fbpx
#40HKS Bagian 15 – Membentuk Koalisi Keadilan ; Fiqih Hilful Fudhul

#40HKS Bagian 15 – Membentuk Koalisi Keadilan ; Fiqih Hilful Fudhul

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 15

MEMBENTUK KOALISI KEADILAN – FIQIH HILFUL FUDHUL

 

“Sungguh, aku telah menyaksikan sebuah perjanjian keadilan di rumah Abdullah bin Jud’ān yang lebih aku cintai daripada sekawanan unta merah. Jika aku diajak untuk melakukannya sekarang di masa Islam, aku akan menjawabnya”.

 

PADA MASA Nabi Muhammad ﷺ, seorang pria dari suku Zubaid datang untuk berbisnis di Makkah. Seorang pria lain dari suku Quraisy meminta barang dagangannya dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan memberikan pembayaran pada hari berikutnya. Pengusaha tersebut tidak ragu bahwa ia akan menerima pembayarannya karena orang-orang non-Makkah menghormati dan mempercayai suku Quraisy. Namun, ketika ia pergi untuk mengambil pembayarannya keesokan harinya, orang Quraisy itu menyangkal adanya transaksi tersebut dan menolak untuk membayar.

Pengusaha tersebut menjadi sangat kesal dan khawatir dengan situasi ini dan pergi mengadukan kepada para pemimpin di Makkah tentang orang Quraisy yang telah mengambil barang dagangannya tanpa membayar. Para pemimpin mengabaikannya dan tidak menggubris keluhannya, yang mengakibatkan pengusaha tersebut melepaskan bajunya sebagai tanda putus asa dan pergi berdiri di pintu Ka’bah. Dia kemudian mulai membacakan bait-bait puisi dengan lantang yang ditujukan kepada orang-orang Makkah sebagai bangsa yang bermartabat dan terhormat dan bertanya bagaimana pencurian dan penindasan bisa terjadi di kota ini.

Merasa malu dengan situasi ini, para pemimpin Quraisy mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan situasi tersebut, di antara yang hadir adalah Nabi Muhammad ﷺ dan Abū Bakr h. Dalam pertemuan tersebut, mereka mencapai kesepakatan bahwa mereka akan membela orang-orang yang tertindas tanpa memandang dari suku mana mereka berasal. Lima kabilah menyetujui perjanjian ini, yaitu Banū Hāsyim, Banū Muṭṭalib, Banū Zuhrah, Banū Asad, dan Banū Taym.

Kabilah Banū Umayyah abstain dari perjanjian ini, bahkan mereka adalah salah satu kabilah yang paling memusuhi Nabi ﷺ ketika beliau mulai menyampaikan risalahnya dan sebagian besar dari mereka juga tidak menerima Islam.

Perjanjian Ḥilful-Faḍūl juga dinamai Ḥilf al-Muṭayibīn, atau Perjanjian Orang-orang yang Wangi; mereka mencelupkan tangan mereka ke dalam minyak wangi dan meninggalkan cap di Ka’bah sebagai sumpah bahwa mereka akan berdiri bersama untuk mendukung orang-orang yang tertindas. Siapapun yang teraniaya akan diperjuangkan haknya secara kolektif oleh kelima suku tersebut. Ini merupakan titik balik yang signifikan dalam sikap mereka karena sebelum sumpah ini dibuat, suku-suku di Arab dikenal suka berperang satu sama lain karena alasan yang paling sepele dan peperangan atau permusuhan ini akan berlangsung selama beberapa generasi.

Hadits mengenai hal ini diriwayatkan oleh al-Baihaqī’ dalam as-Sunnan al-Kubrā, di mana Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sungguh, aku telah menyaksikan suatu perjanjian keadilan di rumah Abdullah bin Jud’ān yang lebih aku cintai daripada kawanan unta merah. Jika aku diajak untuk mengadakan pertemuan seperti itu sekarang, aku akan menerimanya”.

Nabi ﷺ di sini mengatakan bahwa jika ada perjanjian serupa, beliau akan menjadi orang pertama yang bergabung. Dan poin penting lainnya yang beliau sebutkan adalah bahwa perjanjian semacam itu lebih dicintai oleh beliau daripada unta merah -aset yang paling berharga bagi bangsa Arab. Rasulullah ﷺ juga menyebutkan bahwa beliau akan terus menegakkan Ḥilful-Muṭayibīn, yang mengindikasikan bahwa Ḥilful-Muṭayibīn masih berlaku ketika beliau mengucapkan hadits di atas. Meskipun banyak dari peserta perjanjian yang tidak masuk Islam, Rasulullah tetap menjunjung tinggi perjanjian tersebut, meskipun mereka menolaknya sebagai nabi, yang penting di sini adalah mereka tetap mempertahankan prinsip-prinsip yang telah disepakati pada saat pertemuan tersebut.

Lebih jauh lagi, menurut mayoritas ulama, pernyataan Nabi ﷺ ini terjadi setelah penaklukan Makkah. Nabi ﷺ kini berada dalam posisi yang jauh lebih kuat, beliau dan para pengikutnya tidak lagi ditindas, namun kaum Muslimin kebingungan mengenai apa yang harus dipegang teguh dan apa yang tidak, sehingga Nabi ﷺ mengklarifikasi hal-hal tersebut untuk umat Islam. Apakah itu mengenai teologi, seperti ritual Ḥaji, karena Ḥaji juga dilakukan pada masa jahiliyah, atau mengenai kontrak sosial seperti bunga (ribā), yang dikutuk dan dihapuskan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam khotbah perpisahannya di Makkah. Fakta bahwa pernyataan ini dibuat pada puncak kekuasaannya membuatnya semakin menarik, karena lebih mungkin untuk menuntut perjanjian semacam itu ketika Anda berada dalam posisi lemah atau tertindas, tetapi beliau menegaskan untuk menegakkan perjanjian tersebut untuk memastikan bahwa setiap orang, baik Muslim maupun bukan, memahami bahwa pelaku kezaliman akan dimintai pertanggungjawaban.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari perjanjian ini, atau Ḥilf al-Faḍūl:

1. Kesepakatan ini memberikan landasan bagi umat Islam untuk menjaga tanggung jawab moral dalam melindungi yang lemah. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk pembelaan terhadap mereka, mengkritik mereka yang berkuasa atau memiliki posisi yang kuat, dan membentuk kelompok-kelompok yang melakukan advokasi terhadap hak-hak sosial.

2. Nabi ﷺ juga mengakui bahwa umat Islam dapat bekerja sama dengan non-Muslim dan menciptakan koalisi semacam itu untuk kepentingan masyarakat luas dan untuk membantu mereka yang lemah dan tertindas. Beliau mengakui bahwa meskipun mungkin ada isu-isu lain dalam masyarakat yang mungkin tidak kita setujui sebagai Muslim, jika orang-orang bersedia untuk bersatu dan berjuang atau bekerja sama untuk tujuan yang mulia, maka umat Islam harus menjadi yang pertama untuk bergabung dalam upaya-upaya tersebut. Kesepakatan seperti Ḥilf al-Faḍūl adalah khusus untuk tujuan yang telah disebutkan, dalam hal ini yaitu menanggulangi penindasan ekonomi, dan bukan termasuk persekutuan umum yang dapat dianggap sebagai pengesahan atas tindakan-tindakan lain yang tidak dapat diterima dalam Islam.

3. Kesepakatan ini juga mengajarkan umat Islam untuk merangkul apa pun dalam rangka kebaikan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ada sebuah ayat indah dalam Al-Qur’an di mana Allah berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al-Mā’idah: 2). Banyak ulama yang mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa kebajikan (al-Birr) merujuk kepada kesejahteraan di dunia, dan ketakwaan (taqwa) merujuk kepada kesejahteraan di akhirat. Baik kita bersatu untuk kesejahteraan manusia di dunia, atau kita bersatu untuk kesejahteraan manusia di akhirat melalui taqwā .

Umat Islam harus melihat segala sesuatu dalam kerangka mencapai al-Birr wa Taqwā , terkadang ada tujuan yang tampaknya adil tetapi telah dibajak oleh agenda jahat, sehingga umat Islam perlu menilai pro dan kontra untuk mencapai tujuan tersebut karena harus dalam kerangka mencapai kebajikan dan ketakwaan, sebagaimana Allah telah dengan jelas memerintahkan kita untuk bekerja sama satu sama lain demi kebaikan semua orang.

4. Kesepakatan ini tidak terbatas pada saat kaum Muslimin berada dalam kondisi minoritas atau dalam posisi lemah, tetapi juga ketika mereka berada dalam posisi berkuasa. Bahkan, kesepakatan ini harus dimulai ketika umat Islam berada dalam posisi berkuasa untuk memastikan bahwa semua Muslim dan non-Muslim memahami pentingnya menegakkan hak-hak orang yang tertindas.

5. Para ulama mengatakan bahwa perjanjian semacam ini tidak terbatas pada komunitas campuran antara non-Muslim dan Muslim, perjanjian semacam ini juga dapat dilakukan di antara komunitas Muslim saja, untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka sendiri atau untuk menegakkan hak-hak di antara mereka sendiri. Contoh dari hal ini adalah para pengurus masjid berkumpul dan memutuskan bahwa prinsip-prinsip tertentu harus ditegakkan, mereka membuat kesepakatan untuk kesejahteraan masyarakat luas, kemudian jika kesepakatan itu dilanggar, mereka dapat secara kolektif meminta pertanggungjawaban dari orang yang melanggar.

6. Para ulama telah mengomentari pernyataan Nabi Muhammad ﷺ berikut ini, “Apakah kalian didukung atau diberi kemenangan oleh Allah kecuali dengan bagaimana kalian memperlakukan orang-orang miskin kalian?” [al-Bukhārī] dengan mengatakan bahwa Nabi ﷺ menjelaskan bahwa berkah (barakah) datang kepada sebuah masyarakat ketika mereka menjunjung tinggi hak-hak masyarakat yang paling lemah.

Penindasan akan menghancurkan masyarakat dengan menghilangkan keberkahan, dan kurangnya pertanggungjawaban akan membuat semua orang menderita. Namun, ketika mereka membentuk perjanjian Ḥilf al-Faḍūl di Makkah, hal itu menyebabkan ledakan ekonomi mereka; orang-orang dari suku dan negara lain tidak ragu-ragu untuk melakukan bisnis di Makkah karena mereka tahu bahwa hak-hak mereka akan ditegakkan. Mereka tidak akan dirugikan. Dan rasa keadilan inilah yang membawa banyak berkah ke dalam transaksi dan ekonomi mereka. Ketika orang-orang bersatu untuk melindungi hak-hak setiap orang, Allah membuka pintu bagi masyarakat tersebut dan mengirimkan banyak berkah terlepas dari apakah mereka Muslim atau non-Muslim.

7. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan pentingnya kesepakatan ini dengan mengatakan bahwa beliau akan bersedia jika diminta untuk membuat kesepakatan serupa. Sebuah peristiwa penting yang menunjukkan penerapan perjanjian ini terjadi sekitar tujuh puluh tahun setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, ketika Gubernur Madinah, Utsman bin Abī Sufyān, menzalimi seorang pria dan menolak untuk mengembalikan uangnya. Melihat hal ini, Ḥusain bin ‘Alī k berkata, “Aku bersumpah demi Allah, jika engkau tidak mengembalikan uangnya, maka aku akan menyerukan Ḥilf al-Faḍūl”. Abdullah bin az-Zubair dan Muhammad bin Ṭalḥah juga mengatakan hal yang sama. Ḥusain adalah keturunan Banū Hāshim, Abdullah adalah keturunan Banū Asad, dan Muhammad berasal dari Banū Zuhrah – ketiga suku tersebut adalah bagian dari perjanjian pada masa Nabi Muhammad ﷺ. Penyebutan Ḥilf al-Faḍūl oleh orang-orang ini membuat Utsman bin Abī Sufyān mengembalikan uangnya.

Nabi ﷺ tidak pernah merasa nyaman dengan praktik-praktik Quraisy, bahkan sebelum beliau diberi kenabian. Beliau selalu bersemangat untuk memperbaiki kondisi masyarakat tersebut dengan cara apa pun yang beliau mampu, dan sebagai Muslim, kita harus memperhatikan hal ini. Sangatlah wajar jika kita merasa jengkel dengan ketidakadilan dalam masyarakat, namun titik awal yang baik adalah menyatukan masyarakat dan bekerja sama untuk mengalahkan kezaliman dan menegakkan keadilan.

Semoga Allah menggunakan kita dan mengizinkan kita untuk menegakkan keadilan baik dalam komunitas Muslim maupun komunitas yang lebih luas. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Komentar