Bagian 28
HAK-HAK KELUARGA BESAR
‘Alī bin Abī Ṭālib meriwayatkan: Ketika kami keluar dari Mekah, putri Ḥamzah mengejar kami sambil menangis: “Wahai paman!”. ‘Alī mengangkatnya dan memegang tangannya. ‘Alī berkata kepada Fāṭimah: “Gendonglah anak perempuan pamanmu ini”. Fāṭimah lalu menggendongnya. Perawi kemudian meriwayatkan seluruh isi hadits tersebut. Ja’far berkata: “Dia adalah putri pamanku. Bibinya dari pihak ibu adalah istriku”. Nabi ﷺ memutuskan untuk memilih bibi dari pihak ibu, dan bersabda: “Bibi dari pihak ibu adalah layaknya seorang ibu”.
HAK-HAK DALAM ISLAM tidak hanya terbatas pada keluarga dekat, tetapi meluas hingga ke anggota keluarga besar. Dalam bab ini kita akan melihat hak-hak dan tanggung jawab terhadap keluarga besar.
Hadits yang menjadi awal pembahasan ini diriwayatkan oleh ‘Alī bin Abī Ṭālib h dan ini merupakan sebuah kisah yang indah sekaligus tragis: “Ketika kami keluar dari Mekah, anak perempuan Hamzah mengejar kami sambil menangis, ‘ Wahai paman!’ Aku mengangkatnya dan berkata kepada Fāṭimah, ‘Bawalah anak perempuan pamanmu ini’. Fāṭimah kemudian mengangkatnya. Ja’far -saudara laki-laki ‘Alī- kemudian berkata bahwa ia memiliki hak yang paling besar atas anak itu, dan bahwa ia harus mengasuhnya karena istri Ja’far adalah bibi dari pihak ibu anak itu. Maka Nabi Muhammad ﷺ memutuskan untuk memenangkan Ja’far karena pernyataannya, “Bibi dari pihak ibu adalah seperti ibu kandung”. (Abū Dāwūd).
Peristiwa ini terjadi setelah Ḥamzah mati syahid, putrinya yang masih kecil mengenali Ali, keponakan Ḥamzah, sebagai keluarga besarnya dan mendekatinya dalam kesedihan setelah kehilangan ayahnya. Fāṭimah, istri Ali, adalah cucu keponakan Ḥamzah. Mereka ingin mengambil hak asuh atas putri Ḥamzah. Zayd bin Ḥārithah telah dipasangkan dengan Ḥamzah sebagai saudara ketika hijrah, dan dengan hak tersebut ia juga ingin mengasuh anak perempuan Ḥamzah. Ja’far, saudara laki-laki Ali, menikah dengan Asmā’ binti ‘Umyas, bibi dari pihak ibu si anak perempuan. Mereka juga ingin menjadi orang yang merawat gadis itu. Namun, Nabi memutuskan untuk memilih Ja’far karena ia menikah dengan Asma binti ‘Umais, bibi dari pihak ibu.
Hadits ini mencakup konsep hak asuh anak yatim jika situasi seperti itu muncul, tetapi juga lebih dari itu dan mencakup status bibi dari pihak ibu. Nabi Muhammad ﷺ mengakui hubungan khusus antara bibi dari pihak ibu dan keponakan perempuannya, dan Imām Dzahabī juga mengomentari hal ini dengan mengatakan, “Bibi dari pihak ibu memiliki kedudukan yang sama dengan ibu dalam hal kebaikan, dalam hal menghormati dan dalam hal menjaga hubungan”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “Rasulullah ﷺ didatangi seseorang yang berkata, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, saya telah melakukan dosa besar. Apakah pengampunan mungkin bagi saya?’. Nabi berkata, “Apakah kamu ibumu masih hidup?” Dia menjawab, “Tidak”. Nabi ﷺ berkata, “Apakah kamu memiliki khālah (bibi dari pihak ibu)?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi ﷺ bersabda, “Kalau begitu, hendaklah kamu berbakti kepadanya.” (Ṣaḥīḥ Targhib). Hal ini berarti bahwa seorang laki-laki harus menunjukkan kebaikan kepada bibinya sebagaimana ia menunjukkan kebaikan kepada ibunya.
Aisyah i, istri Nabi ﷺ, mengeluh kepada Rasulullah ﷺ bahwa semua sahabatnya mendapatkan kunyah, sedangkan ia tidak mendapatkannya, sehingga Rasulullah ﷺ memberikannya kunyah Ummu ‘Abdullāh karena ia adalah bibi dari Abdullah bin Zubair -putra dari Asmā` binti Abī Bakar-. Aisyah mungkin tidak memiliki anak, tetapi ia seperti seorang ibu bagi Abdullah karena hubungannya dengan Abdullah melalui saudara perempuannya. Ibu dan bibi dari pihak ibu, dengan kata lain, hampir saling menggantikan.
Setelah bibi dari pihak ibu, paman dari pihak ayahlah yang dianggap penting karena ia seperti seorang ayah. Hal ini dapat kita lihat dalam dua hadits berikut ini tentang paman Nabi ﷺ, al-‘Abbās: Ketika al-‘Abbās masuk ke dalam sebuah ruangan, Nabi Muhammad ﷺ akan berdiri dan mencium keningnya dan mendudukkannya di sisi kanannya dan berkata, “Ini adalah paman dari pihak ayah, ini adalah paman saya.” al-‘Abbās kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak pantas untuk Anda katakan itu”. Nabi ﷺ menjawab, “Engkau adalah apa yang tersisa dari ayahku. Paman dari pihak ayah adalah seperti ayah”.
Abū Hurairah meriwayatkan: “Nabi ﷺ bersabda, ‘Al-‘Abbās adalah paman Rasulullah, dan sesungguhnya paman seorang laki-laki itu menyamai kedudukan ayahnya.” (HR. Tirmidzi). Maksudnya adalah sebagai pengganti ayah. Nabi Muhammad ﷺ juga terkadang disebut sebagai anak Abū Ṭālib karena Abū Ṭālib adalah pamannya.
Para ulama, terkait dengan topik ini, juga menyebutkan urutan bibi dan paman dalam hal status dan kedekatan dengan seseorang setelah orang tua mereka: bibi dari pihak ibu, paman dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah. Alasan mengapa bibi dari pihak ibu berada di urutan pertama adalah karena ibu lebih didahulukan dalam hal kasih sayang dan penghormatan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Ibumu, ibumu, ibumu, ayahmu.” (HR. (HR. Bukhari).
Keindahan di balik hadits ini adalah timbal balik yang tersembunyi yang dihasilkan dari sistem keluarga besar. Keluarga memiliki arti penting dalam Islam karena keluarga adalah tempat kita dapat meminta pertolongan pada saat kita membutuhkannya. Abū Ṭālib membutuhkan bantuan untuk merawat anak-anaknya karena mereka berada dalam situasi kemiskinan, sehingga ‘Alī diasuh oleh Nabi Muhammad ﷺ, sementara Ja’far diasuh oleh al-‘Abbās. Mereka memahami bahwa mereka harus menjaga dan membantu keluarga, karena mereka memiliki hubungan yang sangat dekat. Tujuannya bukan hanya untuk membantu dari segi finansial, tapi juga dari segi emosional. Jika bibi dari pihak ibu atau paman dari pihak ayah mengambil hak asuh anak, tanggung jawab mereka melampaui cakupan menafkahi secara finansial. Mereka pada akhirnya mengambil peran sebagai ibu atau ayah dan memberikan dukungan emosional, serta kasih sayang yang paling dekat dengan orang tua.
Di Palestina misalnya, merupakan hal yang umum bagi paman dari pihak ayah untuk menikahi janda dari saudara laki-lakinya setelah kematiannya yang mendadak, dan alasannya adalah untuk menjaga anak-anak. Islam tidak mewajibkan hal ini, tetapi contoh ini menunjukkan bahwa mereka memahami peran keluarga besar dan pada dasarnya itu adalah sistem pendukung. Kakek dan nenek, serta bibi, paman dan sepupu mengambil peran dan tanggung jawab sebagai orang tua ketika situasi membutuhkannya.
Lebih lanjut, dikatakan dalam Surah al-Baqarah [2] ayat 133: Atau adakah kamu menjadi saksi ketika maut menjemput Ya’qūb, di waktu ia berkata kepada anak-anaknya: “Apakah yang akan kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu yang juga Tuhan bapak-bapakmu, Ibrāhīm, Ismā’īl dan Isḥāq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dan kami adalah Muslim (tunduk) kepada-Nya’. Nabi Ya’qūb adalah anak dari Isḥāq, namun mereka menyebut pamannya, Ismā’īl, dan kakeknya, Ibrāhīm, sebagai ayahnya juga. Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan paman dan kakek dari pihak ayah telah dipahami jauh sebelum masa Nabi Muhammad ﷺ dan bahwa mereka selalu memegang peran penting dalam keluarga.
Ada juga banyak manfaat dari sistem keluarga besar, yang sekarang akan kita lihat:
1. Dalam hal pernikahan (perjodohan), bukan hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga. Kedua keluarga menggunakan sumber daya ekonomi, emosional dan sumber daya manusia mereka untuk membantu pasangan yang baru menikah jika diperlukan. Salah satu contohnya adalah bagaimana Nabi Muhammad ﷺ meredakan situasi ketika Fāṭimah dan ‘Alī bertengkar. Nabi Muhammad ﷺ pulang ke rumah dan melihat Fāṭimah ada di sana dan menangis, dan beliau bertanya di mana ‘Alī, yang dijawab oleh Fāṭimah bahwa mereka bertengkar dan dia pergi ke Masjid. Nabi Muhammad ﷺ kemudian pergi ke Masjid di mana beliau melihat ‘Alī sedang berbaring, beliau menghampirinya dan berkata, “Duduklah wahai Abu Turab (bapak debu).” (H.R. Bukhari). Beliau tidak menunjukkan kemarahan kepada ‘Alī karena telah membuat sedih putrinya, dan juga tidak menghakimi karena beliau tidak sepenuhnya mengetahui apa yang menjadi pokok pertengkaran itu. Beliau meringankan suasana hati Ali dengan membuat candaan dan memanggilnya bapak debu, dan pada dasarnya mengatakan kepada Ali bahwa ia seperti anaknya dan bahwa ia dan Fāṭimah harus menghentikan pertengkaran itu dan kembali ke rumah.
Sayangnya, dalam banyak kesempatan, kita jarang melihat anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah yang muncul di antara pasangan suami istri, tetapi malah memperburuk situasi dengan menjadi posesif terhadap putra atau putri mereka, yang mengakibatkan pasangan suami istri tersebut terjerumus lebih dalam ke dalam perselisihan. Keluarga harus mendukung mereka sebagai pasangan dan membantu mereka untuk tetap bersama dengan bahagia daripada membiarkan mereka menyelesaikannya sendiri atau menarik diri dengan putra atau putri mereka ketika masalah muncul. Bimbingan pertama, bahkan sebelum pernikahan berlangsung, datang dari walī dalam bentuk mencari kecocokan di antara kedua calon pasangan.
2. Para ulama telah menyebutkan bahwa sistem keluarga yang saling mendukung seperti itu akan menciptakan perasaan kebersamaan; setiap orang terlibat dan menaruh perhatian pada kepentingan satu sama lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang kita lihat saat ini – terutama di masyarakat barat – dalam hal individualisme dan setiap orang bertindak untuk kepentingan diri sendiri. Hanya ada sedikit kerja sama dan pengorbanan demi kepentingan orang-orang yang memiliki hubungan dekat. Membesarkan keluarga bersama, saling menasehati, menginvestasikan waktu, tenaga, dan bahkan uang dalam keluarga adalah seperti sebuah komunitas kecil (ummah) di dalam ummat Islam yang lebih luas. Dengan menciptakan rasa kebersamaan ini dari rumah, pada akhirnya memungkinkan kita untuk memahami dan memberi manfaat bagi komunitas Muslim dalam skala yang lebih besar.
3. Islam tidak menghalangi seorang wanita untuk bekerja atau berkarir; bahkan pada masa awal Islam, sudah dipahami bahwa penghasilannya adalah miliknya sendiri. Namun, dengan memiliki keluarga besar, seorang wanita memiliki akses yang lebih mudah untuk mendapatkan dukungan dan memungkinkannya untuk melakukan banyak tugas dalam satu waktu.
Dengan tidak adanya sistem struktural keluarga, banyak perempuan yang ingin atau perlu keluar rumah dan bekerja akhirnya harus mengorbankan anak-anak dan rumah mereka. Biasanya ini adalah pilihan antara tidak memiliki anak dengan sengaja untuk fokus pada karier, atau meninggalkan anak mereka dengan pengasuh bayi yang tidak memiliki hubungan keluarga, dan bahkan mungkin tidak memiliki pemahaman yang sama tentang cara mengasuh anak.
4. Konsep lansia yang tinggal sendiri, di panti jompo atau jauh dari keluarga adalah hal yang sangat asing dalam Islam. Saling menjaga satu sama lain akan melindungi orang tua dari kesepian dan mati sendirian. Orang-orang yang merawat dan membesarkan kita memiliki hak untuk dirawat ketika mereka mencapai usia lanjut. Namun, terkadang muncul situasi di mana anak-anak terdekat tidak memiliki kemampuan untuk merawat orang tua mereka, sehingga keluarga besar turun tangan untuk membantu memastikan bahwa tidak ada yang ditinggalkan sendirian di akhir hayat mereka.
Dalam Surat al-Nūr [24] ayat 61, Allah menyebutkan bahwa tidak salah atau tercela jika kita makan di rumah ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara laki-laki dari ayah, saudara perempuan dari ayah, saudara laki-laki dari ibu, dan saudara perempuan dari ibu. Ayat ini mengindikasikan bahwa orang akan sering bertemu dengan keluarga besar mereka, dan mereka akan selalu berada di sekitar mereka.
5. Sedekah adalah bagian penting dalam Islam, dan Allah menyebutkan bahwa umat Islam harus memberikan sedekah kepada kerabat mereka terlebih dahulu. Dalam hampir setiap buku tentang sedekah wajib (zakāh), para ulama telah menyebutkan bahwa mereka yang paling dekat dengan Anda (keluarga besar) memiliki hak terbesar atas sedekah tersebut, kita perlu melihat ke dalam keluarga kita untuk melihat apakah ada orang yang membutuhkan bantuan. Hadits yang saya sebutkan di awal bab ini adalah contoh yang bagus untuk hal ini karena hadis tersebut juga melibatkan anak yatim, dan Allah telah berfirman bahwa kita harus menjaga anak yatim dari keluarga dekat.
Hal ini juga menunjukkan pentingnya menjaga hubungan kekerabatan. Seringkali, kita memilih untuk mengabaikan keadaan keluarga besar karena kita mulai merasa bahwa membantu mereka akan mengurangi rezeki kita sementara tanggung jawab kita bertambah. Namun, Nabi Muhammad ﷺ mengatakan kepada kita bahwa hal yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu jika kita ingin rezeki kita bertambah, maka kita harus menjaga tali persaudaraan.
Jadi, meskipun sedekah juga meningkatkan rizq kita, begitu pula dengan menjaga silaturahmi. Perlu diketahui juga bahwa kata rahim dalam bahasa Arab, berasal dari kata Rahman. Allah berfirman bahwa Dia adalah Ar-Raḥmān, Yang Maha Pengasih dan jika seseorang memelihara hubungan kekerabatan, maka Allah akan memelihara hubungan dengan orang tersebut, dan Dia akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut jika orang tersebut memutuskan hubungan kekerabatannya. Kita harus berusaha sebaik mungkin untuk menjaga hubungan kita dan menolong mereka yang merupakan kerabat dekat kita, dan juga mereka yang datang setelahnya.
Contoh dari memperhatikan orang-orang yang bukan saudara kandung adalah Abdullah bin Umar ketika ia dalam perjalanan ke Makkah. Beliau mengendarai keledai dan bertemu dengan seorang pria Badui di tengah jalan. Abdullah bin Umar berkata kepada orang tersebut, “Bukankah kamu si Fulan?” Orang tersebut menjawab, “Ya.” Abdullah bin Umar kemudian memberikan keledainya kepada orang Badui tersebut, dan sorban dari kepalanya seraya berkata, “Naiklah ke atas keledai ini dan kenakanlah sorban ini di kepalamu. Sahabat Abdullah, Abdullah bin Dīnār, berkata kepadanya, “Semoga Allah mengampunimu, mereka hanyalah orang-orang Arab Badui. Mereka akan cukup senang dengan bantuan ala kadarnya”. Abdullah bin Umar berkata, “Ayah dari orang ini adalah sahabat yang disayangi oleh ayahku, Umar, dan aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, ”Diantara kebaikan yang paling utama adalah seseorang berbuat baik kepada orang-orang yang dicintai oleh ayahnya setelah ia meninggal dunia”. [Muslim]. Abdullah bin Umar adalah perawi hadits ini dan dia adalah contoh nyata dari hadits tersebut.
Contoh lainnya adalah teladan dari Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Lama setelah Khadījah meninggal dunia, Nabi Muhammad ﷺ akan membagi hadiah apa pun yang ia terima dan mengirimkannya kepada para sahabat dan keluarga Khadījah. Beliau juga akan memberikan hadiah kepada saudara perempuan Khadījah setiap kali beliau mendengar suaranya karena suaranya mirip dan mengingatkan beliau akan istri tercinta Khadījah. Kita harus mengambil pelajaran dari hal ini dan menerapkannya secara praktis dalam kehidupan kita setelah orang tua kita meninggal dunia dengan cara berhubungan kembali dengan teman-teman dan keluarga mereka untuk menunjukkan penghargaan kepada mereka, dan untuk menjaga hubungan dengan mereka. Kita sangat beruntung karena saat ini kita dapat mengirimkan hadiah dan kartu ucapan dengan sangat mudah kepada orang lain melalui pos, dan kita harus menggunakan hal ini untuk keuntungan kita.
Sebelum saya menyimpulkan bab ini, saya ingin menunjukkan mengapa kami tidak membahas mengenai mertua dan ipar secara mendalam. Alasan di balik ini adalah karena tidak ada hadits tentang mertua dan ipar; rasa hormat dan cinta yang kita tunjukkan kepada mereka adalah bentuk iḥsān di pihak kita. Tidak ada hak-hak khusus dari mertua dan ipar, tetapi dengan melihat contoh-contoh yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ (misalnya bagaimana beliau memperlakukan kerabat Khadījah bahkan setelah kematiannya), kita dapat mencoba dan melakukan yang terbaik untuk memperlakukan mereka dengan sangat baik dan menggunakannya sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kita benar-benar mencintai pasangan kita, kita akan mencintai orang-orang yang dicintai oleh pasangan kita.
Semoga Allah mengizinkan kita untuk memenuhi hak-hak kerabat kita dan orang-orang yang kita cintai, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang membawa kebahagiaan bagi masyarakat kita. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman