#40HKS Bagian 26 – Dosa Pilih Kasih ; Berlaku Adil Kepada Anak

#40HKS Bagian 26 – Dosa Pilih Kasih ; Berlaku Adil Kepada Anak

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 26

DOSA PILIH KASIH: BERSIKAPLAH ADIL TERHADAP ANAK-ANAKMU

 

Diriwayatkan dari An-Nu’mān, ia berkata: Ibuku meminta ayahku agar ia memberiku hadiah, dan iapun memberikannya kepadaku. Namun ibuku berkata, “Aku tidak akan puas sampai engkau meminta Rasulullah untuk menjadi saksi”. Maka ayahku menggandeng tanganku, saat itu aku masih kecil, lalu pergi menemui Rasulullah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ibu dari anak ini, yaitu anak perempuan dari Rawāḥah, telah memintaku hadiah untuk anak ini, dan ia ingin agar aku meminta engkau untuk menjadi saksi”. Beliau bersabda, “Wahai Basyīr, apakah engkau memiliki anak selain anak ini?” Ia menjawab, “Ya”. Beliau bersabda, “Apakah engkau telah memberinya hadiah seperti yang engkau berikan kepada anak ini?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, janganlah engkau memintaku menjadi saksi, karena aku tidak mau menjadi saksi atas kezaliman”.

 

PADA BAB SEBELUMNYA, kita telah melihat pentingnya memperlakukan orang tua kita dengan baik (iḥsān), dan juga menyinggung topik tentang bersikap proporsional terhadap anak-anak, dan tidak meminta terlalu banyak dari mereka. Islam adalah agama keseimbangan, dan mungkin terlihat sulit untuk mencapai keseimbangan dalam sebuah hubungan, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Harus ada keseimbangan dalam berurusan dengan anak-anak, jika tidak, kita akan jatuh ke dalam dosa jika kita menunjukkan sikap pilih kasih kepada satu anak dan tidak kepada anak yang lain. Memperlakukan anak secara berbeda dengan alasan apapun, seperti membandingkan anak pertama dengan anak kedua, atau lebih memilih anak laki-laki daripada anak perempuan bukanlah tindakan yang dapat diterima dalam pandangan Islam tentang dinamika keluarga.

Saya ingin memulai dengan menyebutkan sebuah hadits yang menjadi dasar dari topik ini dan membantu kita untuk memahami posisi Nabi Muhammad ﷺ. Diriwayatkan oleh al-Nu’mān bin Basyīr, yang berkata: “Ayahku ingin memberiku hadiah, tetapi ibuku ikut campur dan berkata bahwa dia tidak akan setuju jika ayah memberiku hadiah kecuali jika Nabi Muhammad ﷺ menyetujuinya. Jadi, ayahku pergi dan berkata kepada Nabi Muhammad ﷺ, ‘Aku akan memberikan hadiah kepada anakku, tetapi istriku tidak akan mengizinkanku kecuali jika engkau menyetujuinya. Nabi Muhammad ﷺ menjawab, “Apakah kamu punya anak yang lain? Apakah kamu telah memberikan kepada anak-anakmu yang lain seperti apa yang kamu berikan kepadanya?” Ayahku menjawab tidak, dan Nabi Muhammad ﷺ berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu. Jangan jadikan aku sebagai saksi atas pemberianmu terhadapnya karena aku tidak mau menjadi saksi atas kezaliman dan ketidakadilan.” (HR. Abū Dāwūd).

Kata-kata Rasulullah ﷺ ini sangat kuat dalam arti bahwa beliau tidak ingin menjadi saksi bahwa seorang ayah memberikan hadiah kepada salah satu anaknya, sementara anak-anaknya yang lain tidak diberi hadiah. Rasulullah ﷺ menjelaskan di sini bahwa kita tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada anak-anak, bahkan dalam hal memberikan hadiah. Setiap anak harus menerima sesuatu yang serupa; Nabi Muhammad ﷺ tidak mengatakan bahwa hadiah itu harus sama persis, tetapi harus serupa dalam hal nilai dan kenikmatan atau manfaat yang akan diperoleh anak dari hadiah tersebut.

Dalam hadits lain, Nabi Muhammad ﷺ bersabda tiga kali, “Berlaku adil lah terhadap anak-anak kalian, berlaku adil lah terhadap anak-anak kalian, berlaku adil lah terhadap anak-anak kalian”. (HR. Abū Dāwūd). Namun dalam hadits lain, beliau bersabda, “Berlaku adillah terhadap anak-anakmu sebagaimana kamu ingin mereka berlaku adil terhadapmu”. Hadits kedua ini terdengar sangat mirip dengan ungkapan yang terkenal dan sering digunakan, ‘perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan,’ namun jarang sekali terlihat atau digunakan dalam hal dinamika keluarga. Kita tidak benar-benar berpikir untuk memperlakukan anggota keluarga kita sebagaimana kita ingin diperlakukan, namun Nabi Muhammad ﷺ dengan sangat indah menyebutkan hal ini untuk memastikan bahwa orang tua tidak melakukan ketidakadilan terhadap anak-anak mereka.

Dalam banyak kasus, anak-anak yang diperlakukan dengan buruk akan menjadi orang tua yang kasar, dan hal ini akan menjadi lingkaran setan yang kejam. Rasulullah ﷺ ingin agar para orang tua mengetahui betapa pentingnya memberikan contoh yang baik bagi anak-anak mereka, dengan memperlakukan mereka secara adil dan tidak menzalimi mereka dengan cara apa pun.

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Nu’mān bin Basyīr memiliki beberapa variasi yang berbeda (tidak ada yang bertentangan satu sama lain, namun ada konteks yang lebih jauh). Ada beberapa manifestasi praktis dari hadits ini yang menurut para ulama tidak terbatas pada bagaimana hadiah atau dukungan finansial didistribusikan kepada anak-anak. Hadits ini juga mencakup bagaimana kita secara emosional memberi dan bahkan menyambut anak-anak kita. Guru Imām al-Bukhārī, Ibrāhīm al-Naq’ī mengatakan, para sahabat biasa mendorong keadilan di antara anak-anak bahkan dalam hal ciuman, dan tidak memberikan lebih banyak makanan kepada salah satu anak daripada yang lain kecuali untuk alasan yang sah. Para sahabat sangat memperhatikan bagaimana mereka menjaga hubungan mereka dengan anak-anak mereka, karena mereka telah melihat Nabi ﷺ menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada anak-anak. Salah satu kejadian yang sangat terkenal adalah ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang bermain dengan cucunya, Ḥasan dan Ḥusain, dan beliau mencium mereka. Seorang pria menyaksikan hal ini dan mengatakan kepada Nabi ﷺ bahwa ia memiliki sepuluh anak dan tidak pernah mencium satu pun dari mereka, yang kemudian Nabi ﷺ berkata, “Apa yang bisa aku lakukan jika seseorang tidak memiliki belas kasihan di dalam hatinya?” (HR. Bukhari). Perasaan alamiah cinta terhadap anak-anak dipandang rendah di antara orang-orang Arab pada waktu itu, dan Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan kepada mereka bahwa mengekspresikan cinta kepada anak-anak bahkan harus dilakukan di depan umum.

Sebuah kejadian indah yang diriwayatkan oleh Ḥasan semakin menguatkan sikap dan ajaran Nabi Muhammad ﷺ ini: Ketika Nabi ﷺ sedang berbicara dengan para sahabatnya, seorang anak laki-laki masuk dan berjalan ke arah ayahnya. Dia membelai kepala anaknya dan mendudukkannya di pangkuannya. Beberapa waktu berlalu, dan seorang gadis kecil (putrinya) datang kepadanya, dan sang ayah membelai rambutnya lalu mendudukkannya di tanah di sampingnya. Meskipun sang ayah menyapa mereka berdua, ia tidak menyapa mereka dengan setara. Nabi Muhammad ﷺ memperhatikan hal ini ketika berbicara kepada para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kamu memiliki sisi lain untuk diberikan (dari pangkuanmu)?” Sang ayah kemudian mendudukkan putrinya di sisi lain pangkuannya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sekarang kamu telah menunjukkan keadilan”. (Syarh Ma’ani al-Atsar).

Rasulullah ﷺ memperhatikan sesuatu yang mungkin terlihat sangat kecil, namun beliau langsung menyebutkan bahwa anak-anak harus diperlakukan dengan adil.

Ḥasan dan Ḥusain dikenal sebagai cucu kesayangan Rasulullah ﷺ, tetapi beliau juga memiliki cucu laki-laki lain, yaitu Usāmah bin Zaid, yang merupakan putra dari anak angkatnya, Zaid bin Ḥāriṡah. Rasulullah ﷺ memperlakukan Usāmah dengan cara yang sama seperti beliau memperlakukan cucu-cucunya yang memiliki hubungan darah, Usāmah berkata tentang hal ini, Ketika Nabi ﷺ melihatku, beliau biasanya mendudukkanku di salah satu pahanya dan beliau mendudukkan Ḥasan di paha yang lain. Beliau memeluk kami dan berdoa, “Ya Allah, sayangilah mereka sebagaimana aku menyayangi mereka”. (HR. Bukhari). Beliau tidak akan membuat salah satu dari anak-anaknya merasa kurang dicintai daripada yang lain, beliau menyadari pentingnya emosi mereka dan akan menunjukkan kepada mereka semua perlakuan yang sama.

Para ulama juga mengomentari hal ini dan mengatakan bahwa mungkin saja ada kecenderungan alamiah atau kedekatan dengan salah satu anak, bahkan orang yang paling shalih sekalipun mengalami hal ini, namun mereka akan menyimpannya di dalam hati mereka dan tidak akan membiarkan hal itu menjadi ketidakadilan di antara anak-anak mereka. Umar bin Abdul Aziz juga memiliki seorang anak yang paling ia cintai di antara anak-anaknya, namun ia berkata kepada anaknya, “Ketahuilah, aku mencintaimu, tetapi aku tidak mungkin mengutamakanmu atas salah satu saudaramu meskipun hanya dengan sesuap makanan.”

Imām Aḥmad r membahas topik tentang perlakuan adil di antara anak-anak ini dalam kitab fikihnya. Beliau menyatakan bahwa jika seseorang memiliki lebih dari satu anak perempuan, dan dia memberikan kepada salah satu anak perempuannya sejumlah perhiasan pada saat pernikahannya, maka jumlah yang sama harus diberikan kepada anak perempuannya yang lain.

Ada beberapa pengecualian tertentu yang diperkenankan untuk memberikan lebih banyak kepada seorang anak daripada anak lainnya:

  • Terkadang pembagian warisan diatur sedemikian rupa sehingga beberapa anak akan mewarisi lebih banyak daripada yang lain.
  • Ketika seorang anak tidak sehat.
  • Ketika seorang anak mengalami kesulitan keuangan.
  • Ketika seorang anak tinggal lebih jauh, orang tua mungkin ingin memberikan lebih banyak hadiah kepada mereka ketika mereka bertemu.
  • Jika seorang anak boros dan tidak bertanggung jawab, orang tua akan memberikan lebih banyak kepada anak yang lain untuk mengajarkan tanggung jawab kepada anak yang tidak bertanggung jawab.
  • Jika anak-anak berada pada tahap yang berbeda dalam kehidupan mereka; terkadang ada kesenjangan usia yang besar di antara anak-anak sehingga perbedaan itu diakui (jika orang tua memberikan sesuatu kepada anak mereka yang berusia dua tahun, tentu mereka tidak akan memberikan hal yang sama kepada anak mereka yang berusia dua puluh tahun).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui dampak dari pilih kasih dan dapat dipahami bahwa pilih kasih tidak hanya berdampak pada anak yang terabaikan, tetapi juga memiliki konsekuensi psikologis yang mendalam pada seluruh anggota keluarga. Hal ini berdampak pada orang tua dan saudara kandungnya; pengaruhnya terasa pada semua anak ketika mereka beranjak dewasa dan bukan hanya sebagai ketidakadilan terhadap anak yang tidak mendapatkan perhatian, dukungan emosional, atau kasih sayang yang sama.

Bahkan dalam situasi di mana orang tua tidak menunjukkan sikap pilih kasih, kecemburuan dapat berkembang di antara anak-anak yang pada gilirannya dapat menciptakan efek yang berbahaya di dalam keluarga. Contoh terbaik dari situasi seperti ini adalah Nabi Ya’qūb n dan anak-anaknya. Nabi Ya’qūb tidak memperlakukan Yusuf berbeda dengan anak-anaknya yang lain, ia tidak bersikap tidak adil dalam memperlakukan mereka dan juga tidak secara terang-terangan mengistimewakan Yusuf. Meskipun Yusuf adalah yang terbaik di antara anak-anaknya, ia tidak membandingkannya dengan mereka, dan tidak pula berkata kepada anak-anaknya yang lain, “Mengapa kalian tidak bisa menjadi seperti Yusuf?”. Melakukan perbandingan seperti itu tidak akan menginspirasi saudara kandung untuk menjadi seperti satu sama lain, bahkan akan membuat mereka tidak hanya membenci saudara kandung mereka, tetapi juga orang tua mereka.

Seandainya Yūsuf menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, mereka tidak akan setuju untuk melemparkannya ke dalam sumur, tetapi mereka akan langsung membunuhnya. Ya’qūb telah menasehati Yūsuf untuk tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, karena jika tidak, mereka akan berkomplot untuk membunuhnya. Dengan mengindahkan nasihat ayahnya, Yūsuf berhasil mengatasi trauma karena dilemparkan ke dalam sumur dan kemudian mencapai hal-hal besar.

Nabi Muhammad ﷺ juga tidak pernah merendahkan seorang anak ketika memuji anak yang lain; beliau tidak menunjukkan sikap pilih kasih. Beliau memang memiliki keterikatan khusus dengan Fāṭimah, tetapi beliau tidak mengubah kedekatan ini menjadi tindakan. Beliau bersikap adil terhadap semua anaknya, tetapi Fāṭimah adalah yang paling dekat dengan beliau.

Meskipun persaingan antara saudara kandung adalah hal yang wajar, orang tua tidak boleh menyulut api dengan membuat perbandingan. Hal itu dapat menyebabkan anak-anak menjadi jauh satu sama lain dan juga dari orang tua mereka. Setan selalu berusaha untuk menghancurkan hubungan, kita harus memastikan bahwa kita tidak membiarkan hal ini terjadi. Nabi Muhammad ﷺ membuat pernyataan yang mendalam di mana beliau mengatakan bahwa mereka yang adil terhadap keluarganya akan duduk di atas mimbar-mimbar cahaya di sisi Allah. (HR. Muslim). Beliau juga menyebutkan dalam hadits bahwa orang yang meninggal dunia dan mencurangi kelompoknya akan diharamkan surga. Yang dimaksud dengan kelompok di sini adalah keluarga; kita akan bertanggung jawab kepada Allah pada Hari Kiamat karena merampas hak-hak keluarga kita dan tidak adil dalam perlakuan kita terhadap mereka.

Kecenderungan khusus mengenai anak-anak yang sangat lazim dalam masyarakat di sekitar Nabi Muhammad ﷺ – dan sayangnya masih ada di berbagai budaya di seluruh dunia – adalah lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan. Karena alasan inilah kita menemukan begitu banyak hadits tentang pahala membesarkan anak perempuan dengan baik. Rasulullah ﷺ dibesarkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya yang sangat mengutamakan anak laki-laki, sampai-sampai mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka. Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa barangsiapa yang diberi anak perempuan, memperlakukan mereka dengan baik dan membesarkan mereka dengan baik, maka anak perempuannya akan menjadi pelindung baginya di Hari Kiamat. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang mengasuh tiga anak perempuan akan diberikan surga. Pernyataan kuat lainnya dari Nabi ﷺ adalah bahwa beliau akan sedekat dua jari yang berdekatan dengan mereka yang merawat anak yatim dan anak perempuan. Beliau menempatkan mereka pada tingkat kepentingan yang sama; anak perempuan telah diabaikan seperti anak yatim sepanjang sejarah. Mereka tidak diberi hak atau penghormatan yang semestinya dan Nabi ﷺ datang untuk mengubahnya.

Dalam Surat Asy-Syūrā, ayat 49, Allah menyebutkan tentang pemberian anak perempuan sebelum anak laki-laki. Ada hikmah di balik ini karena penyebutan anak perempuan sebelum anak laki-laki adalah untuk menghibur anak perempuan yang telah diperlakukan tidak adil atau dianggap lebih rendah. Allah juga menyebutkan bahwa jenis kelamin yang dilahirkan adalah atas kehendak-Nya, bukan kehendak orang tua. Allah memilih dan mengetahui dengan baik siapa yang dikaruniai anak perempuan dan siapa yang dikaruniai anak laki-laki. Ibnu Qayyim juga mengomentari ayat ini dan mengatakan bahwa Allah tidak menggunakan kata sandang definitif ketika menyebutkan perempuan, dalam bahasa Arab ini menjadikannya bentuk ungkapan yang lebih kuat tetapi Dia menggunakan kata sandang definitif dengan laki-laki dan dengan melakukan itu Allah mengubah persepsi inferioritas perempuan dengan menyebutkannya sebelum laki-laki dan menggunakan bentuk ungkapan yang lebih kuat sehubungan dengan mereka.

Namun, sangat menyedihkan melihat bahwa bahkan di zaman sekarang ini orang-orang akan berdoa untuk mendapatkan anak laki-laki dan menjadi marah jika Allah memberi mereka anak perempuan. Hal ini juga berpengaruh pada pendidikan dan perlakuan yang tidak adil terhadapnya. Para ulama telah mengatakan bahwa adalah hak anak perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan dan mereka harus memiliki akses yang sama. Menjadi sebuah ketidakadilan ketika anak perempuan tidak dididik pada tingkat yang sama dengan anak laki-laki, meskipun dalam sejarah Islam kita bisa melihat contoh-contoh perempuan yang menjadi ulama besar. Putri Imām Mālik, Fāṭimah, adalah ulama terbesar di antara anak-anaknya; ia menghafal kumpulan haditsnya dan kemudian mengajar ribuan murid.

Para ulama memahami nilai dan pentingnya mendidik anak-anak mereka secara setara. Mereka tidak membedakan antara anak perempuan dan anak laki-laki, sehingga anak-anak perempuan tersebut menjadi wanita-wanita yang berilmu.

Terlepas dari apakah perlakuan istimewa itu datang dalam bentuk anak yang lebih tua dibandingkan anak yang lebih muda, atau jenis kelamin anak, atau kecenderungan alamiah, kita harus ingat untuk selalu bertakwa kepada Allah. Kita harus memperhatikan bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita, dan kita harus berhati-hati agar kita tidak berlaku tidak adil terhadap mereka dalam bentuk apapun.

Semoga Allah menjadikan kita adil terhadap keluarga kita dan melindungi kita agar tidak menjadi zalim karena ketidakadilan yang dilakukan kepada kita. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Copyright © 2025 Abu Azzam Al-Banjary