Bagian 11
LUASNYA CAKUPAN TAṬFĪF (MENCURANGI TAKARAN)
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, mereka adalah orang-orang yang paling buruk dalam hal timbangan dan takaran. Kemudian Allah b menurunkan ayat: “Celakalah orang-orang muṭaffifīn (orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan)”, dan mereka menjadi sebaik-baik manusia dalam hal takaran dan timbangan setelah itu“.
Dalam bab ini, kita akan fokus pada interaksi keuangan tertentu yang telah disoroti oleh Nabi Muhammad ﷺ dan memperluas pemahaman kita tentang bagaimana hal itu berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Mengurangi atau mencurangi takaran (taṭfīf) telah dibahas secara eksplisit karena dampak buruknya terhadap masyarakat. Hadits yang akan kita bahas ini diriwayatkan dalam kitab Ibnu Majah:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi ﷺ datang ke Madinah, mereka adalah orang-orang yang paling buruk dalam hal timbangan dan takaran. Kemudian Allah c menurunkan firman-Nya, “Celakalah bagi orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan.” Setelah itu mereka menjadi sebaik-baik manusia dalam hal timbangan dan takaran.”
Bahasa yang beliau gunakan di sini sangat kuat dalam menyebut orang-orang yang menipu orang lain sebagai orang yang paling buruk. Ada reputasi di pasar-pasar Madinah tentang orang-orang yang suka menipu dengan timbangan dan takaran ketika menjual, sehingga Allah mengungkapkan kekecewaan-Nya terhadap mereka. Setelah ayat ini turun dalam surah al-Muṭaffifīn, Ibnu Abbas menyebutkan bahwa orang-orang yang sama menjadi sebaik-baik manusia dalam hal timbangan. Orang-orang mulai memperhatikan dengan seksama bagaimana mereka melakukan bisnis dengan satu sama lain, untuk memastikan bahwa tidak ada yang dirugikan.
Ada dua jenis, atau aspek, dalam mengurangi timbangan yang dapat kita pahami lebih lanjut setelah melihat ayat-ayat berikut dari surah al-Muṭaffifīn [83] ayat 1-3 : “Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” :
1. Yang pertama adalah ketika seseorang mengambil atau membeli sebuah produk, mereka akan mengambil takarannya secara penuh.
2. Kedua, ketika orang tersebut berada dalam posisi menjual atau mendistribusikan sendiri, mereka menyebabkan kerugian kepada orang lain dengan mengurangi takaran atau timbangan produk.
Contoh yang lebih baru atau terkini dari masalah ini (mengambil maksimum tetapi memberikan minimum) dapat dilihat dalam konsep asuransi. Meskipun dalam Islam konsep mengumpulkan uang dapat diterima, misalnya sekelompok nelayan mengumpulkan sejumlah uang agar dapat digunakan ketika salah satu perahu mereka rusak, konsep asuransi saat ini memiliki aspek perjudian karena perusahaan asuransi idealnya ingin memberi Anda sesedikit mungkin, tetapi menagih pembayaran penuh dari Anda.
Melihat penjelasan (tafsīr) ayat-ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa ada seorang pria di Madinah bernama Abū Juhainah, yang merupakan seorang penjual yang handal, yang mana ayat-ayat ini diturunkan. Ketika ia akan menagih pembayarannya, ia akan menambah sedikit timbangan dengan tangannya, dan ia menjadi kaya dengan cara curang yang dikenal dengan gharar.
Ibnu Katsir r mengatakan bahwa taṭfīf adalah menipu, kikir, dan tidak adil dalam mengambil dan mengembalikannya. Beliau juga menyebutkan bagaimana Allah mengakhiri ayat pembuka surah al-Muṭaffifīn ayat 4-6 Tidakkah mereka menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? Ketika semua orang dikumpulkan di hadapan Allah, Tuhan semesta alam pada Hari Kiamat, Allah akan memenuhi hak-hak mereka karena timbangan Allah tidak seperti timbangan yang lain. Tidak ada keraguan bahwa timbangan Allah tidak akan melakukan kezaliman sekecil apapun karena Tuhan kita adalah Yang Maha Adil.
Diriwayatkan oleh Sulaiman dalam Fatḥul-Bārī, “Seandainya seluruh langit dan bumi diletakkan di atas timbangan yang akan digunakan Allah pada Hari Kiamat, niscaya timbangan itu akan pas dan timbangan itu akan menimbang dengan tepat. Allah tidak akan mencurangi seorang pun pada hari itu, bahkan Dia bisa saja memiringkan timbangan itu, karena kasih sayang-Nya, ke arah kebaikan, tetapi Dia tidak akan pernah memiringkan timbangan itu ke arah keburukan. Allah Maha Pengampun dan Dia melakukan dan akan melakukan kebalikan dari apa yang Dia kutuk dalam ayat pembuka surah al-Muṭaffifān. Salah satu contoh Rahmat-Nya adalah bahwa pernyataan iman, kalimah syahadat, akan sangat berat dalam timbangan dan akan lebih berat daripada perbuatan buruk sebagian hamba-Nya. Kita pada dasarnya memiliki kekurangan dan tidak mampu memberikan kepada Allah apa yang layak untuk-Nya, tetapi ketika Allah memberi, Dia memberi kita lebih dari apa yang layak kita terima karena Dia adalah Asy-Syakūr.
Tujuannya adalah untuk meneladani sifat-sifat Allah ketika ada kemungkinan penerapan sifat-sifat yang sama oleh manusia; ini berarti bahwa karena Allah melakukan kebalikan dari taṭfīf terhadap kita, kita harus berusaha untuk berperilaku serupa dan sesuai dengan sifat-sifat itu karena itu adalah cara terbaik untuk memenuhi hak dari sifat tersebut.
Selain itu, satu hal yang perlu diperhatikan adalah fakta bahwa saat ini jauh lebih mudah untuk melakukan taṭfīf daripada di masa lalu. Hal ini karena perdagangan mata uang sekarang sebagian besar dilakukan melalui sistem komputer, dan hanya dengan mengklik atau menekan tombol dapat menyebabkan implikasi finansial yang sangat besar. Kita juga kurang memperhatikan angka-angka dan menjadi lebih mudah bagi orang untuk berbuat curang, misalnya membulatkan ke atas untuk diri kita sendiri tetapi membulatkan ke bawah untuk orang lain.
Ini adalah sesuatu yang harus diperhatikan, karena hal ini merupakan prioritas ketika Nabi ﷺ pertama kali tiba di Madinah. Allah tidak menunggu untuk mengutuk praktik ini, dan kita juga harus menganggap serius tindakan mengurangi takaran (taṭfīf).
Taṭfīf sendiri adalah konsep yang sangat luas, kita sering cenderung membatasinya pada aspek keuangan, namun taṭfīf dapat diterapkan pada beberapa konteks yang berbeda seperti:
1. Taṭfīf kepada Allah
• Manusia berusaha menipu Allah, namun pada kenyataannya, mereka menipu diri mereka sendiri. Contoh yang bagus untuk hal ini adalah ketika Umar bin Al-Khaṭṭāb h keluar dari salat Aṣar dan bertemu dengan seseorang yang tidak ikut salat Aṣar. Umar bertanya kepadanya apa yang membuatnya tidak ikut salat, dan meskipun orang itu memberikan alasan yang baik, Umar menjawab “Engkau telah menipu dirimu sendiri”. [Muwaṭṭa’ Mālik]
• Ada juga hadits yang menyebutkan bahwa seseorang tergesa-gesa dalam shalatnya, lalu Nabi Muhammad ﷺ memberitahukan kepadanya bahwa ia telah melakukan kecurangan dalam shalatnya dan menyuruhnya untuk mengulanginya. [al-Bukhārī & Muslim]. Dalam setiap posisi shalat, kita harus mengambil waktu sejenak di mana tubuh kita tenang dalam posisi tersebut daripada terburu-buru tanpa jeda; di dalam jeda itulah kita dapat melafalkan doa-doa dan menghayati hubungan dengan Allah. Dengan terburu-buru dalam shalat, kita berarti mengurangi porsi shalat dan tidak memberikan waktu yang semestinya -kita harus ingat bahwa waktu ini adalah untuk Allah.
2. Taṭfīf yang berkaitan dengan guru dan murid
• Para ulama mengatakan bahwa adab seorang pelajar adalah datang lebih awal ke tempat belajar atau kelas. Dengan menunjukkan bahwa mereka siap dan antusias, mencatat dan penuh perhatian, mereka memberikan ilmu yang diberikan kepada mereka haknya. Mengalihkan perhatian dengan telepon genggam atau hal lainnya ketika seseorang sedang mengajar juga termasuk taṭfīf .
• Nabi Muhammad ﷺ pernah duduk bersama para sahabatnya, beliau mengenakan cincin di jarinya yang membuatnya terganggu dan tidak memberikan perhatian kepada para sahabat seperti biasanya. Segera setelah beliau ﷺ menyadari hal ini, beliau melemparkan cincinnya ke samping dan meminta maaf kepada para Sahabatnya karena tidak memberikan perhatian penuh kepada mereka. Tidak memberikan perhatian penuh kepada murid-murid Anda juga merupakan bentuk meremehkan mereka (taṭfīf).
• Jika seorang guru tidak mempersiapkan diri dengan baik sebelumnya, itu adalah bentuk taṭfīf . Dengan datang mengajar tanpa persiapan, seorang guru telah melakukan taṭfīf kepada murid-muridnya dengan tidak mengajar mereka dengan baik, meskipun mereka telah meluangkan waktu untuk datang dan belajar.
• Mengistimewakan sebagian murid atas sebagian yang lain juga termasuk taṭfīf, karena anda tidak memberikan hak murid-murid yang lain atas diri anda. Berlaku adil kepada seorang murid tetapi tidak adil kepada murid yang lain berarti menipu murid tersebut.
3. Taṭfīf dalam konteks keluarga
• Mengutamakan satu anak atas anak yang lain adalah taṭfīf . Anak-anak Anda harus diperlakukan sama tanpa pilih kasih.
• Melampiaskan kemarahan kepada anak juga termasuk taṭfīf, menjadi kesal atau marah kepada sesuatu atau orang lain lalu melampiaskannya kepada anak adalah tindakan yang tidak adil bagi anak. Anak tidak melakukan kesalahan apa pun yang membuat Anda marah dan ini adalah sesuatu yang harus kita waspadai.
• Berdebat dengan pasangan di depan anak juga bisa menjadi bentuk taṭfīf, yaitu membuat anak menderita dan menyaksikan pertengkaran tersebut.
• Menuntut hak Anda secara penuh namun memberikan hak pasangan Anda yang lebih rendah dari haknya adalah taṭfīf . Contoh yang sangat bagus tentang hal ini dapat dilihat dari Ibnu Abbas k yang berkata, “Aku senang kalau aku berhias untuk istriku, sebagaimana aku senang kalau dia juga berhias untukku. Pada hari kiamat nanti, Allah akan bertanya kepadaku tentang hak-hak yang menjadi kewajibanku dan hak-hak yang telah aku berikan. Aku ingin hak yang aku berikan lebih banyak daripada hak yang aku ambil sehingga Allah dapat mengisi celah itu dengan iḥsān.”
Allah juga menyebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 228 : “Dan hak-hak mereka (para istri) adalah seimbang dengan kewajibannya”, maksudnya adalah bahwa wanita memiliki hak yang sama dengan hak-hak laki-laki. Allah telah menetapkan kesetaraan ini dalam hal pemenuhan hak-hak perkawinan.
Jika seorang suami melakukan kesalahan dan istri berkata, “Kamu tidak pernah melakukan sesuatu untukku,” maka ini adalah taṭfīf (pengingkaran) dari pihak istri, karena ia tidak mengakui dan menghargai kebaikan yang telah dilakukan oleh suaminya di masa lalu.
Sebuah hukum yang menarik terkait dengan persamaan hak adalah ketika Imām Utsaimin pernah ditanya oleh seorang wanita tentang kebolehan puasa sunnah tanpa izin suaminya karena suaminya telah lalai terhadap hak-hak istrinya. Jawaban yang diberikan kepadanya adalah bahwa dia memiliki hak untuk melakukannya untuk menyamakan timbangan; karena sang suami melanggar, dia juga memiliki hak untuk melawan.
4. Taṭfīf di tempat kerja
• Jika seorang karyawan menunjukkan keunggulan (iḥsān) dalam pekerjaannya dengan melakukan kerja lembur atau sejenisnya atas kemauan sendiri dan majikannya membayarnya dengan baik, maka hal ini tidak termasuk dalam kategori taṭfīf. Akan tetapi, jika beban kerja yang diberikan melebihi kemampuan karyawan tersebut dan ia tidak mendapatkan upah yang sesuai, maka hal tersebut termasuk dalam kategori taṭfīf dari sisi majikan.
• Jika seorang pekerja dibayar dengan baik tetapi tidak memenuhi kewajibannya, maka hal ini termasuk taṭfīf karena mereka dibayar lebih tinggi dari yang semestinya sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan.
Kita harus berusaha untuk menanggapi setiap kejahatan atau ketidakadilan yang kita alami dengan keadilan sewajarnya, kita tidak boleh melampaui keadilan, tetapi respon terbaik adalah dengan memberikan respon yang terbaik (iḥsān). Lebih baik bagi kita untuk memaafkan taṭfīf mereka dan tidak memiliki sikap yang sama. Meskipun hampir setiap hubungan memiliki ketidakseimbangan dengan satu pihak melakukan lebih banyak, kita harus memastikan bahwa kesenjangan itu tidak menjadi terlalu besar sehingga ketimpangan atau ketidakadilan mulai terjadi.
Sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaṭṭāb h menunjukkan dengan sangat baik tentang taṭfīf: Seorang laki-laki datang kepada Umar bin al-Khaṭṭāb mengadukan ketidaktaatan anaknya kepadanya. Umar kemudian memanggil anak tersebut dan bertanya kepadanya tentang pengabaian hak-hak ayahnya, dan anak itu berkata, “Wahai Amīrul Mukminīn! Bukankah seorang anak memiliki hak atas ayahnya?” Umar menjawab, “Tentu saja”. Sang anak kemudian bertanya, “Apakah itu Amīrul Mukminīn?” Umar menjawab, “Hendaknya ia memilihkan ibu yang baik, memberinya nama yang baik, dan mengajarinya Al-Qur’an”. Sang anak kemudian berkata, “Wahai Amīrul Mukminīn! Ayahku tidak melakukan semua itu. Ibuku adalah seorang penyembah api, dia memberiku nama Jul’ah (yang berarti kumbang) dan dia tidak mengajariku satu kata pun dari Al-Qur’an.”
Umar kemudian menoleh kepada sang ayah dan berkata, “Engkau datang kepadaku untuk mengadukan ketidaktaatan anakmu, namun engkau telah gagal dalam kewajibanmu kepadanya sebelum dia gagal dalam kewajibannya kepadamu. Engkau telah berbuat salah kepadanya sebelum ia berbuat salah kepadamu.
Meskipun orang tua mampu melakukan taṭfīf kepada anak-anak mereka, namun yang lebih sering terjadi adalah seorang anak tidak berterima kasih kepada orang tuanya. Ketika mereka tumbuh dewasa dan lebih mandiri, mereka mulai meremehkan orang tua mereka.
Imām al-Ghazālī menyebutkan bahwa seorang yang beriman (mu’min) memiliki karakteristik melakukan segala sesuatu hingga tuntas. Seorang mu’min memenuhi hak-hak orang lain dan tidak melalaikan tanggung jawabnya; kecerobohan atau meninggalkan sesuatu yang tidak lengkap berarti mengurangi (taṭfīf). Namun, berorientasi pada detail dan ingin melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya adalah kebalikan dari taṭfīf. Versi modern dari taṭfīf dapat berupa menuntut pembayaran penuh tetapi tidak melakukan pekerjaan dengan benar atau memperbaiki timbangan di pasar emas, sebuah praktik yang masih ada.
5. Taṭfīf dalam persaudaraan
• Muhammad bin Sīrīn berkata, “Adalah suatu kezaliman terhadap saudaramu jika kamu menyebutkan keburukan yang kamu ketahui tentangnya, tetapi kamu tidak menyebutkan sifat-sifat baiknya”.
• Imām al-Syāfi’ī berkata, “Aku bersumpah bahwa jika aku melakukan kebaikan sebanyak 99 dari seratus kali, dan aku melakukan satu kali kesalahan, maka mereka akan menjadikannya alasan untuk menjelekkanku”. Mengabaikan kebaikan dan menunggu seseorang melakukan kesalahan untuk mengingatkannya adalah taṭfīf terhadap saudaramu.
6. Taṭfīf terhadap para ulama
• Sebagian orang memperlakukan para ulama seakan-akan mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, sementara sebagian yang lain menunggu sampai mereka melakukan kesalahan sekecil apapun untuk mengungkapnya.
• Ibnu Qayyim berkata tentang gurunya Ibnu Taimiyyah, “Semua kesalahan kecil Ibnu Taimiyyah tidak menjadi masalah karena Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa genangan air yang besar tidak akan menjadi najis”. Yang dimaksud di sini adalah bahwa semua kebaikan yang telah ia lakukan lebih besar daripada kesalahan-kesalahan kecilnya sehingga kebaikannya tidak terpengaruh oleh kesalahan-kesalahan tersebut. Beginilah seharusnya kita memperlakukan para ulama kita, karena mereka menghabiskan hidup mereka untuk melakukan dan menyebarkan kebaikan, kita tidak boleh membiarkan kesalahan-kesalahan kecil mencemari kebaikan (khayr).
Ketika melihat dunia saat ini, kita dapat melihat bahwa ada budaya taṭfīf global yang tidak menguntungkan. Hal ini telah menjadi hal yang biasa di masyarakat karena orang-orang menjadi egois dan serakah; dan kita dapat menemukan bahwa setiap kali ada lebih banyak keserakahan, maka akan ada lebih banyak taṭfīf. Kita hidup di masa di mana orang-orang berorientasi pada diri sendiri, kita mengkhawatirkan diri kita sendiri dan menjadi narsis, membuka jalan bagi perilaku yang merusak.
Ketidakegoisan menjadi langka di zaman kita, sebagai orang beriman, penting bagi kita untuk mempromosikan karakteristik ini dalam diri kita sendiri dan dalam masyarakat. Jika segala sesuatu menjadi hanya tentang diri kita sendiri, maka kesenangan kita akan mulai didahulukan daripada hak-hak yang dimiliki orang lain. Ini tidak berarti kita harus menerima penindasan atau pelecehan, namun ini berarti bahwa kita mendahulukan orang lain daripada diri kita sendiri seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surah Al-Hasyr [59] ayat 9 : “Dan mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam keadaan kekurangan”. Kita tidak boleh mengutamakan hak-hak kita dan menjadikannya nomor dua setelah hak-hak orang lain. Namun, ketika kita mulai memikirkan diri kita sendiri, kesenjangan dalam masyarakat seperti kekayaan, kesehatan, dan kualitas hidup akan semakin melebar. Orang kaya menjadi semakin kaya, sementara orang miskin menjadi semakin miskin dan ini adalah sesuatu yang sangat tidak adil.
Banyak orang mendasarkan hubungan mereka pada seberapa banyak yang harus mereka berikan dan seberapa banyak yang bisa mereka dapatkan sebagai balasannya. Ketika sampai pada titik di mana mereka harus memberi lebih banyak kepada seseorang daripada yang mereka terima, maka orang tersebut tidak lagi dianggap penting; mereka hanya tertarik kepada orang tersebut selagi ada manfaatnya, dan ini adalah taṭfīf. Penting untuk diingat bahwa taṭfīf tidak hanya terbatas pada keuangan, taṭfīf juga bisa bersifat spiritual dan emosional.
Kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa Allah berfirman di akhir ayat, “Apakah mereka tidak mengira bahwa mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang dahsyat?” (QS. al-Muṭaffifīn [83] : 4-5)
Allah ingin kita mengingat bahwa kita akan dibangkitkan pada hari yang agung dan Dia akan menjadi hakim, Dia akan memberi ganti rugi kepada orang-orang yang berbuat zalim dan memenuhi hak-hak yang seharusnya diterima oleh orang-orang tersebut. Allah tidak akan menghilangkan hak-hak tersebut karena hak-hak tersebut bukan milik-Nya; Allah dapat mengampuni dosa dan kekurangan yang melibatkan kita dan Dia, namun ketika menyangkut hak-hak orang lain, Dia tidak akan mengampuni atas nama mereka karena Dia telah mengijinkan mereka untuk memaafkan atau hak-hak mereka dipenuhi. Dengan kata lain, satu-satunya hak yang tidak akan dihilangkan oleh Allah pada Hari Kiamat adalah hak yang bukan hak-Nya.
Saya ingin mengakhiri bab ini dengan sebuah Hadis di mana Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa seseorang akan kekurangan satu kebaikan dari apa yang dibutuhkan untuk masuk surga (Jannah), dan dia akan meminta bantuan kepada manusia tetapi tidak ada satu pun yang menawarkan satu kebaikan mereka. Orang-orang akan mengatakan “Nafsī, nafsī!” pada Hari Kiamat, yang berarti mereka hanya akan mengkhawatirkan diri mereka sendiri.
Contoh ini memperjelas pemahaman kita bahwa jika kita melakukan atau memberikan sedikit lebih banyak dari apa yang dibutuhkan di dunia (dunyā), kita tidak akan berada di posisi yang diilustrasikan dalam hadis ini. Kita harus melakukan kebalikan dari taṭfīf, dengan mengambil lebih sedikit dan memberi lebih banyak untuk memastikan bahwa kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang merugikan orang lain di Hari Kiamat.
Semoga Allah melindungi kita dari perbuatan taṭfīf kepada-Nya, keluarga kita, teman-teman kita, masyarakat kita, majikan kita, dan karyawan kita. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman