fbpx
#40HKS Bagian 5 – Kita Akan Ditanya Tentang Potensi Kita

#40HKS Bagian 5 – Kita Akan Ditanya Tentang Potensi Kita

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 5

KITA AKAN DITANYA TENTANG POTENSI KITA

 

Abu Dzarr berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulullah ﷺ, ‘Apa saja yang dapat melindungi seseorang dari api neraka?’ Beliau menjawab, ‘Iman kepada Allah.’ Aku bertanya, ‘Apa saja amalan yang menyertai iman?’ Beliau menjawab, ‘Ia harus menafkahkan sebagian dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana jika orang itu sangat miskin dan tidak memiliki sesuatu untuk diberikan?’ Beliau menjawab, ‘Maka hendaknya ia amar ma’ruf dan nahi munkar.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang itu berada dalam kondisi yang sangat lemah sehingga tidak mampu untuk amar ma’ruf dan nahi munkar?’ Beliau menjawab, ‘Bantulah orang yang memiliki keterampilan atau berbuatlah sesuatu untuk orang yang tidak memiliki keterampilan.’ Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang itu tidak memiliki keahlian dan ilmu?’ Beliau menjawab, ‘Ia harus membela orang yang teraniaya.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana jika orang itu lemah dan tertindas?’ Dia berkata, ‘Apakah kamu tidak ingin berbuat kebaikan apapun untuk saudaramu?’ Nabi kemudian berkata, ‘Dia harus menahan kejahatannya dari orang lain.’ Aku bertanya, ‘Jika itu saja yang dia lakukan, apakah dia akan masuk surga? Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidak ada seorang mukmin pun yang mengerjakan salah satu dari hal-hal ini, kecuali pada Hari Pengadilan hal itu akan memasukkannya ke surga.’

 

PADA BAB INI kita akan membahas hadits ketiga dan terakhir yang diriwayatkan oleh Abū Dzarr yang telah dipilih untuk buku ini. Hadis ini disebutkan dalam beberapa buku hadits yang berbeda dan memiliki berbagai macam pilihan kata yang berbeda; namun, hakikat haditsnya tetap sama.

Diriwayatkan oleh Malik bin Martsad dari ayahnya, ia berkata: Abu Dzarr berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah ﷺ, apa saja yang dapat melindungi seseorang dari api neraka?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” Aku bertanya, “Apa saja amalan yang menyertai iman?” Beliau menjawab, “Ia harus menafkahkan sebagian dari rezeki yang Allah berikan kepadanya.” Aku bertanya, “Bagaimana jika orang tersebut sangat miskin dan tidak dapat memberikan sesuatu?” Beliau menjawab, “Maka, ia harus amar ma’ruf dan nahi munkar.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana jika orang tersebut berada dalam kondisi yang sangat lemah sehingga tidak dapat amar ma’ruf dan nahi munkar?” Beliau menjawab, “Bantulah orang yang memiliki keterampilan atau berbuatlah sesuatu untuk orang yang tidak memiliki keterampilan.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana jika orang tersebut tidak memiliki ilmu dan keterampilan?” Beliau menjawab, “Ia harus menolong orang yang teraniaya.” Aku bertanya, “Bagaimana jika orang itu lemah dan tertindas?” Beliau berkata, “Apakah kamu tidak ingin berbuat kebaikan apapun untuk saudaramu?” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, “Ia harus menahan diri dari kejahatannya terhadap orang lain.” Aku bertanya, “Jika hanya itu yang dilakukannya, apakah ia akan masuk surga?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang mukmin yang melakukan salah satu dari hal-hal tersebut kecuali pada hari kiamat, hal itu akan memasukkannya ke dalam surga.” [HR. Ahmad]

Abu Dzarr h dikenal dengan sifatnya yang ingin tahu. Ia selalu ingin tahu lebih banyak, Nabi ﷺ memberinya jawaban yang sangat singkat dan sederhana sebagai permulaan (dengan iman kepada Allah), karena ia tahu bahwa Abu Dzarr akan menanyakan lebih banyak lagi. Imam al-Safārīnī menyebutkan bahwa hal ini tidak seperti kasus orang Badui yang diajarkan oleh Nabi ﷺ tentang lima rukun Islam, karena Abu Dzarr telah melampaui titik itu dan berada pada level yang berbeda.

Berikut ini adalah beberapa amalan yang diajarkan Nabi ﷺ kepada Abu Dzarr dalam hadits di atas:

1. Abu Dzarr bertanya amalan apa saja yang menyertai keimanan, maka Nabi ﷺ menjawab bahwa seseorang hendaknya menafkahkan sebagian rezeki yang Allah berikan kepadanya. Kata yang secara khusus digunakan dalam hadits ini adalah yurdhikh, bukan kata yunfiq, meskipun keduanya berarti ‘berinfak’, radkh jelas mengandung makna ‘jumlah yang sangat sedikit’.

Nabi ﷺ menggunakan kata ini untuk memberi tahu Abu Dzarr bahwa ia memahami bahwa Abu Dzarr bukanlah orang kaya, dan bahwa sedekah tidak terbatas pada mereka yang berkecukupan. Mereka yang berkekurangan harus tetap berusaha untuk bersedekah dalam jumlah yang sangat sedikit, karena hal itu merupakan cara bagi seseorang untuk menyucikan diri dan hartanya serta sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pesan yang konsisten dalam hadits ini adalah bahwa Rasulullah ﷺ selalu berbicara tentang orang-orang sederhana yang melakukan perbuatan sederhana yang menjadi tiket mereka ke surga. Baik itu wanita yang memberi air kepada anjing yang haus atau pria yang menyingkirkan sesuatu yang berbahaya dari jalan; mereka sendiri bukanlah orang kaya, tetapi perbuatan mereka kaya dan sangat dihargai oleh Allah. Akan tetapi, para ulama mengatakan bahwa Utsman h adalah pengecualian. Dia adil, sangat kaya dan setiap kali dia dipanggil untuk beramal, dia melampaui ekspektasinya.

Kemiskinan dibahas dalam banyak hadis sebagai bentuk ketidakadilan, karena sangat sering menimpa orang-orang. Kemiskinan bukanlah hasil dari orang-orang tertentu yang beruntung dan yang lainnya tidak beruntung; ada tindakan ketidakadilan yang menyebabkannya, biasanya melalui beberapa bentuk eksploitasi atau penindasan. Bahkan di masa sekarang kita dapat melihat bahwa 85 persen kekayaan dunia dimiliki oleh segelintir orang dan hal-hal seperti rasisme, penindasan, dan eksploitasi telah menyebabkan kesenjangan besar dalam distribusi kekayaan ini. Beberapa ilmuwan politik juga menyatakan bahwa ketidakadilan ekonomi adalah urusan yang belum selesai dari gerakan hak-hak sipil. Ketidakadilan inilah yang menempatkan orang-orang dalam posisi yang kurang beruntung secara ekonomi dan sering kali dapat membawa mereka ke jalan yang gelap.

Lebih jauh, Allah menyebutkan bahwa ciri pertama orang-orang yang beriman adalah mereka menafkahkan hartanya, baik di kala senang maupun susah. Bahkan ketika mereka tidak dituntut untuk bersedekah, mereka tetap melakukannya sesuai kemampuan mereka karena mereka sendiri yang menanggung beban itu. Allah berfirman tentang orang-orang ini dalam Al-Qur’an bahwa mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, bahkan ketika mereka membutuhkan apa yang mereka sedekahkan. Nabi ﷺ juga memberi tahu kita bahwa sedekah yang terbaik adalah sedekah yang diberikan ketika seseorang takut miskin.

2. Nasihat yang diberikan Nabi ﷺ kepada Abu Dzarr sangatlah penting karena nasihat ini memberi kita langkah selanjutnya yang dapat kita ambil ketika pengeluaran uang secara fisik tidak memungkinkan. Jika seseorang berada dalam posisi tidak punya apa-apa untuk bersedekah meskipun setengah butir kurma, maka ia harus berusaha untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran karena ini adalah bentuk sedekah yang tidak melibatkan pengeluaran uang. Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa setiap kali seseorang mengajak kepada kebaikan atau melarang kemungkaran, maka itu adalah bentuk sedekah dari pihaknya. Ibnu Hajar r juga mengatakan bahwa seseorang dapat terlibat dalam proses yang mengarah kepada tindakan sedekah dan tetap mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang benar-benar bersedekah. Ini dapat berarti bahwa seseorang hanya mengantarkan sedekah atau memfasilitasi sedekah itu atau mengajak seseorang untuk melakukan tindakan kebaikan itu.

Abdullah bin Mas’ud h menyebutkan bahwa mencegah kemungkaran itu lebih sulit dan karenanya lebih dicintai Allah. Amar ma’ruf atau mengajak berbuat baik lebih mudah dilakukan karena sering kali dilakukan sebagai respons terhadap kemungkaran, tetapi jika kita menghilangkan sebab kemungkaran itu, maka itu akan lebih baik. Ia juga mengemukakan poin lain yang menyatakan bahwa orang yang berusaha mencegah kemungkaran akan menghadapi lebih banyak tentangan dan konsekuensi sebagai akibat dari sikapnya. Hal ini disebabkan karena ketika seseorang berbuat baik, kecil kemungkinannya ia akan menerima reaksi balik atas tindakan tersebut. Akan tetapi, ketika orang tersebut menentang kemungkaran di masyarakat, lebih besar kemungkinannya ia akan menghadapi tentangan karena mengambil sikap itu.

3. Abu Dzarr h kemudian bertanya bagaimana jika terlalu berbahaya bagi seseorang untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar? Bagaimana jika orang tersebut berada dalam posisi yang sangat rentan dan tidak mampu melakukan amalan ini? Abu Dzarr sendiri berada dalam posisi yang sama ketika ia menerima Islam di awal-awal masa Mekkah. Nabi Muhammad ﷺ mengatakan kepadanya dan yang lainnya untuk tidak menyatakan keislaman mereka di depan umum karena hal itu merupakan ancaman serius bagi hidup mereka. Akan tetapi, Abu Dzarr tidak dapat menahan diri dan menyatakan keislamannya di depan umum sehingga hampir dipukuli sampai mati karenanya. Ibnu Mas’ud h juga mengalami kejadian serupa ketika ia menyatakan keislamannya di depan umum; tulang selangkanya patah dan ia dipukuli hingga pingsan.

Nabi ﷺ memahami bahwa manusia memiliki kapasitas (aqsām) yang berbeda-beda dan bahwa sebagian orang mungkin tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Hal ini mendorong beliau untuk memberikan nasihat berikut kepada Abu Dzarr terkait pertanyaannya:

Bantu seseorang yang memiliki keterampilan atau lakukan sesuatu untuk orang yang tidak memiliki keterampilan. Jika Anda tidak berada dalam posisi untuk melakukan perubahan, carilah seseorang yang berada dalam posisi untuk melakukan perubahan itu dan bantulah mereka. Salah satu contohnya adalah seseorang yang Anda kenal adalah pembicara publik yang baik atau bahkan pembuat kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki cukup pengetahuan untuk menyampaikan pesan atau informasi yang dibutuhkan dengan baik, jadi Anda membantu mereka dengan membagikan apa yang Anda ketahui. Anda mungkin bukan pembicara publik yang baik atau memiliki posisi berwenang, tetapi Anda dapat membantu memfasilitasi perubahan dengan membantu seseorang, yaitu dengan memberi mereka informasi dan fakta.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang yang memiliki wewenang memiliki semua pengetahuan yang dibutuhkan setiap saat. Setiap orang memiliki kelemahan, dan dalam banyak kesempatan seseorang dengan tingkat kekuasaan tertentu dalam masyarakat dapat melakukan kesalahan yang tampaknya dapat dihindari dengan mudah, tetapi dengan adanya saran dari kita kepadanya dapat mengubah kesalahannya itu menjadi lebih baik. Jika kita mampu memengaruhi orang yang berpengaruh, maka mereka akan dapat melaksanakan tugas dan agenda yang benar mewakili kita.

Terkait dengan hal ini, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Orang yang memberi petunjuk kepada kebaikan maka ia seperti orang yang mengerjakan kebaikan itu. Dan barangsiapa yang membuat suatu tradisi yang baik, maka ia memperoleh pahala (ajr) dari orang yang ikut mengamalkannya.”

Ulama seperti Ibnu Hajar juga mengomentari hadis ini dan berkata: “Terkadang ketidakadilan yang dihadapi oleh mereka yang bekerja (kelas pekerja) terasa lebih samar dibandingkan dengan mereka yang secara terang-terangan dirugikan”. Untuk memperjelas hal ini, ia mengutip Ibnu al-Munayyir yang mengatakan bahwa “hadits tersebut menunjukkan bahwa membantu orang yang terampil lebih diutamakan daripada yang tidak terampil”. Dengan kata lain, ini berarti bahwa orang yang memiliki disabilitas dan diketahui tidak terampil dipahami membutuhkan bantuan, tetapi terkadang mereka yang bekerja atau diketahui memiliki beberapa jenis keterampilan (seperti keterampilan perdagangan) diabaikan dan mereka tidak dibantu melalui sarana amal.

Contohnya adalah ketika kita mengunjungi Masjidil Haram di Mekkah dan Madinah (Haramain); kita secara otomatis akan cenderung membantu orang-orang yang kita lihat di jalan, tetapi kita tidak akan terlalu memikirkan orang-orang yang bekerja di masjid. Kita mungkin berasumsi bahwa karena mereka menerima gaji, mereka tidak membutuhkan bantuan apa pun. Namun, sebagian besar kelas pekerjalah yang terabaikan, terjebak di antara mereka dan menderita akibat ketidakadilan dan kelalaian ini.

Hikmah lain (fā’idah) yang dapat kita ambil dari hadits ini adalah bahwa lebih baik mengajarkan seseorang keterampilan daripada memberi nafkah kepada mereka, seperti dalam pepatah terkenal tentang mengajarkan seseorang cara memancing dibandingkan memberi ikan kepada orang yang lapar. Kata-kata yang digunakan Nabi ﷺ dalam hadis ini memberikan makna yang lebih dalam pada nasihatnya untuk membantu orang lain. Misalnya, kita mungkin mengenal seseorang yang secara alamiah kurang beruntung dan hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk orang tersebut adalah mengajarkan mereka keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk berada dalam posisi untuk menyediakan nafkah atau membantu diri mereka sendiri di masyarakat dalam jangka panjang.

4. Setelah itu, Abu Dzarr melanjutkan pertanyaannya kepada Nabi ﷺ tentang apa lagi yang bisa dilakukan seseorang jika ia tidak memiliki keterampilan untuk diberikan, dan jawaban yang diterimanya adalah membantu orang yang tertindas atau orang yang sedang menghadapi musibah atau situasi menyedihkan.

Contoh yang bagus adalah Ibnu Abbas h yang sedang duduk di masjid Nabi ﷺ pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan melihat seorang laki-laki berjalan ke masjid dalam keadaan tampak sangat sedih. Ibnu Abbas mendatangi laki-laki itu dan bertanya kepadanya apa yang salah, laki-laki itu menjawab bahwa ia memiliki utang, tetapi ia tidak memiliki uang untuk melunasinya dan takut untuk berhadapan dengan pemberi pinjamannya. Ibnu Abbas sendiri tidak memiliki cukup uang untuk membantu membayar utang laki-laki ini, tetapi ia menawarkan untuk berbicara dengan pemberi pinjaman tersebut dan menanyakan apakah ia bersedia memperpanjang waktu pembayaran.

Ada dua pelajaran yang dapat kita pelajari dari contoh ini:

  • Ibnu ‘Abbās mungkin tidak mampu melunasi utangnya, namun ia telah melakukan apa yang ia bisa. Ia menawarkan dukungan dan solidaritas kepada saudaranya se-Islam.
  • Sekalipun Ibnu Abbas kembali tanpa hasil karena pemberi pinjaman menolak memberikan tenggang waktu, kenyataan bahwa ia berusaha membantu, dengan kapasitas apa pun yang ia mampu, akan memberikan banyak dukungan emosional kepada si peminjam bahwa Ibnu Abbas menyadari kesulitannya dan berusaha menolongnya.

Nabi ﷺ di sini mengajarkan kepada Abu Dzarr bahwa meskipun kita tidak mampu membuat perubahan dalam keadaan, menawarkan dukungan dapat membuat perubahan positif bagi kesehatan mental seseorang. Kita mungkin tidak dapat bersedekah, kita mungkin tidak dapat mengajak berbuat baik (Dakwah), kita mungkin tidak dapat menentang bentuk ketidakadilan, dan kita mungkin bahkan tidak dapat menawarkan untuk membekali seseorang dengan keterampilan atau pengetahuan sehingga mereka dapat mengubah keadaan bagi diri mereka sendiri atau masyarakat, tetapi kita dapat menawarkan dukungan kepada mereka yang berada dalam situasi sulit.

Hadits lain yang sangat mendukung hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nabi ﷺ yang berbunyi, “Barangsiapa yang melindungi seorang mukmin dari orang munafik, maka Allah akan mengirimkan malaikat yang akan melindungi dagingnya pada hari kiamat dari api neraka Jahannam.” [Abū Dāwūd]

Melindungi dan menolong orang yang sedang teraniaya bukanlah perbuatan kecil, karena pahala yang akan didapat sangatlah besar di akhirat nanti, yaitu kita akan dilindungi oleh malaikat dari api neraka.

Nabi ﷺ juga bersabda, “Barangsiapa yang menanggapi atas nama seorang mukmin ketika dia tidak hadir, maka Allah telah menjadikannya hak atas-Nya untuk melindunginya dari api neraka”. [Abū al-Dardā’]. Yang dimaksud di sini adalah bahwa seseorang atau sekelompok orang bisa saja menggunjing orang lain dan Anda membela orang tersebut. Melindungi seseorang ketika mereka tidak ada sementara mereka menjadi sasaran yang salah atau negatif akan membuat Anda terlindungi dari api neraka.

Umat ​​Islam adalah saudara satu sama lain, dan ini berarti bahwa kita tidak boleh berbuat salah kepada satu sama lain, dan kita juga tidak boleh berkhianat kepada satu sama lain. Kita harus membela saudara-saudari kita jika kita menyaksikan mereka terzalimi.

5. Terakhir, Abu Dzarr bertanya apa yang harus dilakukan jika seseorang lemah atau tertindas dan tidak dapat menolong orang lain. Sebelum memberikan jawabannya, Nabi ﷺ berkata kepada Abu Dzarr, “Apakah kamu tidak ingin berbuat kebaikan apapun untuk saudaramu?” Ini untuk menanyakan apakah dia benar-benar tidak mampu melakukan tindakan yang disebutkan sebelumnya. Kemudian, dia melanjutkan dengan mengatakan, “Dia harus menahan kejahatannya terhadap orang lain.” Dengan kata lain, Nabi ﷺ berkata bahwa jika kita tidak dapat berbuat baik kepada orang lain, maka paling tidak yang dapat kita lakukan adalah menahan diri dari menyakiti mereka dengan cara apa pun.

Hadits berikut ini terkait erat dengan nasihat khusus ini, “Siapa pun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir harus berbicara yang baik atau tetap diam”. [al-Bukhārī & Muslim]. Jika Anda tidak memiliki sesuatu yang positif atau produktif untuk disumbangkan, baik secara langsung maupun daring, maka yang terbaik adalah tetap diam. Jika kita tidak dapat menawarkan dukungan kepada seseorang atau jika kita tidak dapat membela seseorang, maka kita harus tetap diam atau lebih baik –tinggalkan pergi. Salah satu sahabat yang hebat Abu Dujanah h ikut serta dalam semua pertempuran bersama Nabi, tetapi dia tidak bergantung pada keterlibatannya di medan perang untuk memberinya tempat di Surga. Abu Dujanah berkata bahwa satu hal yang dia andalkan dari Allah adalah bahwa dia tidak pernah menggunakan lidahnya untuk mencaci seorang mukmin atau mengatakan sesuatu yang buruk tentang siapa pun.

Sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya mengenai karakter Abu Dzarr, ia merasa sulit bergaul dengan orang lain karena ia bersikap kasar kepada mereka dalam hal harta benda. Dan karena Utsman bin Affan h mengingatkannya akan nasihat Nabi ﷺ, ia pun menarik diri dari berinteraksi dengan orang lain. Ia memahami bahwa solusinya adalah dengan tidak berbicara, karena ucapannya akan menjadi kontraproduktif.

Kita dapati bahwa nasihat terakhir inilah yang sebenarnya ingin didengar oleh Abu Dzarr. Ia terus meminta kepada Nabi ﷺ untuk melakukan tindakan yang lebih sederhana dan mudah yang dapat memungkinkan seseorang untuk masuk Surga (Jannah), dan setelah menerima nasihat terakhir, ia bertanya, Jika hanya itu yang dilakukannya, apakah ia akan masuk Surga? Nabi ﷺ menjawab, Tidak ada seorang mukmin pun yang melakukan salah satu dari hal-hal ini, kecuali pada Hari Pengadilan, amalan itu akan menggenggam tangannya dan menuntunnya hingga memasukkannya ke dalam Surga. Pernyataan penutup ini sangat mendalam karena menjelaskan bahwa sedekah kita akan datang dan menggandeng tangan kita, dakwah kita mengajak kepada kebenaran akan datang dan menggandeng tangan kita, tindakan membantu sesama Muslim akan datang dan menggandeng tangan kita, tindakan membela seseorang yang dizalimi akan datang dan menggandeng tangan kita serta membawa kita ke Surga.

Di sini bermanfaat untuk menyebutkan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr, di mana ia mengeluh kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwa para muhajirin dari Mekkah, yang miskin, dikalahkan dalam perbuatan baik oleh para sahabat yang kaya karena mereka mampu memberikan uang untuk sedekah sementara orang miskin hanya bisa berdoa dan berpuasa. Nabi ﷺ berkata, “Bukankah Allah telah memberimu sesuatu untuk bersedekah juga?”. Abu Dzarr bertanya, ‘Apa?’ dan Nabi menjawab, “‘Allahu Akbar’. ‘Alhamdulillah’, setiap tasbih adalah sedekah”. dan mengajarkan kepadanya bahwa membaca tasbih setelah shalat juga merupakan sedekah. Abu Dzarr kemudian kembali ke para sahabat yang miskin dan menyuruh mereka untuk membaca tasbih, yang juga diketahui oleh para sahabat yang kaya dan mulai membacanya juga. Setelah itu Abu Dzarr kembali kepada Nabi ﷺ sekali lagi untuk mengadukan tentang para sahabat yang kaya, dan beliau diberitahu bahwa semua itu adalah karunia Allah dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. [Muslim].

Kita bisa melihat dengan jelas kepribadian Abū Dzarr dalam hadits ini, ia selalu ingin berbuat lebih banyak, dan ia selalu ingin mempelajari berbagai cara agar ia bisa memperoleh pahala meskipun tidak mampu menghabiskan uang seperti orang-orang yang lebih kaya darinya.

Penting bagi kita untuk belajar dan mengingat bahwa masalah kita bukanlah hal-hal yang kita harapkan dapat kita lakukan, tetapi masalahnya adalah kita gagal untuk melakukan hal-hal yang berada dalam kemampuan kita. Allah memberi kita semua kesempatan untuk melakukan perbuatan baik dan memperoleh surga, tetapi kita harus mengenali potensi ini dalam diri kita dan menggunakannya.

Kita tidak perlu terus-menerus mencari ‘tindakan besar’, tindakan kebaikan kecil bisa jadi jauh lebih besar dari yang kita kira. Misalnya, ‘Abdullāh ibn Mubārak berkata bahwa “Melindungi anak dari dinginnya malam lebih disukai Allah daripada berjuang di medan perang”. Kita tidak perlu memiliki wewenang atau kekuasaan untuk berbuat baik kepada orang lain; kita dapat membangun perbuatan baik dengan melakukan hal-hal kecil seperti mengajar orang lain cara membaca Al-Qur’an, mengantar orang ke suatu tempat, membantu orang tua atau penyandang cacat – tindakan kebaikan kecil ini tidak boleh diabaikan.

Pesan yang lebih besar di balik nasihat Nabi ﷺ kepada Abu Dzarr dan ummat dalam hadits yang telah kita bahas dalam bab ini adalah bahwa merupakan sebuah tanda ketidak jujuran jika kita tidak melakukan apa yang kita mampu lakukan. Allah akan bertanya kepada kita tentang bagaimana kita memanfaatkan kemampuan kita untuk berbuat baik. Namun, pada saat yang sama kita juga telah diberitahu untuk tidak mengambil pilihan yang lebih mudah jika kita memiliki potensi untuk melaksanakan tugas yang lebih sulit.

Abu Bakar h biasa pergi ke pinggiran kota Madinah dan membersihkan rumah-rumah wanita tua ketika ia menjadi Khalifah, sebagaimana yang dilakukannya sebelum ia diberi jabatan berwenang ini.

Saya ingin mengakhiri bab ini dengan sebuah contoh indah yang diberikan oleh Umar bin Abdul Aziz. Ia ditemukan menangis oleh istrinya Fatimah binti Malik setelah selesai shalat. Istrinya bertanya mengapa ia menangis. Umar menjawab, “Aku diberi posisi ini tanpa aku minta. Maka aku pun mulai berpikir tentang anak yatim yang kelaparan, orang yang sangat melarat, janda, orang yang membutuhkan, orang tua yang sudah jompo dengan banyak anak tetapi hartanya sedikit. Aku pun menyadari bahwa Tuhanku akan bertanya tentang mereka pada Hari Kiamat dan bahwa lawanku dan pembela mereka adalah Nabi ﷺ”.

Umar mengetahui tentang orang-orang ini sebelum ia menjadi Khalifah, tetapi sekarang setelah diberi posisi berkuasa, ia memiliki sarana untuk bertindak bagi orang-orang ini. Ia takut kalau ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.

Semoga Allah memberi kita kemampuan untuk mengamalkan kebaikan bagi agama-Nya, bagi makhluk-Nya, dan semoga Allah menyebarkan kebaikan melalui kita. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Komentar