Bagian 7
DIAM TERHADAP KETIDAKADILAN
Dari Qais bin Abī Ḥazm, ia berkata, Aku mendengar Abū Bakar h berkata, “Hai manusia, aku mendengar kalian membaca ayat ini: ‘Hai orang-orang yang beriman, khawatirlah terhadap diri kalian sendiri. Jika kalian mengikuti petunjuk yang benar, tidak ada bahaya yang akan datang kepadamu dari orang-orang yang sesat.’ (QS. 5:105) Akan tetapi, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya ketika orang-orang melihat seorang penindas tetapi tidak mencegahnya melakukan kejahatan, kemungkinan besar Allah akan menghukum mereka semua’“.
PADA BAB INI kita akan membahas hukum-hukum diam karena hal itu jarang dibahas secara komprehensif. Kita akan membahas tiga hadis mengenai masalah ini, dan saya akan mulai dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qays bin Abi Hazm h yang berkata:
“Saya mendengar Abu Bakar h berkata, ‘Hai orang-orang, aku mendengar kalian membaca ayat ini: ‘Hai orang-orang yang beriman, khawatirlah terhadap diri kalian sendiri. Jika kalian mengikuti petunjuk yang benar, maka orang-orang yang sesat tidak akan dapat membahayakan kalian.’ (QS. Al-Maidah [5] : 105) Akan tetapi, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya, jika manusia melihat seorang penindas, tetapi mereka tidak mencegahnya berbuat jahat, maka besar kemungkinan Allah akan menghukum mereka semua.’“
Di sini, Abu Bakar menyampaikan poin yang sangat penting dengan menyebutkan bahwa ada ayat-ayat yang sering dibacakan dan ditafsirkan secara tidak tepat, atau diterapkan pada konteks yang maknanya bertentangan dengan maksud sebenarnya dari ayat tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa Abu Bakar h mengucapkan kata-kata ini kepada generasi yang sangat dekat dengan turunnya Al-Qur’an, namun mereka masih menerapkan atau menafsirkan ayat-ayat tersebut secara tidak tepat.
Ayah mertua saya, Syaikh Abū’l ‘Abed, membuat pernyataan yang sangat mendalam yang saya yakini menguraikan dengan sangat baik uraian di atas: “Setiap tafsir yang menyimpang dari alasan-alasan turunnya wahyu (asbābun nuzūl) dan konteks Sunnah, tafsir tersebut pasti akan tersesat.” Hal ini karena menyimpang dari konteks asli membuatnya rentan terhadap kepentingan orang yang melakukan tafsir, yang pada gilirannya dapat merusak makna asli ayat-ayat tersebut.
Kembali ke hadis diatas, Abu Bakar mengingatkan umat bahwa Allah tidak mengatakan bahwa kita harus diam saja dalam menghadapi ketidakadilan. Oleh karena itu, ia melanjutkan dengan menyebutkan apa yang dikatakan Nabi Muhammad ﷺ tentang hal ini; Nabi ﷺ adalah orang yang melaluinya kita belajar makna Al-Qur’an yang sebenarnya, dan tentu saja praktik hidupnya (Sunnah) adalah penjelasannya (tafsir).
Meskipun pada awalnya tampak seolah-olah ada pertentangan antara pernyataan Nabi Muhammad ﷺ dengan ayat diatas, Allah sebenarnya berbicara tentang orang-orang yang telah kehabisan pilihan dalam mencoba mengubah orang lain di sekitar mereka. Mereka menjadi sedih karena ketidakmampuan mereka untuk memperbaiki kesalahan dalam masyarakat, dan karena itulah Allah berfirman bahwa mereka tidak akan ditimpa bahaya yang disebabkan orang-orang sesat itu.
Orang-orang seperti ini merasa lumpuh karena tidak berhasil menghentikan kezaliman, seperti halnya Nabi Muhammad ﷺ yang sangat berempati kepada kaumnya dan bersedih atas nasib orang-orang di sekitarnya. Allah berbicara tentang sifat Rasul-Nya ﷺ ini dalam Surat Al-Kahfi [18] ayat 6 : “Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran)”. Nabi ﷺ bahkan menggambarkan dirinya seperti orang yang mencoba menangkap lalat saat lalat itu melompat ke dalam api; maksudnya adalah bahwa dia sangat sedih dengan orang-orang di sekitarnya dan dia berusaha untuk ‘menyelamatkan’ mereka semua dari nasib yang buruk tetapi itu tidak selalu mungkin.
Yang dapat kita ambil dari sini adalah bahwa Abu Bakar h mengatakan bahwa ayat dari Surat al-Maidah ini tidak dapat dijadikan alasan untuk bersikap masa bodoh atau malas dalam menentang kezaliman. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jika generasi beliau sendiri telah salah menafsirkan ayat tersebut lebih dari 1400 tahun yang lalu, maka kita harus lebih berhati-hati lagi dalam memahami dan mengamalkan Al-Qur’an.
Hadits kedua adalah hadits Nabi Muhammad ﷺ yang menanyakan kepada para sahabatnya tentang hal-hal aneh yang mereka temui di Habasyah. Jabir h meriwayatkan:
Ketika para muhajirin yang telah menyeberangi lautan itu kembali kepada Rasulullah, beliau berkata, “Ceritakan kepadaku tentang hal-hal aneh yang kalian lihat di negeri Habasyah.” Beberapa pemuda di antara mereka berkata, “Benar, wahai Rasulullah. Ketika kami sedang duduk, salah seorang biarawati tua mereka lewat sambil membawa bejana berisi air di atas kepalanya. Ia melewati beberapa pemuda mereka, salah seorang di antaranya meletakkan tangannya di antara bahunya dan mendorongnya. Ia pun jatuh berlutut dan bejananya pecah. Ketika ia berdiri, ia menoleh kepadanya dan berkata, “Ketahuilah, wahai pemuda yang bodoh, bahwa ketika Allah menegakkan Kursi dan mengumpulkan yang pertama dan yang terakhir, dan tangan serta kaki berbicara tentang apa yang telah mereka usahakan, engkau akan segera mengetahui perkaramu dan perkaraku di hadapan-Nya.” Rasulullah berkata, “Ia benar, ia benar, ia benar. Bagaimana Allah akan menyucikan suatu kaum (dari dosa) jika mereka tidak melindungi yang lemah dari yang kuat?” [Ibn Majah].
Para sahabat yang menceritakan pengalaman mereka kepada Nabi ﷺ tidak ikut campur dalam situasi tersebut karena mereka adalah pengungsi di Habasyah dan tidak dalam posisi untuk campur tangan. Mereka bahkan ingin membela al-Najāsyī ketika terjadi konflik internal dan pemberontakan terhadapnya, tetapi mereka tidak bisa karena mereka hanyalah pengamat dan pencari suaka. Akan tetapi, kita dapat melihat dari hadis ini bahwa pengalaman ini telah meninggalkan dampak yang mendalam pada mereka dan membuat mereka merasa tidak nyaman karena mereka tahu itu salah, dan ini disebabkan oleh pendidikan (tarbiyah) yang telah diberikan Nabi ﷺ kepada mereka sebelumnya. Nabi Muhammad ﷺ telah menanamkan sifat-sifat dalam diri mereka yang membuat mereka gelisah ketika mereka menyaksikan pelanggaran dan ketidakadilan.
Ketika menceritakan kejadian ini, Rasulullah ﷺ menyalahkan masyarakat secara keseluruhan, dan bukan hanya pemuda yang telah menindas biarawati tersebut. Kesalahan harus ditimpakan kepada masyarakat yang telah membiarkan perilaku seperti itu menjadi hal yang wajar, masyarakat yang bersalah karena pemuda tersebut dengan bebas mendorong seorang wanita tua tanpa dimintai pertanggungjawaban. Penindas muda tersebut adalah produk dari lembaga yang memfasilitasi.
Hadits ketiga yang akan kita bahas dalam bab ini berasal dari ummul mu’minin, Zainab binti Jaḥsy i: Aku bertanya kepada Nabi ﷺ: Apakah kita akan hancur meskipun ada orang-orang saleh di antara kita?. Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Ya, jika kotoran (dosa-dosa dasar) merajalela.’ [Muslim]
Nabi ﷺ di sini bersabda bahwa sekalipun ada orang-orang saleh di antara kita, tetapi dosa-dosa dibiarkan merajalela di masyarakat tanpa ada seorang pun yang menentangnya, maka semua orang akan menderita akibatnya. Lebih jauh, jika menilik ketiga hadits tersebut, pada hakikatnya moral dari ketiganya adalah bahwa jika orang-orang tidak bersuara ketika kejahatan dilakukan, maka semua orang akan menderita.
Para ulama menyebutkan beberapa hal terkait masalah ini:
1. Semua bangsa yang dibinasakan sebelum kita, tidaklah dibinasakan hanya karena mereka menyembah selain Allah (syirik), tapi juga karena mereka menjadi penindas (ẓālim). Bangsa-bangsa itu dihancurkan ketika mereka menjadi agresif dan menindas para Rasul mereka. Kaum Syu’aib alaihissalam, dihancurkan karena kemusyrikan mereka dan kecurangan mereka dalam timbangan (taṭfīf). Sa’īd bin al-Musayyib r mengomentari hal ini dan berkata, “Jika Anda menemukan suatu tempat di mana orang-orang tidak curang dalam timbangan mereka, tinggallah di negeri itu, dan jika Anda menemukan mereka curang, maka tinggalkanlah secepat mungkin.” Ketika hal-hal semacam ini menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat, maka masalah dan penderitaan yang ditimbulkannya akan memengaruhi semua orang.
2. Umar bin Abdul Aziz mengomentari tentang dosa pribadi versus penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan di depan umum. “Allah tidak akan pernah menghukum seluruh penduduk meskipun setiap orang melakukan dosa pribadi, sedangkan jika satu orang berbuat dosa di depan umum, seluruh penduduk mungkin akan menerima hukuman Allah”.
3. Skenario yang berbeda menuntut tindakan yang berbeda. Umat Islam di Habasyah statusnya adalah pencari suaka dan ingin dapat menjalankan agama mereka dengan bebas. Umat Islam di Mekkah berada di bawah penganiayaan dan harus menyembunyikan Islam mereka, sementara umat Islam di Madinah berada di tempat yang berwenang. Mereka semua berada di posisi yang berbeda, tetapi mereka semua bertanggung jawab untuk melakukan bagian mereka.
4. Allah juga menyebutkan bahwa manusia akan mendapat hukuman atas apa yang mereka lakukan. Jika manusia berbuat salah kepada sesamanya, mereka juga akan merasakan apa yang mereka rasakan.
Biasanya, ketika orang dihukum, mereka dihukum oleh unsur-unsur (alam), seperti hujan atau angin. Mereka dihukum oleh hal-hal yang mereka anggap biasa dan tidak mereka anggap sebagai ancaman. Demikian pula, orang-orang yang dieksploitasi tidak melihat ancaman pada orang lain dalam banyak situasi. Mereka berada dalam posisi rentan, dan sering kali kerentanan itu mereka tunjukkan karena mereka merasa aman bersama orang lain, tetapi sayangnya, mereka kemudian dimanfaatkan dan kerentanan mereka dilanggar.
Allah telah mewajibkan kita untuk selalu jujur dan mengatakan kebenaran dalam keadaan apa pun, sehingga membawa kita kepada pembahasan tentang hukum bersikap diam.
Sikap diam terhadap kezaliman menjadi terlarang (ḥarām) jika terpenuhi tiga hal:
1. Ketika kita yakin akan sesuatu yang jahat (munkar), maka tidak ada area abu-abu. Nabi Musa n membuat asumsi ketika melihat seorang Bani Israil berkelahi dengan seorang Mesir. Itu bukanlah situasi yang jelas (sehingga dapat digolongkan sebagai area abu-abu). Syaikh Salman membuat pengamatan yang menarik; ia berkata bahwa jika Anda melihat umat Islam bersikap terlalu bersemangat, mereka biasanya bersikap demikian terhadap hal-hal yang tidak seratus persen pasti, tetapi mereka tidak akan bersikap terlalu bersemangat terhadap hal-hal yang disepakati dan jelas diketahui salah.
2. Ketika kita yakin bahwa suatu kejahatan telah dilakukan; bukan berdasarkan gosip atau rumor, tetapi bukti yang kuat. Allah telah menyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an dalam Surat al-Hujurat [49] ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…”. Kita harus yakin, dengan menyaksikannya sendiri atau kesaksian dari seseorang yang menyaksikannya secara langsung.
3. Ketika kemungkinan besar dengan berbicara akan menghentikan atau mengurangi kejahatan yang dilakukan. Berbicara karena Allah membutuhkan keberanian karena kita akan menghadapi kritik dan pertentangan dari orang-orang. Namun, kita tetaplah harus berbicara menentang ketidakadilan karena Allah, terlepas dari orang-orangnya.
Imam Ghazali r berbicara mengenai dosa-dosa besar para ulama, yakni: Apabila seorang ulama berada di hadapan penguasa yang zalim, maka ia harus berbicara mengenai kezaliman yang dilakukan oleh penguasa yang zalim itu.
Sayangnya, para diktator atau penguasa yang zalim menggunakan para ulama untuk melegitimasi ketidakadilan yang mereka lakukan, dan ini bahkan termasuk pembantaian yang telah terjadi dan sedang terjadi saat ini. Memanfaatkan kedok keilmuan untuk membenarkan ketidakadilan yang buruk adalah teknik propaganda yang sangat tua yang telah digunakan oleh orang-orang Kristen seperti Paus Urbanus II dan juga umat Islam. Dengan demikian, diamnya para ulama dalam situasi seperti itu sangatlah berdosa karena mereka adalah otoritas agama dan tidak boleh bersikap ambigu terhadap tindakan ketidakadilan.
Imam Abu Hanifah r mengibaratkan pasukan Zaid bin Zainal Abidin seperti pasukan Badar. Beliau sangat terbuka dan tidak ambigu dalam menentukan sikapnya dalam masalah ini. Beliau menyadari bahwa dengan kedudukannya sebagai imam, maka tanggung jawabnya pun semakin besar.
Kita juga memiliki contoh Imam Ahmad r yang ditempatkan dalam situasi yang sangat menguji di mana orang-orang mencoba memaksanya untuk mengadopsi doktrin yang tidak berasal dari Islam. Mereka mendesaknya untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan bukan firman Allah. Imam Ahmad diberitahu oleh ulama lain bahwa ia akan dibunuh jika ia tidak memberi mereka pernyataan yang ingin mereka dengar. Imam Ahmad menjawab dengan menunjuk ke luar jendela dari sel penjaranya ke arah orang-orang, dan berkata bahwa jika seorang Muslim biasa dihentikan di jalan dan dipaksa untuk mengatakan pernyataan seperti itu atau menghadapi kematian, ia tidak akan berdosa karena ia akan mencoba melindungi hidupnya sendiri, sedangkan Imam Ahmad sendiri akan berdosa karena pernyataannya akan melegitimasinya. Seorang Muslim pada umumnya akan seperti Ammar bin Yasir h ketika ia mengutuk Nabi ﷺ di bawah tekanan dan Nabi ﷺ mengatakan kepadanya bahwa jika para penindas mengancam dan menekannya lagi, ia harus mengatakannya lagi karena pernyataannya tidak akan merusak agama atau menormalkan apa pun. Itu adalah cara untuk menghindari penganiayaan, sehingga orang yang tidak berwenang pun boleh membuat pernyataan seperti itu.
Contoh lainnya adalah Imām al-Harawī r yang berkata: Aku telah ditikam dengan pedang sebanyak lima kali (dan diancam akan dibunuh), dan aku tidak diperintahkan untuk menarik kembali jabatanku, bahkan aku diperintahkan untuk diam terhadap para penindas, namun aku tidak mau diam.
Sa’īd bin Jubair r meninggalkan warisan yang sangat kuat. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut dalam menghadapi penindasan oleh al-Ḥajjāj dan keberaniannya lah yang membuat al-Ḥajjāj menjadi gila. Ia semakin frustrasi dengan Sa’īd bin Jubair karena ia begitu tenang selama cobaan itu, memaksanya untuk berkata kepada Sa’īd, “Tidakkah kau tahu bahwa aku akan mengambil nyawamu?”. Sa’īd bin Jubair menjawab, “Jika aku mengira kau memiliki kekuatan untuk mengambil nyawaku, maka aku akan menyembahmu sebagai ganti Allah”.
Sa’id bin Jubair terbunuh saat sedang sujud, dan hal itu terus menghantui al-Hajjaj hingga suatu hari ia meninggal dunia karena sakit keras, saat itu ia terus menerus mengucapkan, “Sa’id telah membunuhku, Sa’id telah membunuhku”.
Kita dapat belajar dari contoh-contoh ini bahwa terkadang diam menjadi tindakan kriminal, sedemikian rupa sehingga bahkan menggunjing (ghībah) dapat menjadi kewajiban (farḍ). Menggunjing adalah sesuatu yang umumnya sangat berdosa dan dipandang rendah dalam Islam, namun ketika menyangkut seorang penindas yang menindas orang lain secara berantai, menjadi kewajiban untuk berbicara (bahkan melalui menggunjing) untuk memperingatkan calon korban.
Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan kita untuk membantu saudara kita, baik dia yang tertindas maupun penindas; kita membantu penindas dengan menghentikannya dari menindas orang lain lebih jauh. Kita tidak duduk diam dan membiarkan penindas terus melakukan ketidakadilan dan dosa. Terkadang diam adalah kekerasan; jika kita tidak berbicara, kita mempertaruhkan nyawa orang yang tertindas. Dan yang lebih buruk, adalah memberi tahu korban ketidakadilan, untuk tetap diam. Sayangnya, hal itu telah terjadi dan terus terjadi pada banyak kesempatan bahwa seorang korban dipermalukan sehingga tetap diam dalam menghadapi penindasan. Jika seseorang dizalimi, mereka harus berbicara, dan jika mereka takut, kita harus mendorong mereka untuk berbicara sehingga penindas tidak menganiaya orang lain. Kita berutang tidak hanya kepada diri kita sendiri, tetapi juga kepada setiap orang yang berpotensi menjadi korban.
Penting bagi kita untuk menyadari di sini bahwa diam dalam situasi seperti itu memungkinkan penindasan terus berlanjut, baik di tingkat negara maupun tingkat individu. Seperti yang disebutkan sebelumnya, menggunjing adalah dosa dalam keadaan normal, dan tetap diam saat seseorang digunjing secara keliru berarti membiarkan terjadinya perbuatan salah.
Dengan duduk diam, pada hakikatnya kita membenarkan perilaku berdosa. Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah ia duduk di meja yang menyediakan minuman keras”. [at-Tirmidzī]. Sebaiknya kita tidak duduk bersama orang-orang yang suka minum minuman keras, karena dengan duduk di meja yang sama, kita diam-diam menyetujui penyajian dan konsumsi sesuatu yang dilarang (ḥarām).
Hukum fiqih itu beragam dan juga mencakup kebolehan diam, yang akan kita bahas sekarang. Ada kalanya berbicara tidak baik, dan diam menjadi boleh (halal) atau bahkan wajib (fard).
Hadits berikut memberi kita wawasan yang baik tentang kebolehan berdiam diri: Abu Sa’id meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban seorang hamba pada Hari Pengadilan, dengan bertanya kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk mencerca keburukan itu ketika engkau melihatnya?” Hamba itu berkata, “Ya Tuhanku, aku berharap kepada-Mu dan aku meninggalkan orang-orang”. [at-Tirmidzī]. Ini adalah orang yang telah berusaha dan tidak berhasil, kemudian menarik diri karena mereka tidak mampu melakukan perubahan dan berharap ampunan Allah, maka mereka akan diampuni.
Yang dapat kita ambil dari hadis ini adalah kenyataan bahwa orang tersebut memiliki alasan yang sah untuk tetap diam. Orang tersebut tidak ditegur oleh Allah karena ia telah menggunakan pilihannya tetapi tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah situasi, tidak seperti orang yang memilih untuk tetap diam tanpa berusaha. Para ulama juga mengomentari hadis ini dengan mengatakan bahwa orang tersebut memiliki harapan kepada orang-orang dan berusaha sekuat tenaga untuk membuat mereka memahami kejahatan tindakan mereka tetapi tidak berhasil sehingga meninggalkan mereka. Mereka menyadari ketidakmampuan mereka dalam hal ini dan berpaling kepada Allah dengan harapan bahwa Dia akan mengampuni mereka karena meninggalkan orang-orang dan akan menangani kejahatan itu sendiri.
Diam juga bisa menjadi kewajiban bagi kita, tetapi kapan? Jika kemungkaran semakin bertambah dengan kita berbicara, maka penting untuk tetap diam dan ini adalah hal yang sering kali kita gagal pahami. Imam Ahmad radhiyallahu ‘anhu disiksa dengan kejam, tetapi mereka tidak dapat membunuhnya karena mereka tahu bahwa jika mereka membunuhnya, maka para pendukung Imam Ahmad akan membalas dendam dengan membunuh mereka.
Ketika Imam Husain h cucu Nabi Muhammad ﷺ pergi berperang, para sahabat tidak menyangka ia akan menang. Para sahabat merasa bahwa orang-orang tidak akan mendukungnya; mereka tidak mengira ia salah, tetapi mereka mengira ia tidak akan menang. Mereka mencoba menghentikannya karena mereka khawatir akan keselamatannya –bukan karena mereka mengira tujuannya salah. Akan tetapi, Imam Husain yakin bahwa ia dapat menghilangkan kemungkaran. Ia tidak pergi sendirian, tetapi mengumpulkan pasukan untuk menghadapi Yazid. Ia yakin bahwa ia memiliki sarana untuk membatalkan dan menghilangkan kemungkaran, tetapi para sahabat lainnya yakin bahwa ia tanpa disadari akan lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.
Terkadang berbicara itu berbahaya dan tidak efektif dalam menyingkirkan kejahatan dan malah memberi kekuatan kepada penindas untuk melakukan penindasan lebih lanjut dan dalam kasus seperti ini menjadi kewajiban untuk tetap diam. Berbicara dalam situasi seperti itu bisa jadi gegabah, sehingga penting bagi kita untuk mempertimbangkan untuk menarik diri (‘uzlah) dan memutuskan pada titik mana kita harus menarik diri dari situasi tersebut.
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Akan tiba suatu masa ketika harta terbaik seorang muslim adalah seekor kambing, lalu ia membawanya ke puncak gunung agar ia bisa lari bersama agamanya dari segala fitnah.” [al-Bukhārī]
Hadits ini secara efektif mengatakan bahwa kita dapat menarik diri dari masyarakat atau situasi tertentu untuk melindungi iman kita, namun kita hanya boleh mengambil apa yang kita butuhkan seminimal mungkin. Kita harus mencatat bahwa kita tidak dapat menggunakan hadits ini untuk mencoba dan menghindari semua bentuk penderitaan atau ujian (fitnah). Para sahabat Nabi ﷺ mengalami banyak cobaan yang berbeda dan sulit, tetapi mereka tidak menyerah atau melarikan diri. Hadits tersebut secara khusus berbicara tentang situasi di mana kita tidak dapat berbicara, atau kita menderita penganiayaan karena iman kita atau kita tidak dapat menjalankan iman kita dengan bebas, maka kita harus menarik diri. Dalam situasi seperti itu kita harus ingat bahwa kita hanya boleh mengambil apa yang dapat kita cukupi (bukan kemewahan apa pun), karena hijrah murni demi menjaga iman dan keluarga kita.
Nabi ﷺ juga menyebutkan dalam hadits lain bahwa Orang yang bergaul dan bersikap toleran terhadap manusia lebih baik daripada orang yang menjauhi manusia. [At-Tirmidzī]. Yang dimaksud dengan hadits ini adalah bahwa ada beberapa sifat dan kualitas yang dapat kita pelajari dari berinteraksi dengan manusia. Iman kita diuji ketika kita berinteraksi dengan orang lain, seperti kita belajar mengendalikan lidah, amarah, dan pandangan, serta belajar bagaimana berbisnis dengan benar. Jauh lebih mudah untuk menundukkan pandangan jika tidak ada orang di sekitar, tetapi jika kita berada dalam situasi tertentu dan kita menundukkan pandangan, pahala dari Allah jauh lebih besar. Umar bin al-Khaṭṭāb, mengomentari hal ini dan berkata, “Mereka adalah orang-orang yang hatinya diuji dengan ketaqwaan.”
Terakhir, ada baiknya kita mengingat kembali hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr, yang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Nabi ﷺ dan di akhir hadis Nabi ﷺ bersabda bahwa kita harus menghindari berbuat jahat dan menahan diri dari berbuat jahat kepada orang lain. Jika kita berada dalam suatu perkumpulan dan tidak dapat menghentikan terjadinya suatu kezaliman, tidak cukup hanya dengan membencinya dalam hati dan tetap tinggal di sana. Kita harus bangkit dan meninggalkan perkumpulan itu. Jika kita tidak mampu mengatakan sesuatu yang menentangnya, kita harus meninggalkannya. Jika tidak, kehadiran kita yang diam berarti kita menyetujui kezaliman tersebut.
Kita mungkin berada dalam situasi sulit dengan anggota keluarga (terutama mereka yang lebih tua dari kita), dan kita tidak dapat menghentikan mereka dengan mengatakannya secara langsung. Kita harus berhati-hati agar tidak menimbulkan masalah lebih lanjut, dan salah satu cara terbaik untuk mengarahkan mereka menjauh dari ketidakadilan adalah dengan mengalihkan topik pembicaraan dan berbicara tentang sesuatu yang tidak melibatkan fitnah atau gosip. Dengan melakukan hal itu, kita telah melakukan bagian kita karena kita membenci tindakan tersebut di dalam hati kita dan kita telah melakukan yang terbaik untuk mengarahkan mereka agar tidak melakukan lebih banyak ketidakadilan. Namun, jika ini tidak berhasil, maka kita memiliki pilihan untuk menarik diri dari situasi itu dan pergi.
Semoga Allah memberi kita keberanian untuk menentang ketidakadilan dan melindungi kita dari menyebabkan lebih banyak kerusakan. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman