#40HKS Bagian 22 – Keserakahan adalah Sumber Kezaliman

#40HKS Bagian 22 – Keserakahan adalah Sumber Kezaliman

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 22

KESERAKAHAN – AKAR DARI SEMUA KETIDAKADILAN SOSIAL

 

Dari Jabir bin Abdullah h, Rasulullah ﷺ bersabda: “Waspadalah terhadap perbuatan zalim, karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat, dan waspadalah terhadap sifat kikir, karena sifat kikir telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, karena sifat itu mendorong mereka untuk menumpahkan darah dan menghalalkan yang haram”.

 

DALAM BAB INI kita akan beralih ke dimensi yang lebih spiritual tentang keadilan dan ketidakadilan. Hadits yang akan kita bahas berbicara tentang dasar keadilan dan bagaimana keserakahan menyebabkan kekosongan yang dalam di dada kita.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Jabir: “Nabi Muhammad ﷺ bersabda, ‘Waspadalah terhadap perbuatan zalim karena ia akan menjadi kegelapan di atas kegelapan di atas kegelapan pada Hari Kiamat. Dan berhati-hatilah terhadap keserakahan (syuḥḥ) karena keserakahanlah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Ketamakan itu mendorong mereka untuk menumpahkan darah satu sama lain.” (HR. Bukhari). Keserakahan adalah penyebab hancurnya berbagai bangsa, dan keserakahanlah yang membuat mereka saling membunuh dan melanggar kesucian satu sama lain.

Hadits lain dari Nabi ﷺ dikatakan dalam salah satu khotbahnya: “Waspadalah terhadap keserakahan. Ia telah membinasakan orang-orang yang datang sebelum kalian. Pertama, ia menyebabkan mereka menumpahkan darah satu sama lain, dan kemudian menyebabkan mereka memutuskan hubungan keluarga. Dan penindasan adalah kegelapan di atas kegelapan pada Hari Kiamat”.

Terakhir, ada sebuah hadits yang menghubungkan kedua hadits di atas dan diriwayatkan dalam banyak kitab: “Seandainya anak Adam diberi lembah emas, maka ia akan berusaha menggunakan lembah emas tersebut untuk mendapatkan lembah emas lainnya. Dan jika ia diberi lembah emas kedua, maka ia akan menggunakan kedua lembah tersebut untuk mendapatkan lembah emas ketiga. Tidak ada yang memenuhi mulut anak-anak Adam kecuali tanah”. (HR. Bukhari). Maksudnya di sini adalah bahwa tidak ada yang akan menghentikan seseorang untuk mengejar lebih banyak lagi kecuali kematian (mulutnya dipenuhi dengan tanah).

Ketika melihat keserakahan dari sudut pandang ketidakadilan sosial, Nabi ﷺ memberi tahu kita bahwa keserakahan adalah titik awal dan itu memanifestasikan dirinya dalam setiap aspek kehidupan kita. Keserakahan menyebabkan kita menzalimi orang-orang yang paling berharga bagi kita; keserakahan menyebabkan kita mengabaikan orang lain sampai-sampai kita bahkan mengambil nyawa orang tersebut. Keserakahan, jika dibiarkan, akan menghancurkan hubungan kita, komunitas kita, dan mengarah pada pembunuhan orang lain secara batil dan menghancurkan kita secara spiritual.

Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda mengenai sifat yang dibenci ini, “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tetapi aku khawatir kekayaan dunia akan dibentangkan untuk kalian sebagaimana dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba untuk memperebutkannya sebagaimana yang terjadi pada mereka, sehingga pada akhirnya kekayaan tersebut akan membinasakan kalian sebagaimana membinasakan mereka.” (HR. Bukhari). Keserakahan menempatkan kita pada situasi di mana kita mencoba untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan sebanyak mungkin, yang kemudian membuat kita melihat semua orang dan segala sesuatu sebagai sarana untuk mendapatkan kekayaan tersebut, atau sebagai penghalang untuk mendapatkannya. Keserakahan membuat kita tidak lagi melihat orang lain sebagai manusia; kita kehilangan empati dan kesadaran dalam nafsu akan kekayaan, yang mana Allah telah berfirman, “Kamu telah dibinasakan karena banyaknya harta”. (QS. 102 : 1). Kehancuran tidak hanya terbatas pada diri kita sendiri, tetapi juga meluas ke keluarga dan masyarakat kita; keserakahan adalah musuh terbesar keadilan sosial.

Nabi Adam n menginginkan satu pohon lagi, meskipun ia memiliki akses ke setiap pohon lainnya, dan itulah yang menyebabkannya tergelincir di surga. Putra Adam menginginkan satu hal lagi yang dimiliki saudaranya, sedangkan ia tidak memilikinya. Iblis menginginkan satu tingkat di atas manusia. Ketika kita melihat pihak-pihak pertama dalam kisah penciptaan manusia, kita melihat bahwa keserakahanlah yang memanifestasikan dirinya dalam beberapa bentuk; keserakahan yang mengarah pada iri hati, kebencian, persaingan dan kesombongan. Satu hal yang harus diklarifikasi di sini adalah bahwa meskipun keinginanlah yang menyebabkan Nabi Adam dan putranya jatuh ke dalam dosa, dalam kasus Iblis, kesombongannya lah yang menyebabkan kehancurannya yang berkelanjutan.

Ketika Nabi Muhammad ﷺ berbicara tentang keserakahan (syuḥḥ), beliau bersabda: “Debu di jalan Allah (peperangan) tidak akan bercampur dengan api neraka. Iman dan keserakahan tidak akan pernah bisa digabungkan dalam diri manusia”. (HR. al-Nasā’ī).

Bagian kedua dari hadits ini pada dasarnya mengatakan bahwa keserakahan akan mengeluarkan īmān dari dalam hati. Sementara keserakahan membuat seseorang menganggap orang lain bisa disingkirkan demi mendapatkan sesuatu yang lebih, sedangkan keimanan melibatkan pembaharuan yang konstan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Īmān beresiko berkurang tanpa pembaharuan ini dan keserakahan akan menguasai hati, yang mengakibatkan hilangnya kecintaan dan pencarian menuju Allah. Kita tidak boleh membiarkan keserakahan mengalahkan iman, tetapi sebaliknya iman harus mengalahkan keserakahan. Kita harus menyadari bahwa kita tidak boleh terikat pada kehidupan duniawi; pengejaran terhadap dunia yang mengorbankan hubungan kita dengan Allah dapat diredam melalui īmān.

Sumber daya dunia ini terbatas, pasti ada habisnya dan kita tidak bisa memiliki semuanya, hal ini sering kali mengakibatkan orang mengambil sesuatu dari orang lain. Mereka yang telah memiliki kekayaan cenderung menjadi serakah, mereka menjadi terjangkiti penyakit tamak (syuḥḥ) dan menginginkan lebih banyak lagi. Sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang paling kaya, ‘Abdur-Raḥmān bin ‘Auf, memiliki begitu banyak harta sehingga ketika ia akan memasuki kota Madinah, ada begitu banyak unta yang ikut bersamanya sehingga orang-orang mengira bahwa itu adalah pasukan lawan. Namun, diketahui bahwa ia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah sambil berdoa kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, lindungilah aku dari keserakahan dalam diriku”. Dia tahu bahaya keserakahan; dia tahu bahwa kekayaannya dapat menipunya untuk mengejar lebih banyak lagi dan pada gilirannya menjauhkannya dari Allah.

Mereka yang korup dan karena korupsinya menjadi kaya raya, akan menggunakan segala cara untuk menambah kekayaannya. Bahkan ketika memiliki uang sepuluh milyar, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan uang tersebut, mereka akan rela membunuh orang untuk mendapatkan sepuluh milyar lagi. Negara-negara – apalagi individu-individu – tenggelam dalam hutang, berbagai krisis tercipta secara global, semua itu demi memperoleh lebih banyak lagi. Keserakahan menyebabkan kehancuran dan mempengaruhi begitu banyak orang yang tidak bersalah.

Nabi ﷺ mengatakan bahwa keserakahan menimpa mereka yang memiliki lebih banyak daripada mereka yang tidak memiliki, dan pada dasarnya, adalah rahmat Allah bahwa Dia tidak mengizinkan sebagian dari kita menjadi kaya. Dia melindungi kita dari diri kita sendiri karena Dia mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri. Dia tahu bahwa kita bisa jatuh ke dalam perangkap keserakahan jika kita diberi kekayaan. Rasulullah ﷺ juga mengatakan bahwa cobaan atau fitnah terbesar umat ini adalah harta, dan ketika kita melihat kejahatan korporasi, kita menemukan bahwa mereka didorong oleh keserakahan dan keinginan untuk mendapatkan lebih banyak uang.

Bergeser sedikit, sekarang kita akan melihat perbedaan antara sifat kikir (bukhl) dan tamak (syuḥḥ). Dalam banyak kesempatan ketika membaca terjemahan teks-teks Arab, kita dapat melihat syuḥḥ diterjemahkan sebagai kekikiran karena kedua kata tersebut dapat digunakan secara bergantian. Namun, banyak ulama yang mengatakan bahwa jika kita melihat lebih dekat pada bahasa Arab, ada perbedaan antara kedua kata tersebut. Ibnu Qayyim mengatakan mengenai hal ini bahwa syuḥḥ adalah keinginan yang sangat besar terhadap sesuatu dan tidak sabar untuk mendapatkannya. Bukhl, atau sifat kikir di sisi lain adalah sikap melindungi sesuatu setelah mendapatkannya. Beliau juga mengatakan bahwa keserakahan mendahului kekikiran, tetapi jika kita memiliki banyak dan kita merasa mudah untuk melepaskannya atau berpisah dengannya, maka hal itu menunjukkan bahwa kita telah menaklukkan keserakahan. Dengan mengatasi kekikiran kita, kita telah menentang keserakahan kita dan tidak dimabukkan oleh kekuasaan atau kekayaan. Nabi Muhammad ﷺ menggambarkan orang yang selau bersedekah sebagai orang yang memberi dengan tangan kanannya sedemikian rupa sehingga tangan kirinya tidak tahu, hal ini menunjukkan kualitas orang yang telah mengalahkan keserakahannya sehingga tidak kikir dalam menggunakan hartanya.

Sebuah kejadian yang terkenal selama kehidupan Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan kepada kita aspek bersedekah ini. Diriwayatkan oleh Abū Hurairah h ia berkata: “Seorang pria datang kepada Nabi ﷺ dan jelas-jelas membutuhkan. Nabi ﷺ mengirim pesan ke rumah istri-istrinya dan mereka mengatakan bahwa mereka tidak memiliki apa pun untuk memberi makan pria itu kecuali air. Rasulullah ﷺ kemudian bertanya kepada orang-orang, “Siapa yang akan membawa orang ini dan menjamunya sebagai tamu? Salah seorang penduduk Madinah berkata bahwa ia akan membawanya, lalu ia pulang dan menyuruh istrinya untuk menjamu tamu Rasulullah ﷺ. Istrinya berkata bahwa mereka tidak memiliki apa-apa untuk dimakan kecuali beberapa makanan untuk anak-anak. Orang itu berkata, ‘Siapkan makanan, nyalakan pelita dan teruslah mengaduk-aduk periuk sampai anak-anak tertidur. Ketika pria itu duduk, matikan lampu dan letakkan makanan di depannya. Letakkan piring di depan kami bertiga, tapi hanya taruh makanan di piringnya sehingga dia akan berpikir bahwa kami juga makan. Setelah salat Subuh di pagi hari, Nabi Muhammad ﷺ berkata kepada orang Anshar itu, ‘Allah tertawa terhadap salah satu tindakanmu dan menurunkan ayat dalam surah al-Ḥasyr [59] ayat 9: “Mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun hal itu merugikan mereka sendiri. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ayat ini turun sehubungan dengan kejadian ini dan menjelaskan bahwa kekikiran adalah buah dari keserakahan, sementara kedermawanan adalah buah dari ketulusan hati. Orang yang lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri, meskipun itu berarti berkurangnya hak bagi dirinya, adalah orang yang benar-benar sukses di dunia dan akhirat.

Lebih lanjut, Allah berfirman dalam surah al-‘Ādiyāt [100] ayat 6: “Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” Dia mengatakan bahwa Dia adalah saksi atas kurangnya rasa syukur ini ketika pengejaran kita terhadap dunia, atau kekayaan menjadi semakin keras dan intens. Keserakahan dan pengejaran kita terhadap kekayaan menjadi begitu parah sehingga kita tidak membiarkan apapun, atau siapapun menjadi penghalang. Kita tidak berhenti sampai kita berada di dalam kubur; kita mungkin mengumpulkan semua kekayaan di dunia dan menumpuknya di atas kuburan kita, tetapi pada akhirnya, kita akan menjadi bagian dari tanah.

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Dua sifat terburuk yang dimiliki manusia adalah keserakahan yang mengkhawatirkan dan sifat pengecut yang tidak terkendali”. (HR. Bukhari). Ada hikmah di balik sabda beliau ini karena ada hubungan antara kedua sifat ini. Kedua sifat ini mengakibatkan kita terjerumus ke dalam sikap mementingkan diri sendiri; ketika kita dipanggil untuk memberi karena Allah, kita menjadi kikir dan ketika kita dipanggil untuk melakukan tindakan berani, kita menjadi pengecut. Ketika kita dikuasai oleh keserakahan, kita kehilangan semua rasa integritas karena keserakahan menghilangkan prinsip. Ketiadaan prinsip mempengaruhi cara kita berhubungan dengan semua orang, termasuk keluarga dan diri kita sendiri, sehingga menjadi tugas kita untuk menaklukkan keserakahan di dalam diri kita sendiri.

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang tidak mementingkan diri sendiri, dan tidak pernah mengizinkan kita untuk mengejar duniawi sampai-sampai hal itu memisahkan kita dari-Nya, keluarga dan orang-orang di sekitar kita, atau dari potensi kebaikan yang telah Dia letakkan di dalam diri kita. Semoga Allah mengizinkan kita untuk menjadi orang-orang yang dermawan, murah hati dan orang-orang yang merindukan-Nya dan bukan duniawi. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Copyright © 2025 Abu Azzam Al-Banjary