#40HKS Bagian 25 – Keadilan Antara Orang Tua dan Anak

#40HKS Bagian 25 – Keadilan Antara Orang Tua dan Anak

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 25

KEADILAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

 

Dari Abū Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang anak tidak dapat membayar hutang kepada ayahnya kecuali jika ayahnya adalah seorang budak, kemudian ia membelinya lalu membebaskannya”.

 

DALAM BAB INI kita akan beralih untuk membahas keadilan sosial dalam lingkup keluarga. Sebagai aturan umum, Allah dan Nabi Muhammad ﷺ telah menetapkan kewenangan yang jelas mengenai hak-hak dan tanggung jawab dalam nash-nash Islam, tanpa memberikan ruang untuk ambiguitas dalam hal-hal pokok. Khususnya dalam lingkup keluarga, keseimbangan tanggung jawab yang tepatlah yang perlu diperhatikan untuk memastikan keadilan. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk memastikan adanya keseimbangan tanggung jawab yang tepat. Yang paling umum, misalnya, ketika seseorang menikah, bagaimana Anda menyeimbangkan tanggung jawab Anda sebagai anak yang baik dengan tanggung jawab Anda sebagai pasangan yang baik dengan tanggung jawab Anda sebagai orang tua yang baik. Meskipun seseorang harus selalu berusaha untuk memenuhi hubungan-hubungan ini dengan sangat baik (iḥsān), terkadang situasinya menjadi sedemikian rupa sehingga menjadi sulit untuk mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut.

Ketika seseorang menunjukkan iḥsān, biasanya orang lain akan menyalahgunakan iḥsān tersebut dengan mengambil keuntungan darinya atau bahkan cenderung mengekangnya. Namun, kebaikan bisa saja dimanfaatkan secara tidak sengaja, karena orang tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan, sehingga lebih mudah untuk menyalahgunakan kebaikannya.

Hubungan antara orang tua dan anak merupakan medan yang rumit, terutama ketika melihatnya dalam konteks keadilan. Kita akan melihat tanggung jawab dan hak-hak orang tua dan anak (termasuk anak yang sudah dewasa). Sebagai permulaan, saya ingin menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah, semoga Allah meridhainya: Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang anak dapat membalas kebaikan yang dilakukan oleh ayahnya, kecuali ia menemukannya sebagai budak, lalu membelinya dan memerdekakannya”. (HR. Muslim).

Banyak ulama mengatakan bahwa hal ini merujuk pada hubungan orang tua dan anak dan tidak terbatas pada hubungan ayah dan anak. Nabi Muhammad ﷺ menggunakan ungkapan ini untuk menyampaikan pesan bahwa tidak seorang pun dari kita yang dapat membalas budi kepada orang tua kita, meskipun pada masa itu sangat mungkin bagi seseorang untuk sampai pada situasi seperti itu, namun hal itu sangat kecil kemungkinannya. Lebih jauh lagi, ketika Allah berbicara tentang perlakuan terhadap orang tua di dalam Al Qur’an, Dia mengatakan bahwa kita harus menunjukkan keunggulan dan akhlak yang baik kepada orang tua kita. Allah juga menggunakan kata ‘ditetapkan’, yang mengandung arti kepercayaan. Allah telah mempercayakan kepada kita untuk memperlakukan orang tua kita dengan baik. Kenyataan bahwa Allah menyebutkan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua setelah kewajiban untuk men-tauhidkan-Nya, menunjukkan betapa seriusnya akibat jika kita tidak berbakti kepada kedua orang tua. Sebagaimana hak Allah yang begitu besar sehingga tak seorang pun dari kita yang mampu menunaikannya, maka satu-satunya hak lain dalam hubungan antar manusia yang begitu besar sehingga kita tidak akan pernah bisa menunaikannya adalah hak orang tua terhadap anak.

Sebuah kejadian yang sangat menyentuh dan kuat adalah ketika Umar bin al-Khaṭṭāb h bertemu dengan seorang laki-laki yang merawat ibunya yang telah mencapai titik di mana ia seperti bayi. Ia harus menggendongnya, membersihkannya, dan memberinya makan sebagaimana layaknya seorang anak kecil, dan ia mengklaim bahwa ia telah menunaikan kewajibannya, ia telah melakukan apa yang telah dilakukan ibunya ketika ia masih kecil. Umar kemudian berkata kepada orang tersebut, “Kamu melakukan semua ini sambil berharap agar ibumu segera meninggal, sementara ibumu dulu melakukannya sambil berharap agar kamu diberi umur panjang”. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun dari luar terlihat bahwa Anda membalas jasa orang tua Anda atas apa yang telah mereka lakukan untuk Anda, pada kenyataannya tidak demikian. Ada kasih sayang khusus yang Allah letakkan dalam hati orang tua terhadap anaknya.

Inilah sebabnya mengapa ketika Ibnu Umar melihat seorang laki-laki menggendong ibunya untuk menunaikan ibadah haji, ia bertanya kepada Ibnu Umar, “Apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Ibnu Umar menjawab “belum, bahkan meskipun untuk satu tangisannya saat melahirkan”. Sudah menjadi hal yang biasa melihat seseorang menggendong salah satu orang tuanya di punggungnya ketika menunaikan ibadah haji atau umrah, dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah tugas yang berat. Namun, kita tidak bisa membalas jasa mereka, dan inilah mengapa Allah dan Rasul-Nya ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa ini bukan masalah kita mengklaim bahwa kita telah membalas jasa orang tua kita dengan jumlah yang sama dengan apa yang mereka berikan kepada kita, baik dalam hal keuangan atau melalui layanan, tetapi hubungan ini berbeda dari hubungan lainnya dan kita tidak pernah bisa mengklaim bahwa kita telah melakukan untuk mereka seperti apa yang mereka lakukan untuk kita. Jadi, kita harus melakukan lebih dari itu untuk orang tua kita dalam hal penghormatan dan perlakuan yang baik terhadap mereka. Hal ini terwujud dengan menunjukkan kepada mereka cinta dan rasa hormat yang tidak berkurang seiring berjalannya waktu, bahkan kita seharusnya semakin menghormati mereka.

Zainal ‘Ābidīn, cicit Nabi Muhammad memberikan contoh yang sangat baik dalam hal kebaikan (iḥsān) terhadap orang tua. Setiap kali ia makan bersama ibunya, ia tidak akan makan sebelum ibunya makan terlebih dahulu, karena ia tidak ingin menyentuh makanan yang mungkin ingin dimakan oleh ibunya. Sebagai anak-anak, kita makan apa yang kita inginkan dan ibu kita memberikan apa yang kita sukai, sementara dia sendiri akan makan dari apa yang tersisa. Islam tidak mengatur bahwa kita harus menunggu sampai orang tua kita makan sebelum kita makan, namun Zainal Abidin mengungkapkan rasa cintanya dan menunjukkan iḥsān kepada ibunya sebagai cara untuk menyenangkan hati ibunya dan Allah.

Contoh lainnya adalah Imām Aḥmad yang tidak menikah hingga ibunya meninggal dunia, ketika ia berusia 40 tahun. Ini tidak berarti bahwa kita semua harus menunggu sampai orang tua kita meninggal dunia untuk menikah, tetapi kondisi Imām Aḥmad sangat istimewa dan unik. Ibunya adalah single parent yang berjuang tanpa henti untuk merawatnya, dan Imām Aḥmad ingin melakukan apa saja yang ia bisa untuk ibunya. Beliau tidak dapat menyeimbangkan atau menyamai apa yang telah dilakukan oleh ibunya untuknya, tetapi keputusannya untuk menunda pernikahan adalah sarana untuk menyampaikan rasa cinta dan hormatnya kepada ibunya.

Para ulama mengatakan bahwa jika orang tua kita mencapai usia lanjut dalam hidup kita, kita harus melihatnya sebagai berkah dan bukan sebagai beban. Mereka memberikan kesempatan bagi kita untuk mendapatkan Surga (Jannah), dan kita harus memanfaatkan kesempatan tersebut dengan merawat mereka dan memenuhi kebutuhan mereka. Kita tidak boleh mengabaikan orang tua kita di masa tua mereka, dan kita juga tidak boleh membiarkan diri kita jatuh ke dalam kesombongan dan egoisme – kita tidak boleh menjadi bagian dari orang-orang yang membiarkan orang tua kita menderita dan mati sendirian.

Allah telah berfirman dalam Al Qur’an agar kita tidak menunjukkan rasa tidak senang kepada orang tua kita, terutama ketika mereka sudah tua. Pada masa usia lanjut, mereka akan membutuhkan lebih banyak waktu dari kita, karena kelemahan dan kerentanan mereka. Islam mengakui hak-hak emosional dan kita tidak boleh membuat orang tua kita merasa tidak diinginkan atau tidak dihargai. Meskipun kadang-kadang mungkin terasa memberatkan atau sulit ketika melayani mereka, kita tidak boleh berkata kasar, atau menunjukkan ketidaksenangan terhadap mereka, sebaliknya kita harus berbicara kepada mereka dengan kata-kata yang sopan dan penuh hormat. Meninggikan suara saat berbicara kepada mereka dapat membuat orang tua kita merasa lemah, diremehkan, dan diabaikan, itulah sebabnya Allah berfirman, “Dan bersikap lemah lembutlah kamu terhadap mereka”.

Kita harus merendahkan diri secara tawadhu’ di hadapan orang tua kita, sebagai bentuk kasih sayang dan rasa hormat. Mereka mungkin saja keliru, namun menahan diri untuk tidak meninggikan suara atau marah adalah lebih baik di sisi Allah. Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan kerendahan hati dan belas kasihan kepada para wanita yang menyusui beliau; beliau merendahkan diri seperti anak kecil bahkan ketika beliau sudah berusia paruh baya.

Perilaku yang memuliakan dan menghormati orang tua – terutama ibu – ini benar-benar baru dalam budaya Arab. Budaya jahiliyah bangsa Arab sebelum Islam selalu meremehkan ibu, dan jika seorang ibu melahirkan anak perempuan, hal itu akan memperburuk keadaan ibu tersebut. Islam mengubah semua ini dengan memuliakan ibu lebih dari ayah, karena ibu yang telah mengandung anak di dalam dirinya selama berbulan-bulan, diikuti dengan rasa sakit saat melahirkan dan pemulihan, serta malam-malam tanpa tidur. Allah dan Rasul-Nya ﷺ sepenuhnya mengakui dan menghargai kesulitan yang dialami seorang ibu.

Ibnu ‘Abbās didatangi oleh seorang pria yang mengakui pembunuhan ilegal yang telah ia lakukan; ia menyukai seorang wanita tetapi wanita itu menikah dengan orang lain sehingga ia membunuhnya karena cemburu. Ia tahu bahwa ia akan diadili dan dihukum, tetapi ia ingin tahu apakah ia memiliki peluang untuk diampuni oleh Allah dan masuk surga. Ibnu ‘Abbās bertanya kepada pria itu apakah ibunya masih hidup, yang dijawab tidak, dan setelah itu ia diperintahkan untuk bertaubat kepada Allah semampunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang-orang bertanya kepada Ibnu ‘Abbās mengapa ia bertanya kepada orang itu apakah ibunya masih hidup, dan ia menjawab, “Aku tidak tahu ada perbuatan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah daripada berbakti kepada ibu”.

Meskipun ada banyak penekanan tentang pentingnya berhubungan dengan orang tua secara baik (iḥsān), hal ini sama sekali tidak memberikan hak kepada orang tua untuk mengeksploitasi atau menyakiti anak-anak mereka. Namun sangat disayangkan bahwa hal ini terjadi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan tidak pernah berbuat sewenang-wenang terhadap ciptaan-Nya, dan Nabi Muhammad ﷺ juga tidak sewenang-wenang dalam hal apa pun karena beliau memahami kerumitan hubungan orang tua dan anak.

Lebih jauh lagi, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa kita tidak boleh menaati makhluk ciptaan Allah ketika mereka menyuruh kita untuk mendurhakai Sang Pencipta. Ya, kita harus menaati orang tua kita semampu kita, tetapi ketaatan itu terbatas sifatnya – kita tidak bisa melampaui batas dengan melawan Allah dan hukum-hukum-Nya. Ketaatan selalu bergantung pada alasan yang masuk akal. Kita tidak boleh membebani seseorang dengan beban yang tidak wajar dan kemudian menyakiti mereka secara mental karena mereka tidak memenuhi harapan yang tidak realistis yang kita berikan kepada mereka.

Memaksa seorang anak untuk makan sesuatu yang menjijikkan atau menikahi seseorang yang tidak ingin ia nikahi atas dasar rasa bersalah sangat dilarang dalam Islam. Seorang wanita muda datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan mengeluh bahwa ayahnya telah memaksanya untuk menikah dengan seseorang tanpa persetujuannya, dan Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa dia terbebas dari paksaan tersebut. Beliau tidak bertanya mengapa ia menentang pernikahan tersebut atau rincian lainnya karena keadilan harus ditegakkan dengan memastikan bahwa wanita muda itu tidak dipaksa oleh ayahnya. Kontrak pernikahan seperti itu tidak sah dalam Islam, karena tidak ada paksaan dalam agama. Orang tua tidak memiliki hak untuk memaksakan sesuatu yang tidak masuk akal kepada anak-anak mereka, namun, bahkan jika orang tua bersikap sewenang-wenang, hal itu tidak membenarkan anak untuk bersikap tidak sopan kepada orang tua.

Nabi Ibrāhīm n diperintahkan oleh ayahnya untuk menyembah selain Allah – permintaan yang paling buruk yang dapat dilakukan oleh orang tua. Namun, Nabi Ibrāhīm berbicara kepada ayahnya dengan penuh kehormatan dan kemuliaan. Beliau tidak menunjukkan sikap tidak hormat kepada ayahnya, meskipun ayahnya berusaha membunuhnya.

Dan sekali lagi, pada masa Nabi Muhammad ﷺ, Sa’ad bin Abī Waqāṣ h pernah mengalami tekanan secara emosional dari ibunya. Sa’ad telah menerima Islam, tetapi ibunya ingin dia meninggalkan agamanya dan melakukan mogok makan sampai-sampai keluarganya harus membuka paksa mulutnya untuk memberinya makan, agar dia tidak mati. Itu adalah situasi yang sangat sulit bagi Sa’ad, yang dikenal sebagai orang yang kuat, tetapi dia hanya bisa menangis. Dia tetap bersama ibunya dan memohon kepadanya untuk makan, sambil dengan penuh hormat mengatakan kepadanya bahwa dia tidak bisa dan tidak akan meninggalkan Islam karena apapun. Allah memberi tahu kita bahwa bahkan ketika orang tua kita bersikeras agar kita meninggalkan agama kita, kita tidak boleh menaati mereka, tetapi kita harus terus menunjukkan kepada mereka kebaikan dan rasa hormat. Hal yang sama juga berlaku ketika mereka memaksakan hal-hal yang tidak wajar kepada kita, misalnya merendahkan atau merampas hak-hak pasangan atau anak-anak kita.

Ada situasi yang tidak menguntungkan di mana anak-anak harus mencari perlindungan dari orang tua mereka; tidak ada anak yang harus mentolerir penganiayaan dari orang tua mereka, baik secara fisik maupun mental. Anak tersebut tidak disalahkan jika meninggalkan orang tua mereka, tetapi mereka tidak berhak untuk bersikap tidak hormat kepada orang tua mereka bahkan dalam situasi seperti itu.

Ada sebuah peristiwa terkenal yang telah saya sebutkan sebelumnya dalam buku ini, di mana Umar bin Khaththab didatangi oleh seorang pria yang mengeluh tentang putranya, dan putranya bertanya kepada Umar apakah anak memiliki hak atas orang tuanya, yang jawabannya adalah ya. Orang tersebut tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah terhadap anaknya, sehingga menghilangkan haknya untuk mengadukan anaknya. Merampas hak-hak anak merupakan kegagalan orang tua, dan tidak ada yang bisa disalahkan selain diri mereka sendiri jika anak-anak mereka tidak menunjukkan karakter terbaik. Mengabaikan anak dengan tidak memberi mereka waktu, cinta, pendidikan atau penghargaan adalah kesalahan orang tua.

Saya ingin mengakhiri bab ini dengan membagikan sebuah kisah yang luar biasa tentang seorang saudari yang menerima Islam di Louisiana (AS), namun sayangnya orang tuanya mengusirnya dari rumah karena hal ini. Dia selalu membuatkan orangtuanya sarapan di pagi hari, dan meskipun mereka bersikap kasar terhadapnya dan menyuruhnya pergi dari rumah, dia akan kembali pada dini hari setiap pagi sebelum mereka bangun untuk menyiapkan sarapan dan kemudian pergi. Orangtuanya akhirnya menerima Islam karena mereka melihat rasa hormat dan cinta yang terus ia tunjukkan kepada mereka. Dia menunjukkan keunggulan dalam karakter dan perilakunya terhadap orangtuanya, yang membuat mereka menerima Islam juga.

Hubungan antara orang tua dan anak diatur dan ditinggikan dengan kebaikan yang sempurna (iḥsān). Kedua belah pihak memiliki hak satu sama lain, dan bagi orang tua, tidak ada investasi yang lebih besar di dunia ini selain anak-anak yang saleh. Dengan menginvestasikan waktu dan upaya pada anak-anak kita, kita berinvestasi di akhirat kita. Anak-anak yang saleh akan memahami pentingnya menghormati orang tua mereka dan akan menggunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan ridha Allah melalui perlakuan mereka terhadap orang tua mereka.

Semoga Allah mengizinkan kita untuk mengenali berkah orang tua kita. Semoga Allah mengizinkan kita untuk melayani orang tua kita selama mereka masih hidup, dan jika mereka telah meninggal dunia, semoga Allah mengampuni mereka. Semoga Allah mengizinkan kita menjadi orang tua yang saleh bagi anak-anak kita, dan mengizinkan kita untuk memenuhi hak-hak mereka dengan baik, dan menjauhkan kita dari perbuatan menzalimi anak-anak. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Copyright © 2025 Abu Azzam Al-Banjary