragukan lagi otentik dan sangat mendalam.
Abu Dzarr h meriwayatkan: “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, apakah suhuf (lembaran/gulungan) Ibrahim itu?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah berisi perumpamaan-perumpamaan’. Beliau pun membacakan salah satu perumpamaan yang diturunkan kepada Ibrahim: ‘Wahai raja yang telah diberi kekuasaan dan diuji dengan kekuasaan itu, dan yang telah tertipu oleh kekuasaan itu; Aku tidak mengutus kamu ke dunia ini untuk mengumpulkan kekayaan. Akan tetapi, Aku mengutus kamu untuk mengalihkan dari-Ku seruan orang-orang teraniaya, karena Aku tidak menolak seruan orang-orang teraniaya, meskipun itu datang dari orang yang tidak beriman.'”
Hadits ini membahas tema yang sama yang telah kita bahas sejauh ini dalam buku ini, namun, menarik untuk dicatat bahwa ada konsistensi dalam pesan yang telah Allah kirimkan kepada para Utusan-Nya dan para Nabi, semoga kedamaian menyertai mereka semua. Setiap Nabi mengajarkan nilai-nilai sosial dan keyakinan yang sama; satu-satunya perbedaan yang terjadi adalah dalam perundang-undangan (tasyrī’). Allah telah menekankan pentingnya keadilan sejak awal, dan Dia telah menjadikannya tujuan dari orang-orang yang dipercayai dengan wewenang untuk memastikan bahwa mereka menangani semua masalah dengan cara yang adil, seperti yang dapat kita lihat dalam kutipan berikut dari Hadits: “Aku mengutus kamu untuk mengalihkan dari-Ku seruan orang-orang yang teraniaya.”
Allah berfirman bahwa Dia tidak mengutus kita ke dunia untuk mengumpulkan harta benda, namun ini adalah salah satu penyebab utama manusia berlaku tidak adil dan menindas orang lain. Di masa sekarang, kapitalisme adalah salah satu alasan terbesar terjadinya penindasan dan ketimpangan di dunia –hanya segelintir orang yang mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar sementara orang miskin semakin miskin dan lemah. Obsesi terhadap dunia inilah yang menyebabkan ketidakadilan.
Setelah saya memberikan pengantar, kita dapat melanjutkan ke hadis utama yang akan kita bahas dalam bab ini. Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar h : “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Orang-orang yang adil akan duduk di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan Yang Maha Penyayang (Ar-Rahman). Yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam keputusan mereka, dalam keluarga mereka, dan dalam segala hal yang mereka lakukan.’” (Muslim)
Sekali lagi, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas:
1. Hadits secara khusus menyebutkan muqsiṭīn; orang-orang yang ditempatkan pada posisi untuk menghakimi, memerintah, menjadi penengah atau mendistribusikan. Meskipun pada awalnya tampak seolah-olah hadits tersebut merujuk kepada mereka yang berada pada posisi kekuasaan yang tinggi, sebenarnya hadits tersebut memiliki cakupan yang luas yang dapat mencakup kita semua. Hadits tersebut mencakup mereka yang adil dalam pemerintahan, mereka yang adil terhadap keluarga mereka dan mereka yang adil dalam segala hal yang mereka lakukan.
2. Nabi ﷺ menyebutkan mimbar-mimbar cahaya pada Hari Kiamat untuk orang-orang ini, dan mimbar-mimbar ini terletak di sisi Allah, di sebelah kanan-Nya. Ini terjadi pada Hari di mana kita semua akan berjuang untuk mendapatkan naungan, namun Allah akan menyediakan mimbar-mimbar bagi orang-orang yang berlaku adil dalam hidup mereka.
Ini adalah kebalikan dari orang zalim yang oleh para ulama dikatakan sebagai orang yang haus kekuasaan di dunia sehingga Allah menghinakannya. Sebagaimana disebutkan dalam bab pertama, Nabi ﷺ bersabda bahwa kezaliman adalah kegelapan, di atas kegelapan, di atas kegelapan di hari kiamat –inilah akibat bagi orang zalim. Sedangkan orang-orang yang berlaku adil (muqsiṭīn) tidak membiarkan keinginan untuk berkuasa menjadi alasan untuk berlaku tidak adil, dan karena itu Allah mengangkat derajat mereka di hari kiamat.
3. Kita belajar bahwa Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil dan tidak mencintai orang-orang yang zalim. Firman Allah : “Dan Allah tidak mencintai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran [3] : 140). “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat [49] : 9)
Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang memiliki otoritas namun tidak menzalimi orang yang menjadi otoritasnya, akan memperoleh rasa aman (al-amān) di dunia ini. Melalui rasa aman inilah orang-orang yang berlaku adil akan mendapatkan kepastian pahala di akhirat, sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi ﷺ dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi: “Orang yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya dengan-Nya adalah pemimpin yang adil. Dan orang yang paling dibenci pada hari kiamat dan paling jauh kedudukannya dari-Nya adalah pemimpin yang zalim.”
4. Rasulullah ﷺ juga telah menyebutkan dalam sebuah hadits yang terkenal bahwa ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh singgasana Allah pada hari kiamat. Meskipun berbagai riwayat menyebutkan ketujuh golongan tersebut dengan urutan yang berbeda-beda, namun satu hal yang tetap sama dalam semua riwayat adalah bahwa golongan pertama yang disebutkan adalah pemimpin yang adil.
Ulama seperti Sufyan al-Tsauri mengatakan bahwa pemimpin yang adil selalu disebutkan pertama karena jika suatu masyarakat memiliki pemimpin yang adil, maka masyarakat tersebut akan menjadi lebih baik dan adil. Pemimpin yang adil memudahkan orang untuk bersedekah, pergi ke masjid, dan saling mencintai karena Allah. Sufyan al-Tsauri juga menyatakan: “Ada dua golongan manusia yang jika mereka saleh, maka manusia akan saleh, dan jika mereka rusak, maka manusia akan rusak. Mereka adalah ulama dan penguasa.”
Beliau telah membuat perbedaan yang sangat jelas antara dua kelompok orang yang memikul banyak tanggung jawab di pundak mereka untuk menjaga diri mereka dan orang lain dari kerusakan. Seorang penguasa adalah seseorang yang bertanggung jawab atas urusan duniawi, sedangkan seorang ulama adalah seseorang yang mengurus dan membimbing dalam urusan agama, dan bahkan jika salah satu dari mereka menjadi rusak, biasanya hal itu akan memengaruhi yang lain dan kemudian pada gilirannya akan memengaruhi orang-orang yang mereka kuasai.
Lebih jauh, para ulama telah mengomentari bahwa seorang pemimpin yang adil tidak hanya akan berada di bawah naungan singgasana Allah, tetapi mereka juga akan duduk di atas mimbar-mimbar cahaya. Mereka adalah yang terbaik dari tujuh yang disebutkan dalam hadits dan akan menerima pahala yang terbaik.
5. Nabi ﷺ berbicara tentang manusia secara umum untuk memperjelas bahwa otoritas tidak hanya terbatas pada pemimpin atau gubernur, kita memiliki otoritas atas orang lain dalam berbagai kapasitas. Ibnu Hajar menjelaskan hal ini dengan sangat baik ketika ia berkata, “Ayah adalah pemimpin (imam) anak-anak, ibu adalah pemimpin (imamah) rumah tangga, guru adalah pemimpin murid-muridnya, imam adalah pemimpin jamaah (untuk shalat), dan majikan adalah pemimpin karyawannya.”
Di samping penjelasan Ibnu Hajar, ada pula sebuah hadits yang sangat bagus yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar h: Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan ditanya tentang apa yang kalian lakukan. Seorang amir adalah pemimpin bagi masyarakatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, seorang perempuan adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya atas rumah dan anak-anak suaminya. Jadi, kalian semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya atas rakyat kalian.” (Bukhārī & Muslim)
Kita semua diberi wewenang dalam kapasitas tertentu oleh Allah, dan merupakan tugas kita untuk memastikan bahwa kita menegakkan keadilan di antara umat yang menjadi tanggung jawab kita. Semakin besar umat yang kita beri wewenang, semakin besar pula tanggung jawab kita.
Nabi ﷺ memerintah umat (komunitas Muslim) dengan keadilan yang tinggi dan beliau menasihati kita semua untuk bersikap jujur dalam tanggung jawab kita kepada Allah dan menjadi penegak keadilan. Dalam hadis sahih lainnya yang diriwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi, Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang pun yang dititipkan sepuluh orang kecuali ia akan dibawa bersama sepuluh orang itu pada hari kiamat dan kedua tangannya akan dirantai ke lehernya. Keadilan akan melepaskan kedua tangannya, sedangkan kezaliman akan menghancurkannya.”
Di sini kita belajar bahwa memegang kekuasaan atas sepuluh orang saja (bisa jadi sepuluh karyawan, atau sepuluh anggota keluarga atau kerabat, atau sepuluh orang di masjid), akan menempatkan kita dalam posisi yang sangat rentan. Jika kita tidak berlaku adil, kita akan menghancurkan peluang kita untuk diberi kelonggaran dan masuk surga; sementara jika kita bertakwa kepada Allah dan berlaku adil dalam semua tindakan kita, kita akan dibebaskan dan diberi kelonggaran.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda: “Sesungguhnya Allah beserta hakim (qāḍī) selama ia tidak berlaku zalim. Apabila orang tersebut berlaku zalim, Allah meninggalkannya dan ‘menempelkan’ setan (syaithan) padanya.” (Tirmidzī)
Imam Ibnu Qutaibah r mengomentari hadits ini dan berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang dapat mengeraskan hati seperti kezaliman. Jika seseorang telah berlaku zalim dalam suatu hal, maka hukuman bagi orang tersebut adalah bahwa bentuk-bentuk kezaliman lainnya menjadi mudah baginya.”
Baik hadits maupun tafsir di sini sangat meyakinkan dan menakutkan. Kita dapat dengan mudah kehilangan petunjuk Allah melalui satu tindakan zalim dan terjebak dengan setan sebagai teman kita. Namun, jika kita ingin melembutkan hati kita, kita harus bertindak berdasarkan ajaran Nabi ﷺ; kita harus bertindak adil dan mendukung orang-orang yang paling rentan di masyarakat seperti anak yatim dan orang miskin, dan kita harus bertobat dan membalikkan penindasan yang kita lakukan yang memicu kemerosotan.
Kondisi lain yang mengkhawatirkan bagi kita adalah ketika kita berbuat salah kepada seseorang yang memiliki otoritas atas kita, padahal mereka tidak berbuat salah sedikit pun kepada kita. Terkait hal ini, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa hingga berbuka, dan orang yang dizalimi.” (Tirmidzī)
Bila kita berbuat zalim kepada orang yang berwenang atas kita, maka doanya akan dikabulkan karena dua hal: pertama, mereka berlaku adil kepada kita meskipun mereka berwenang atas kita, dan kedua, kita berbuat zalim kepada mereka meskipun mereka bersikap baik.
Pada tingkat yang lebih pribadi, saya ingin menyebutkan sebuah kejadian yang terjadi dengan seorang ikhwan yang saya kenal dan telah memberi saya izin untuk membagikannya, karena ini adalah contoh yang kuat tentang permohonan yang diterima. Ikhwan ini berdebat dengan ibunya yang selalu bersikap adil dan baik kepadanya, dan setelah melontarkan beberapa kata selama pertengkaran itu, dia mengangkat teleponnya dan ibunya berkata, “Semoga Allah membakar tanganmu.” Dan Allah mengabulkan doanya saat itu juga; teleponnya terbakar di tangannya dan dia masih memiliki bekas luka bakar di tangannya. Inilah sebabnya mengapa kita harus selalu waspada terhadap tindakan kita. Orang tua, seorang ibu, yang adil terhadap anak-anaknya sementara dalam posisi berwenang akan memiliki alasan dua kali lipat agar doanya diterima karena dia telah dizalimi sedangkan dia tidak pernah menzalimi siapa pun.
Ada pula kisah yang luar biasa tentang Umar h selama masa pemerintahannya sebagai Khalifah. Hurmuzān, seorang jenderal Persia, tiba di Madinah dengan masalah diplomatik penting untuk dibahas dengan Umar, dan setibanya di sana, ia bertanya di mana ia bisa menemukan Khalifah. Begitu sederhananya Umar h sehingga Hurmuzān menemukannya sedang tidur di bawah pohon dengan kepala bersandar di sepatunya, tanpa pengawal atau senjata di dekatnya. Ini adalah kebalikan dari para penguasa Persia, karena mereka memiliki gaya hidup yang mewah dengan banyak pengawal.
Setelah melihat Umar tidur nyenyak di bawah naungan pohon, ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal: “Wahai Umar! Engkau memerintah. Engkau adil. Maka engkau diberi rasa aman, dan demikianlah engkau tidur.” Umar h dikenal karena kejujuran dan keadilannya. Ia tidak perlu takut karena ia tahu bahwa ia tidak pernah berbuat salah kepada siapa pun dan dikaruniai rasa aman (al-amān) selama masa pemerintahannya.
Otoritas, secara harfiah, adalah sesuatu yang akan membuat Anda atau menghancurkan Anda pada Hari Pengadilan. Allah tidak akan berbicara kepada mereka yang menindas orang lain dan tidak akan menyucikan mereka pada Hari Pengadilan, sedangkan Dia akan memberi pahala yang sangat besar kepada orang yang adil dan keadilan bisa dalam bentuk yang paling sederhana.
Salah satu contohnya, yang ingin saya akhiri bab ini, disebutkan oleh Imam al-Baihaqi, yang mengatakan bahwa seorang ibu mengunjungi ‘Aisyah i, dan diberi tiga buah kurma oleh ‘Aisyah. Ia memberikan masing-masing satu kurma kepada kedua anaknya, yang kemudian menoleh kepadanya untuk meminta kurma terakhir. Sang ibu kemudian membelah kurma terakhir itu menjadi dua dan memberikannya kepada anak-anaknya. ‘Aisyah menceritakan kejadian ini kepada Nabi ﷺ yang memuji wanita itu dan berkata bahwa ia telah masuk surga karena tindakannya yang adil dan penuh belas kasih. Fakta bahwa ia tidak membedakan pembagian anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya sudah cukup baginya untuk diganjar surga. Imam al-Baihaqi menunjukkan bahwa wanita ini termasuk kedalam kategori pemimpin yang adil, ia memperlakukan mereka yang berada di bawahnya dengan keadilan dan belas kasih. Intinya adalah bahwa kita semua dalam satu kapasitas atau lainnya memiliki wewenang atas orang lain dan tindakan kita dalam kapasitas itu memiliki implikasi.
Semoga Allah memberikan kita mimbar-mimbar cahaya di hari kiamat, semoga Dia tidak membiarkan kita menzalimi siapa pun yang berada di bawah kekuasaan kita dalam kapasitas apa pun. Semoga Allah mengampuni kita atas kekurangan kita terhadap mereka, diri kita sendiri, dan kewajiban kita kepada-Nya. Semoga Allah melindungi kita dari penindasan dan memungkinkan kita untuk berada di sisi Nabi ﷺ di hari kiamat. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman