#40HKS Bagian 29 – Hak-hak Lansia dalam Masyarakat

#40HKS Bagian 29 – Hak-hak Lansia dalam Masyarakat

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 29

HAK-HAK LANSIA DALAM MASYARAKAT

 

Abū Mūsā al-Asy’arī meriwayatkan: Nabi ﷺ bersabda: “Termasuk bentuk pengagungan kepada Allah adalah dengan memuliakan seorang muslim yang sudah beruban, dan penghafal Al-Qur`ān yang tidak berlebihan juga tidak meremehkan, serta memuliakan penguasa yang adil.”

 

PADA BAB-BAB SEBELUMNYA kita telah menyinggung secara singkat tentang iḥsān dalam situasi dan hubungan tertentu, tetapi dalam bab ini fokusnya adalah menunjukkan kebaikan, kelembutan, dan kasih sayang yang lebih kepada kaum jompo -meskipun mereka tidak memiliki hubungan keluarga dengan kita. Ada banyak penekanan dalam Islam untuk menghormati para lansia di luar keluarga kita, dan bahkan di luar agama kita.

Saya ingin memulai dengan menyebutkan sebuah hadits yang sangat kuat yang diriwayatkan oleh Abū Mūsā al-Asy’arī: Nabi Muhammad ﷺ bersabda,

«إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ وَالْجَافِي عَنْهُ، وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ».

“Termasuk bentuk pengagungan kepada Allah adalah dengan memuliakan seorang muslim yang sudah beruban, dan penghafal Al-Qur`ān yang tidak berlebihan juga tidak meremehkan, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abū Dāwūd 4843).

Orang pertama yang harus dihormati dalam hal menghormati orang tua adalah orang yang telah beruban dalam Islam, yaitu mereka yang menghabiskan umurnya mempelajari dan menyebarkan ajaran Islam. Hal ini terkait dengan konsep yang diperkenalkan oleh Islam jika kita mencukupi kebutuhan orang lain, semata-mata karena Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhan kita. Para ulama juga memasukkan orang-orang yang tertindas dalam penafsiran mereka terhadap hadits ini dan mengatakan bahwa kita akan selalu dipelihara oleh Allah sebagaimana kita memelihara orang-orang yang tidak berdaya. Sesuai dengan topik lansia, ada banyak jenis kerentanan yang muncul seiring bertambahnya usia; baik itu pengaruhnya terhadap fisik maupun mental seseorang, seperti daya ingat dan kecepatannya, atau kemampuannya untuk mencari nafkah.

Ada sebuah hadits yang sangat terkenal yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr, di mana Nabi ﷺ bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan menunaikan hak para ulama”. (HR. Abū Dāwūd dan Tirmidzi).

Menghormati yang lebih tua tidak hanya terbatas pada gestur penghormatan secara simbolis, tetapi juga mencakup pengakuan hak-hak senioritasnya terhadap diri Anda dan memberikan mereka kedudukan yang layak dalam masyarakat. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ memahami kesenjangan antar generasi dan meneladankan nasihat untuk menghormati yang lebih tua disertai dengan menyayangi yang lebih muda. Terdapat hikmah dan nilai penting dari menghargai yang lebih tua dan membangun rasa hormat kepada mereka, sementara berurusan dengan kaum muda dengan rasa kasih sayang dan bimbingan yang lembut yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat secara keseluruhan. Ada keseimbangan yang baik yang perlu dijaga agar setiap anggota masyarakat merasa diterima dan dilibatkan untuk mengatasi kesenjangan generasi dan ini adalah sesuatu yang sangat dipahami oleh Rasulullah ﷺ.

Dalam mempelajari kehidupan Rasulullah ﷺ, kita menemukan bahwa sebagian besar Sahabatnya lebih muda dari beliau. Jarang sekali kita menemukan Sahabat Nabi ﷺ yang berusia lebih dari empat puluh tahun, banyak Sahabat beliau yang gugur dalam peperangan pada usia tiga puluhan atau lebih muda. Dengan mayoritas yang masih sangat muda, sangat mudah bagi mereka untuk melupakan para sahabat yang lebih tua dan mulai meremehkan mereka karena jumlah mereka yang sangat sedikit dan juga karena mereka tidak akan dapat mencapai banyak hal secara fisik seperti saat berperang atau saat membangun Masjid di Madinah misalnya.

Salah satu hadits menggambarkan situasi ini dengan sangat jelas bagi kita, dan diriwayatkan oleh salah satu Sahabat termuda – Anas: Seorang pria yang lebih tua datang untuk berbicara dengan Nabi ﷺ dan orang-orang ragu-ragu untuk memberikan tempat baginya. Nabi ﷺ kemudian berkata, “Bukan termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua”. (Musnad Ahmad). Hadits ini memberikan gambaran yang jelas bahwa Rasulullah ﷺ dikelilingi oleh orang-orang muda, dan beliau tidak setuju dengan orang-orang yang tidak memberikan penghormatan kepada orang tua. Meskipun ini adalah sesuatu yang dilakukan karena kelalaian atau karena kenyamanan dalam arti bahwa mereka selalu berusaha untuk belajar dari dan berbagi dengan Nabi ﷺ, namun sangat mengagumkan bahwa Anas, yang merupakan seorang pemuda, adalah perawi dari hadits semacam itu.

Sekarang kita akan melihat beberapa pelajaran khusus yang dapat kita pelajari dari hadits ini:

1. Bagaimana kita memperlakukan orang lain:

Allah berfirman, Adakah balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan yang serupa?

Sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar ungkapan bahwa kita akan diperlakukan oleh anak-anak kita sebagaimana kita memperlakukan orang tua kita. Nabi Muhammad ﷺ mengembangkan hal ini dan berkata, “Barangsiapa yang menghina atau tidak menghormati seseorang yang sudah lanjut usia, dia tidak akan mati sampai Allah mengutus seseorang kepadanya untuk menghinanya di masa tuanya”. (HR. Ibnu Abī Dunya).

Ada riwayat lemah tentang Abū Bakar h, bahwa ketika ia mencapai usia lanjut, para pemuda berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan kepadanya. Beliau ditanya mengapa demikian, dan beliau menceritakan bahwa ketika beliau masih muda, beliau juga bergegas melakukan hal yang sama kepada orang yang sudah tua.

Demikian pula, ada hadits lain dari Nabi ﷺ di mana beliau bersabda, Tidaklah seorang pemuda memperlakukan seorang lansia dengan penuh hormat kecuali Allah akan mengutus seseorang untuk memperlakukannya dengan penuh hormat di masa tuanya. Mungkin tidak selalu anak-anaknya lah yang menghormati mereka, tetapi Allah bisa saja mengirimkan orang lain dari keluarga besar mereka atau bahkan orang yang tidak memiliki hubungan darah yang menghormati mereka dengan rasa hormat dan cinta.

Penghormatan itu sendiri bersifat subyektif, dan memang demikian, karena Islam menekankan dan mengizinkan kita untuk bertindak sesuai dengan adat istiadat kita selama tidak bertentangan dengan syariat.

2. Membantu para lansia secara ekonomi:

Ibnu Qayyim menyebutkan dalam Aḥkām Ahl al-Dzimmah (Hukum-hukum tentang bagaimana memperlakukan minoritas non-Muslim yang dilindungi): Ketika Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, ia melihat seorang Yahudi tua yang sedang mengemis dan bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu berada dalam kondisi seperti yang kulihat ini?” Orang Yahudi tua itu menjawab, “Tuntutan pajak (jizyah), kebutuhan dan usia tua.” Umar menggandeng tangannya ke rumahnya dan kemudian memanggil penjaga baitul mal dan berkata, “Lihatlah penderitaannya, demi Allah, sungguh tidak adil jika kita mengeruk harta mereka di masa mudanya dan membiarkan mereka tak berdaya di masa tuanya! Saya ingin Anda menetapkan tunjangan untuk orang ini dan memastikan bahwa dia dirawat”.

Meskipun pajak atas non-Muslim yang dilindungi (jizyah) lebih kecil daripada sedekah wajib (zakāh) yang dibebankan kepada semua Muslim pada masa Umar, ia membebaskan orang tua itu dan orang-orang seperti dia dari pembayaran pajak dan memperkenalkan sejenis jaminan sosial dan tunjangan hari tua. Dia menjadi sangat marah dengan situasi dan fakta bahwa kita mengambil apa yang disumbangkan oleh orang-orang kepada masyarakat selama masa mudanya tanpa berpikir panjang, tetapi kita melupakan mereka ketika mereka mencapai usia tua; dari sudut pandang keadilan sosial, situasi ini tidak dapat diterima olehnya.

3. Membantu para lansia secara fisik:

Umar sering bersaing dengan Abū Bakr dalam hal kebaikan, tetapi Abū Bakr selalu mendahuluinya. Pada suatu kesempatan, ‘Umar menyedekahkan separuh hartanya dan ia mengira bahwa ia telah berbuat lebih banyak daripada Abū Bakar, tetapi Abū Bakar menyedekahkan seluruh hartanya. Pada kesempatan lain, selama masa pemerintahan Abū Bakr sebagai Khalifah, ‘Umar pergi ke pinggiran kota Madinah untuk melayani para wanita lanjut usia yang tinggal di sana dalam hal membersihkan rumah, membawakan makanan, atau apa pun yang mereka butuhkan. Ketika ia pergi ke sebuah rumah, wanita tua yang membukakan pintu mengatakan bahwa seseorang telah lebih dahulu datang. Ketika Umar bertanya siapa orang itu, wanita tua itu mengatakan bahwa orang itu tidak ingin ada yang tahu. Umar kemudian bersembunyi di belakang rumah wanita itu di waktu berikutnya dan melihat bahwa Abū Bakr, ketika menghadapi semua tanggung jawab sebagai Khalifah, masih menyempatkan diri untuk datang dan membantunya.

Ṭalḥah bin Abdullah berkata, “Umar (ketika menjabat sebagai Khalifah) keluar di tengah malam dan masuk ke rumah seseorang. Pada pagi harinya, aku mendatangi rumah tersebut, hanya untuk menemukan seorang wanita tua yang tidak bisa bergerak, aku berkata kepadanya, ‘Mengapa orang ini mendatangimu? Dia berkata, ‘Dia telah mengunjungi saya secara teratur selama ini. Dia membawakan apa yang saya butuhkan dan membuang sampah saya’. Aku berkata dalam hati, ‘Celakalah engkau wahai Ṭalḥah! Apakah engkau mencari-cari kekurangan Umar?’

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa tidak harus seorang kerabat yang kita bantu; semua lansia memiliki hak atas masyarakat secara kolektif. Para lansia tidak boleh berada dalam posisi yang tidak terhormat, dan menjadi kewajiban kita untuk memastikan bahwa kita mengunjungi dan memeriksa mereka.

4. Hak-hak emosional para lansia:

Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam sebuah hadits, “Orang yang lebih muda hendaknya memulai mengucapkan salam kepada orang yang lebih tua.” (HR. Bukhari).

Selama penaklukan Makkah, ayah dari Abū Bakr menerima Islam dan Abū Bakr membawa ayahnya kepada Nabi Muhammad ﷺ yang berkata, “Kalian seharusnya membiarkan orang tua itu di rumahnya. Aku yang akan datang kepadanya”. Nabi ﷺ tidak suka Abū Bakr membawa ayahnya yang sudah tua itu kepadanya karena hal itu akan menyulitkannya.

Dalam hadits lain, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Jibril memerintahkan aku untuk selalu mendahulukan orang yang lebih tua.”

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Aku bermimpi bahwa aku sedang membersihkan gigiku dengan tongkat gigi (siwak) dan dua orang mendatangiku. Salah satu dari mereka lebih tua dari yang lain dan aku memberikan siwak kepada yang lebih muda. Aku diberitahu bahwa aku harus memberikannya kepada yang lebih tua terlebih dahulu, maka aku pun melakukannya.” (HR. Bukhari). Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa mimpi Nabi ﷺ selalu merupakan bentuk wahyu dan karenanya merupakan sebuah instruksi.

Nabi ﷺ selalu memperhatikan hal-hal seperti itu dan ada penekanan untuk mendahulukan orang yang lebih tua, misalnya, jika ada dua orang yang sedang menunggu untuk melewati sebuah pintu, orang yang lebih tua harus didahulukan daripada orang yang di sebelah kanan. Nabi ﷺ juga menyebutkan bahwa orang yang paling tua di antara sekelompok orang hendaknya mengimami shalat.

Rāfi’ bin Khudaij dan Sahl bin Abī Ḥatmah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Sahl (seorang Sahabat Nabi ﷺ) ditemukan terbunuh di Khaibar, di antara pohon-pohon kurma di sana. Nabi Muhammad ﷺ mengumpulkan para Sahabat, ‘Abdur-Raḥman bin Sahl dan dua putra Mas’ud (Huwayyisah dan Muhayyisah) datang untuk berbicara kepada beliau tentang Abdullah yang terbunuh. ‘Abdur-Raḥmān adalah yang termuda di antara mereka dan mulai berbicara, tetapi Nabi Muhammad ﷺ berkata, “Biarkan yang tertua yang berbicara terlebih dahulu”. (HR. Bukhari).

Hadits ini bermaksud untuk menunjukkan bahwa ketika ada pertemuan, orang yang lebih tua harus diizinkan untuk berbicara terlebih dahulu untuk memberikan penghormatan kepada mereka, meskipun itu berarti duduk lebih lama di sana.

5. Bersikap lemah lembut dalam kewajiban agama:

Imām Syāfi’ī mengatakan bahwa tidak pernah ada orang tua yang meminta keringanan kepada Nabi Muhammad ﷺ kecuali beliau memberikannya. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad ﷺ juga akan membuat mereka merasa nyaman dengan keringanan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang yang sudah lanjut usia tidak mampu lagi berdiri untuk shalat, maka pahalanya akan tetap sama dengan orang yang berdiri, meskipun ia harus shalat sambil duduk. Demikian pula, jika seseorang merasa kesulitan untuk berpuasa dan mereka membayar fidyah, pahalanya akan sama dengan orang yang berpuasa.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Al-‘Abbas, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ, “Perintah haji telah tiba, sedangkan ayahku sudah tua dan tidak dapat duduk dengan kuat di atas pelana, jika aku mengikatnya di atas pelana, aku khawatir dia akan meninggal. Bolehkah saya menunaikan ibadah haji untuknya?” Nabi ﷺ bersabda, “Bukankah jika ayahmu berhutang dan engkau melunasinya, itu sama saja?” Orang itu menjawab, “Ya”. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Maka berhajilah untuk ayahmu”. (HR. Muslim).

Dari apa yang telah kita bahas sejauh ini dalam bab ini, kita dapat melihat bahwa ada banyak penekanan dalam tuntunan Nabi untuk merawat kaum lansia. Kita memiliki tanggung jawab sosial kolektif terhadap mereka; apakah itu terhadap situasi keuangan mereka, atau kesehatan fisik dan mental. Kita harus memberikan hak-hak mereka dan memberi mereka pengakuan yang layak mereka dapatkan baik di lingkungan publik maupun pribadi – ini juga termasuk memberi mereka prioritas kapan pun dan di mana pun. Para lansia juga tidak boleh dibebani dengan kesulitan yang tidak semestinya dalam agama, dan tidak boleh dibuat merasa bersalah karena tidak dapat melaksanakan kewajiban agama ketika mereka merasa kesulitan, karena syariat memberikan kelonggaran bagi para lansia.

Semoga Allah mengizinkan kita untuk menghormati, menghargai dan mencintai para lansia di rumah dan komunitas kita dengan sebaik-baiknya. Dan semoga Allah mengizinkan kita untuk diperlakukan dengan hormat dan dihormati ketika kita mencapai usia tua. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Copyright © 2025 Abu Azzam Al-Banjary