Bagian 27
HAK-HAK DALAM PERNIKAHAN
Dari Mu’āwiyah al-Qushayrī h: Aku mendatangi Rasulullah ﷺ dan bertanya kepada beliau: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami tentang istri-istri kami?’. Beliau menjawab: “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai, dan janganlah kalian memukul mereka, dan janganlah kalian merendahkan mereka”.
SALAH SATU topik yang paling sulit dalam lingkup keluarga adalah menyangkut hak-hak dalam hubungan pernikahan, dan karena tidak mungkin untuk membahas setiap skenario, maka untuk memahami maksud secara keseluruhan, kita akan melihat pada bingkai yang diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Kita dapat mempelajari hak-hak dasar dari bingkai ini dan membangun semangat kehidupan Nabi (Sunnah) sehubungan dengan hak-hak ini.
Saya ingin memulai dengan menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’āwiyah al-Qusyairi: Saya mendatangi Rasulullah ﷺ dan bertanya kepadanya, ‘Apa yang Anda perintahkan tentang istri kami?’. Beliau menjawab, “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai, dan janganlah kalian memukul dan jangan pula merendahkan mereka”. (HR. Abū Dāwūd).
Di sini kita melihat bahwa pertanyaan tersebut secara khusus ditujukan kepada hak-hak istri atas suami, dan Nabi ﷺ sengaja menggunakan bahasa yang tegas dalam jawabannya karena beliau memahami maksud dari pertanyaan tersebut dan mengetahui di mana kekurangannya. Nabi ﷺ bisa saja memilih untuk menjawab hanya dengan mengatakan tunjukkanlah kebaikan (iḥsān) kepada istri-istri kalian, tetapi beliau lebih spesifik dan memberikan jawaban yang mencakup hak-hak fisik dan emosional. Beliau menegaskan bahwa seorang istri harus makan dengan kualitas makanan yang sama dengan suaminya, pakaiannya harus memiliki kualitas yang sama dan tidak boleh mengalami kekerasan fisik seperti pemukulan, dan juga tidak boleh disiksa secara emosional seperti direndahkan.
Dalam surah al-Baqarah, 2:228, Allah berfirman: Dan hak para istri adalah seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Allah menyebutkan hak-hak wanita sebagai istri sebelum hak-hak suami, dan Dia menempatkan hak-hak tersebut dalam kategori yang sama, yang berarti bahwa hak-hak suami dan istri adalah sama. Memang ada perbedaan teknis mengenai hak-hak tersebut, namun secara umum seseorang harus memperlakukan pasangannya sebagaimana ia ingin diperlakukan. Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dan mengatakan bahwa ‘bil-ma’rūf’ di sini memiliki dua konotasi, yang pertama adalah sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan, dan yang kedua adalah dengan kebaikan. Banyak aspek dari pernikahan yang dapat dan telah berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, dan itulah mengapa kita harus melihat kepada apa yang menjadi kebiasaan atau standar untuk mengetahui bagaimana melaksanakan hak-hak atau kewajiban-kewajiban tersebut sesuai dengan standar dan dengan kebaikan.
Ibnul Abbas memberikan contoh yang luar biasa dan mengutip ayat ini ketika menjelaskan mengapa ia mempercantik dirinya sebelum memasuki rumah. Ia ingin mempercantik dirinya untuk istrinya sebagaimana ia ingin istrinya mempercantik dirinya untuknya. Ibn al-‘Abbās memahami bahwa pada Hari Kiamat, Allah akan bertanya kepada setiap orang tentang hak dan kewajiban mereka satu sama lain, dan melakukan iḥsān sembari memenuhi hak-hak orang lain atas diri Anda adalah cara untuk menyenangkan Allah. Kita juga tidak boleh terlalu menuntut hak-hak kita, namun ini tidak berarti bahwa kita dengan sengaja menerima ketidakadilan atau bahaya. Dengan kata lain, ini berarti bahwa kita harus bermurah hati terhadap hal-hal yang menjadi hak kita, dan kita berusaha lebih baik terhadap apa yang menjadi kewajiban kita. Dan itulah yang seharusnya menjadi pendekatan kita dalam pernikahan, namun, sebagai manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa pasti akan ada kekurangan.
Allah akan mengganti kekurangan tersebut pada hari kiamat; ini tidak berarti bahwa Allah akan menghukum pasangan kita, tetapi Dia akan mengganti kebaikan dengan kebaikan, dan pengampunan dengan pengampunan.
Sekarang mari kita lihat hak-hak istri secara lebih rinci:
1. Hak istri yang pertama adalah belanja atau nafkah:
• Nafkah adalah menyediakan makanan dan pakaian yang layak, dan biaya-biaya pengeluaran lainnya. Kata yang digunakan secara khusus menunjukkan sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan. Nabi ﷺ tidak mengatakan bahwa seorang suami harus memberikan uang dalam jumlah tertentu kepada istrinya untuk biaya hidup setiap bulannya, karena hal itu akan menimbulkan banyak masalah. Pengeluaran dapat berubah seiring dengan waktu dan tempat dan Nabi ﷺ memasukkan hal ini ke dalam jawabannya.
• Istri tidak dituntut atau diharapkan untuk berkontribusi secara finansial terhadap rumah tangga, namun, jika ia melakukannya, maka hal itu adalah sebuah kebaikan. Salah satu contohnya adalah Zainab, istri Ibnu Mas’ūd, yang membayarkan zakatnya kepada suaminya.
• Jika seorang suami pelit dan tidak menafkahi istrinya, maka istri berhak mengambil dari suaminya tanpa izin, tetapi harus dengan cara yang wajar dan hanya sejumlah yang mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya. Nabi ﷺ berkata kepada Hind ketika ia datang mengeluh bahwa Abū Sufyān pelit kepadanya, “Ambillah darinya apa yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dalam batas kewajaran”. Namun, sebagian besar ulama mengatakan bahwa kewajaran adalah subjektif, dan seorang wanita harus pergi ke hakim atau ulama sebelum mengambil dari suaminya, untuk menentukan apa yang wajar sesuai dengan keadaannya. Pendapat Imām Aḥmad dalam hal ini adalah yang paling lunak, karena ia mengatakan bahwa seorang wanita dapat mengambil dari suaminya dengan cara yang wajar tanpa harus melalui proses peradilan.
2. Hak kedua dari seorang istri adalah tempat tinggal:
• Salah satu hadis Nabi ﷺ yang paling terkenal adalah ketika beliau bersabda, Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu, hendaklah ia menikah. (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Qayyim, definisi teknis dari ‘mampu’ di sini adalah kemampuan untuk menyediakan rumah, makanan, dan pakaian.
• Jika ada orang lain yang tinggal di rumah yang sama, maka wanita tersebut berhak meminta tempat tinggal sendiri. Namun, jika ia mengizinkan orang lain untuk tinggal bersama mereka (seperti orang tua), maka hal itu merupakan kebaikan (iḥsān) dari pihak wanita.
3. Hak ketiga dari istri adalah hubungan intim:
• Hak untuk bermesraan tidak hanya terbatas pada suami.
• Para ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang seberapa sering seorang suami harus menggauli istrinya, dan alasannya adalah karena mereka menggunakan bentuk analogi yang berbeda untuk sampai pada kesimpulan mereka. Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang suami harus menggauli istrinya setiap empat malam sekali, sementara sebagian yang lain mengatakan setidaknya sebulan sekali.
• Suami juga harus menggunakan inisiatifnya sendiri untuk menggunakan alasan yang diberikan oleh para ulama, karena konsensus adalah bahwa istri juga tidak boleh ditolak oleh suaminya sebagaimana suami tidak boleh ditolak oleh istri.
4. Keempat, istri juga memiliki hak-hak emosional:
• Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa seorang suami tidak boleh meremehkan, mengejek, atau menyakiti perasaan istrinya.
• Nabi Muhammad ﷺ memimpin dengan memberi contoh; ada banyak contoh dari kehidupan Nabi ﷺ yang menunjukkan kepekaan beliau terhadap kesehatan emosional para istrinya. Sebagai contoh, beliau bisa mengetahui kapan Aisyah kesal dengannya karena ia akan bersumpah dengan nama Rabb-nya Ibrāhīm, dan bukan dengan nama Rabb-nya Muhammad ﷺ (yang ia lakukan ketika ia sedang bahagia). Beliau memperhatikan apa yang dikatakannya dan apa yang dirasakannya. Hal ini melampaui dari apa yang menjadi haknya; beliau melampaui kewajibannya dalam menunjukkan kasih sayang dan perhatian kepada pasangannya.
• Contoh lain adalah ‘Āisyah i yang ingin melihat tarian perang orang-orang Habasyah, Nabi Muhammad ﷺ menggandengnya dan ia meletakkan kepalanya di pundak beliau, lalu ia menyaksikan tarian itu dalam posisi tersebut selama beberapa saat, kemudian itu Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah merasa puas?” Ia menjawab belum. Maka beliau menunggu sampai ia mengatakan bahwa ia puas sebelum pergi. Hal ini menunjukkan kebaikan yang sempurna (iḥsān) terhadap istri; memahami emosinya dan menunjukkan cinta dan perhatian lebih telah melampaui hak-hak dasar, tetapi hal itu sangatlah baik untuk hubungan tersebut.
Berusaha memberikan yang terbaik (iḥsān) dalam pernikahan
Allah menyebutkan dalam surah an-Nisā’ [4] ayat 19: “Dan pergaulilah istri-istrimu itu dengan caya yang baik”. Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan mencakup kata-kata yang diucapkan seorang suami, menutupi kekurangan istri dan berlaku adil serta memberikan hak-hak dasar. Perlakuan yang baik dengan cinta dan perhatian yang lebih akan sangat bermanfaat bagi hubungan pernikahan. Contoh lain dari Nabi ﷺ yang memberikan perhatian lebih adalah ketika Aisyah i kehilangan kalungnya dan beliau menghentikan seluruh pasukannya untuk mencarinya. Itu sebenarnya bukan haknya, tetapi beliau tetap melakukannya karena cinta.
Sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ Muslim mengatakan, “Seorang pria mukmin tidak boleh membenci wanita mukminah (maksudnya istrinya), jika ia tidak menyukai salah satu sifat wanita tersebut, maka ia akan menyukai sifat yang lain”. Rasulullah membuat poin yang jelas di sini dengan mengatakan bahwa seorang suami tidak boleh fokus pada satu hal yang tidak disukainya dari istrinya, tetapi dia harus fokus pada apa yang disukainya karena hal itu akan membantu menutupi kekurangannya, dan kita semua memiliki kekurangan.
Perlu juga untuk disebutkan disini adalah hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dalam pernikahan poligami. Allah dan Rasul-Nya ﷺ telah dengan jelas menyatakan bahwa harus ada keadilan dalam poligami. Salah satu hadits mengatakan, “Barangsiapa yang memiliki dua istri dan ia lebih mengutamakan yang satu daripada yang lain (dalam hak-hak mereka), maka ia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan bengkok.” (HR. Tirmidzi). Yang dimaksud dengan kata bengkok di sini adalah miring, atau terbebani lebih banyak di satu sisi daripada sisi lainnya, dan karena alasan inilah para ulama mengatakan bahwa seseorang harus menunjukkan ketakwaan kepada Allah untuk mencapai keadilan dalam pernikahan poligami.
Sekarang kita beralih ke hak-hak suami atas istri, ada beberapa kesamaan dalam hak-hak tersebut jika dibandingkan dengan hak-hak istri, namun kita juga akan melihat perbedaannya:
1. Hak pertama suami adalah kepemimpinan. Ini adalah salah satu konsep yang paling sulit untuk dipahami, meskipun ada beberapa hadits yang menyebutkan hak ini:
• Hadits yang menyebutkan tentang penggembalaan menegaskan bahwa laki-laki, atau suami adalah penjaga keluarga – ia memiliki peran kepemimpinan.
• Hadits lain menyebutkan bahwa ketaatan seorang istri kepada suaminya akan memberinya tempat di surga. Penting untuk dicatat bahwa ketika menerjemahkan dari bahasa Arab, mungkin sulit untuk menerjemahkan kata-kata tersebut sesuai dengan arti yang sebenarnya. Kata ketaatan sering kali memiliki konotasi superioritas dari orang yang ditaati, namun pada kenyataannya tidak ada orang yang memiliki otoritas absolut atas orang lain. Kita tidak boleh berfokus pada terjemahannya, melainkan berfokus pada makna yang dimaksudkan.
• Tidak boleh ada kesewenang-wenangan, penindasan atau kurangnya pertanggungjawaban dalam hubungan pernikahan sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ, “Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang paling baik terhadap istrinya”.
• Imām al-Ghazālī mengatakan bahwa hubungan pernikahan adalah seperti model Khilāfah dan Dewan Syūrā, dimana keduanya berfungsi bersama dan bertanggung jawab satu sama lain. Tidak ada yang merendahkan, meremehkan atau menindas satu sama lain.
• Seorang istri harus mengikuti suaminya dalam hal-hal yang wajar dan tidak dilarang. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk, dalam rangka mendurhakai Sang Khaliq”.
2. Hak suami untuk menggauli istri:
• Hak suami untuk menggauli istrinya tidak berarti bahwa ia dapat menyakiti istrinya atau mengambil keuntungan darinya.
• Ada hadits Nabi Muhammad ﷺ yang melarang seorang wanita untuk menolak berhubungan intim dengan suaminya sebagai cara untuk menghukumnya atau menunjukkan kemarahan kepadanya.
• Hak untuk berhubungan intim adalah untuk suami dan istri, namun, penekanan ekstra dapat ditemukan terhadap suami dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ.
3. Suami juga memiliki hak emosional:
• Selama khutbah perpisahan, Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa seorang istri tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak disukai suaminya masuk ke dalam rumah. Dia juga tidak boleh membiarkan seseorang masuk tanpa seizin suaminya. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan kerja sama terhadap suami.
• Ketika Nabi Muhammad ﷺ memberikan nasihat (yang berbeda) kepada laki-laki dan perempuan tentang kewajiban mereka, para sahabat tahu bahwa beliau tidaklah bermaksud kasar. Nasihat dapat diberikan secara terus terang kepada orang yang memiliki tingkat kepercayaan dan pemahaman yang tinggi; tetapi ketika kita hanya membaca teks tanpa mempertimbangkan konteksnya, kita akan kehilangan makna tersebut. Sebagai contoh, ketika Abū Bakar memegang jenggot Umar, Umar tidak tersinggung dengan hal itu karena mereka memiliki hubungan yang dekat dan saling percaya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asmā’ binti Yazīd, ia mendatangi Nabi Muhammad ﷺ di hadapan para lelaki dan berkata, “Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana mungkin kami para wanita melakukan semua ini, sementara para lelaki keluar untuk Ṣalāt Jum’ah dan pergi berperang bersamamu dan memborong semua pahala. Bukankah kami juga berhak mendapatkan sebagian pahala?”. Nabi ﷺ bersabda, “Pernahkah kalian mendengar ungkapan yang lebih indah dari ungkapan wanita ini? Kembalilah kepada para wanita dan beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan pahala yang sama dengan pahala para lelaki.” (HR. Bukhari). Disini kita dapat melihat bagaimana para Sahabat -baik laki-laki maupun perempuan- dan Nabi Muhammad ﷺ memiliki rasa keterusterangan dalam hubungan mereka, dan mereka tidak tersinggung dengan apa yang dikatakan.
• Menunjukkan rasa tidak berterima kasih kepada suami dapat melukai perasaannya dan membuatnya merasa tidak mampu. Dalam hadits lain, Asmā’ binti Yazīd meriwayatkan, ‘Rasulullah ﷺ melintas di hadapanku ketika aku sedang bersama beberapa budak wanita muda milikku. Beliau menyapa kami dan berkata, “Waspadalah terhadap orang-orang yang tidak bersyukur atas keberkahan”. Aku adalah orang yang paling berani di antara mereka yang maju ke depan untuk menanyai beliau dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, siapakah yang dimaksud dengan orang yang tidak bersyukur atas keberkahan?’. Beliau menjawab, “Yaitu salah seorang dari wanita yang belum menikah dalam waktu yang lama, kemudian Allah memberinya suami dan anak-anak darinya, lalu ketika ia marah kepada suaminya ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan apa pun darimu”. Konteks hadits ini adalah tentang seorang suami yang secara keseluruhan memenuhi tanggung jawabnya, namun terkadang melakukan kesalahan.
Ketika mencoba memahami hubungan pernikahan, akan sangat membantu jika kita melihat apa yang Allah katakan tentang hal itu. Sebagai contoh, dalam surah Ar-Rūm [30] ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Hak-hak pasangan harus dipenuhi tanpa ragu dalam menjalankannya sebagai bentuk rasa takut kepada Allah dan ketaatan kepada sabda Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam wasiat terakhir Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Peliharalah shalat kalian dan perlakukanlah istri-istri kalian dengan baik.” (HR. Abū Dāwūd). Ibnu Qayyim berkata mengenai pernyataan ini bahwa hubungan kita terbagi antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Hal ini sudah cukup bagi kita untuk memahami bahwa hubungan ini haruslah mengarah pada kebaikan yang sempurna (iḥsān). Kita harus melangkah lebih jauh dari apa yang dituntut dari kita untuk membuat hubungan ini benar-benar berhasil; jika kita hanya berfokus pada masalah teknis tentang hak-hak kita, maka itu adalah pertanda bahwa pernikahan itu akan runtuh. Pernikahan lebih dari sekedar pemenuhan hak-hak dasar; hak-hak itu sudah pasti ada. Memberikan yang terbaik (iḥsān) dan berusaha untuk menginspirasi iḥsān pada pasangannya akan membuat sebuah pernikahan menjadi langgeng, bahagia, dan sukses.
Imām Aḥmad menyebutkan bahwa ia dan istrinya telah menikah selama tiga puluh tahun dan mereka hanya bertengkar satu kali, itupun karena ia salah. Pada malam pernikahan mereka, mereka berdoa bersama dan sang istri memberikan semacam pidato, atau bahkan khotbah, untuk mengatakan bagaimana ia akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi hak-hak Allah dan melakukan yang terbaik sebagai seorang istri. Imām Aḥmad terkejut dengan hal ini, dan ia pun berjanji kepada istrinya bahwa ia akan melakukan yang terbaik untuk menjadi suami yang terbaik untuk istrinya.
Setiap orang hendaknya memperhatikan diri mereka sendiri terlebih dahulu, sebagai bentuk rasa takut kepada Allah, dan untuk memastikan bahwa mereka tidak lalai dalam melakukan yang terbaik. Seseorang mungkin menikah dengan seseorang yang sangat sabar atau lembut, namun mereka harus berusaha untuk menjadi pasangan yang lebih baik dan tidak berpuas diri. Ini bukan berarti bahwa kita tidak akan pernah mengkhawatirkan hak-hak kita; mungkin akan ada waktu di mana kita perlu berkonsultasi dengan pihak ketiga untuk mendapatkan konseling atau nasihat, tapi meskipun demikian, semangatnya adalah untuk mencari bantuan dari pihak ketiga untuk melewati situasi yang sulit, dan bukannya untuk mengeluh tentang pasangan.
Sebelum saya menyimpulkan, saya ingin menyampaikan sebuah poin penting mengenai kekosongan emosional dan dampaknya dalam pernikahan. Sayangnya, dunia telah berubah sedemikian rupa sehingga sebagian besar orang merasa terisolasi pada tingkatan yang cukup serius. Tidak ada lagi tradisi guyub yang memungkinkan orang untuk memperoleh dukungan emosional dari orang lain, sehingga menciptakan banyak kekosongan dan perasaan terisolasi yang lebih kuat. Dan karena itulah kita memiliki kekosongan dan kebutuhan emosional yang lebih besar, tetapi kita juga kemudian menciptakan harapan yang lebih besar akan pernikahan yang mampu memenuhi tuntutan-tuntutan ini. Dua jiwa yang kosong tidak akan membuat pernikahan menjadi lengkap. Pernikahan tidak akan memperbaiki semua masalah dan kebutuhan yang kita miliki dan itu bukanlah harapan yang seharusnya kita miliki dari pernikahan.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ berbicara tentang kebaikan yang sempurna (iḥsān) dalam pernikahan, beliau tidak membatasinya hanya pada tindakan kebaikan tambahan terhadap pasangan. Iḥsān dalam pernikahan mencakup hal-hal seperti membangunkan pasangan kita untuk salat subuh atau untuk ibadah tambahan di malam hari (Qiyāmul-Lail), amar ma’ruf nahi munkar dan dengan lembut mendorong satu sama lain untuk menjadi Muslim yang lebih baik untuk memenuhi jiwa dan menjadi lebih lengkap. Ketika kebutuhan spiritual kita terpenuhi, kita menjadi lebih lengkap sebagai manusia dan mampu memberi kepada orang lain. Prinsip yang terkenal dalam Islam adalah ‘siapa yang tidak memiliki sesuatu, tidak akan dapat memberikan sesuatu’. Jika kita tidak memiliki kedamaian, kita tidak dapat memberikan kedamaian.
Terakhir, penting untuk memahami kebutuhan pasangan. Para ahli mengatakan bahwa dalam konteks kebutuhan emosional, kebutuhan terbesar suami adalah rasa hormat, sementara kebutuhan istri adalah cinta. Namun, konsep ini tidak hanya terbatas pada Islam. Kitab Efesus dalam Alkitab mengatakan, Setiap orang dari kamu harus mengasihi istrinya seperti dia mengasihi dirinya sendiri dan istri harus menghormati suaminya. Shaunti Feldhahn – seorang lulusan Harvard dan peneliti sosial mengatakan, kebutuhan tertinggi seorang pria adalah untuk merasa dihormati, sedangkan kebutuhan tertinggi seorang wanita adalah untuk merasa dicintai.
Pernyataan ini sama sekali tidak berarti bahwa istri tidak membutuhkan rasa hormat, karena Nabi Muhammad ﷺ dengan jelas mengatakan bahwa istri tidak boleh diremehkan dengan cara apa pun. Namun, poin yang ingin disampaikan adalah bahwa pria cenderung meremehkan jumlah cinta yang perlu mereka tunjukkan kepada istri mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Demikian pula, seorang pria juga membutuhkan cinta, tetapi kebutuhan terbesarnya adalah merasa dihormati dan dihargai. Jika kedua belah pihak gagal memenuhi kebutuhan ini, maka akan membuat mereka tidak lagi berusaha untuk melakukan iḥsān untuk satu sama lain dan pada akhirnya akan mengurangi rasa cinta dan rasa hormat di dalam pernikahan.
Semoga Allah mengizinkan kita untuk menjadi yang terbaik bagi pasangan kita, dengan memenuhi hak-hak dan kebutuhan mereka dan melindungi kita dari mengambil keuntungan dari satu sama lain. Semoga Allah memberkahi pernikahan kita dengan pengertian, kesabaran dan kasih sayang. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman