Bagian 23
MENGAPA RIBĀ DILARANG?
Sulaimān bin ‘Amr meriwayatkan dari ayahnya: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda dalam Haji Wada’: “Sesungguhnya, semua riba pada masa jahiliyah telah dihapuskan. Kalian berhak atas modal kalian, janganlah bertransaksi dengan zalim dan kalian juga tidak akan diperlakukan dengan zalim”.
PADA BAB SEBELUMNYA, kita telah membahas topik keserakahan dan ketika kita mulai mengupas lapisan-lapisan ketidakadilan sosial, kita menemukan bahwa sebagian besar ketidakadilan sosial berhubungan dengan keserakahan. Ketidakadilan sosial berasal dari kolam keserakahan, dan kita telah menyentuh elemen spiritualnya di bab sebelumnya. Namun, sekarang, kita dapat beralih ke aspek nyata dari keserakahan, dan salah satu manifestasi terbesarnya adalah rente atau bunga (ribā).
Hadits yang saya pilih untuk memulai pembahasan ini diriwayatkan oleh Sulaimān bin ‘Amr, dari ayahnya: Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda dalam Haji Wada’, “Sesungguhnya, semua klaim riba pada masa jahiliyah telah dihapuskan. Kalian berhak atas modal kalian, janganlah kalian bertransaksi secara zalim dan kalian juga tidak akan diperlakukan secara zalim”. [Muslim]. Khotbah perpisahan Nabi ﷺ berisi banyak panduan etika yang diperlukan agar masyarakat berfungsi dengan baik, dengan yang pertama dan terutama adalah penghapusan rasisme dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial lainnya. Penghapusan riba membawa perubahan besar dalam cara kerja keuangan di dalam komunitas Muslim dan memiliki relevansi yang besar dengan kehidupan kita saat ini karena beberapa alasan seperti:
1. Sulit bagi orang untuk memahami mengapa ada larangan yang ketat terhadap riba ketika masyarakat yang kita tinggali berfungsi berdasarkan bunga. Bagi banyak Muslim, larangan bunga (ribā) tampaknya lebih berbahaya daripada menguntungkan karena mereka percaya bahwa larangan tersebut hanya berlaku bagi Muslim, sementara di masyarakat lain, hal tersebut merupakan hal yang normal.
2. Larangan riba dimaksudkan untuk membebaskan dan memerdekakan, tetapi sayangnya banyak orang merasa bahwa larangan tersebut membatasi dan menghambat mereka. Mereka merasa bahwa larangan tersebut menghalangi mereka untuk mencapai potensi penuh mereka sebagai sebuah bisnis atau sebagai individu.
3. Pertanyaan yang terus muncul adalah mengapa Islam begitu ketat terhadap riba? Mengapa ada ketegasan pada orang yang memberikan bunga? Dapat dimengerti mengapa orang yang mengambil riba dilarang, tetapi mengapa ada aturan yang keras bagi orang yang membutuhkan pinjaman?
4. Kita bersikap reaktif dan tidak proaktif dalam mencoba memahami larangan riba (ribā) sebagai sesuatu yang membawa kebaikan dalam masyarakat dan menciptakan sistem keuangan yang lebih sehat.
Dalam khotbah perpisahan Nabi Muhammad ﷺ, beliau menegaskan bahwa kasus riba pertama yang beliau hapuskan adalah riba yang dilakukan oleh keluarganya, yaitu pamannya, al-‘Abbās. Tindakan ini merupakan kebalikan dari tindakan kaum elit yang merendahkan kaum miskin; beliau memulai dengan keluarganya untuk menunjukkan bahwa tidak ada pengecualian. Pamannya, al-‘Abbās, memiliki banyak transaksi berbunga, ia bisa saja mengatakan bahwa orang-orang harus membayar bunga yang telah disepakati dan kemudian mematuhi penghapusannya, tetapi ia malah menghapusnya saat itu juga. Satu-satunya yang tersisa adalah jumlah modal.
Ketika kita membahas topik riba dan bunga, pertama-tama kita harus memahami hubungan antara keduanya dan keserakahan. Hidup sesuai dengan kemampuan kita adalah bagian utama dari agama kita. Dan pada saat orang dengan mudah dapat membeli melalui kredit dan terjerat dalam kontrak – yang dapat menyebabkan hutang dalam jumlah besar – orang-orang juga semakin tamak dan menginginkan lebih banyak lagi. Rata-rata orang Amerika memiliki utang sekitar lima ribu dolar, karena mereka menginginkan dan membeli di luar kemampuan mereka.
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr [59] ayat 7: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Yang dimaksud di sini adalah bahwa uang tidak dimaksudkan untuk menjadi milik segelintir orang elit sementara yang lain menderita, melainkan uang harus didistribusikan di antara orang-orang miskin dalam masyarakat juga. Rasulullah ﷺ melarang mengambil keuntungan dari pinjaman dengan mengatakan, “Keuntungan itu tergantung pada tanggungan (kemungkinan rugi)”. (Ibnu Majah). Islam melarang konsep menghasilkan uang dari uang, karena hal ini memungkinkan orang kaya untuk menjadi lebih kaya sementara orang miskin menjadi lebih miskin dan terkubur dalam hutang mereka.
Hal lain yang menarik adalah bahwa setelah Allah menyebutkan riba dalam Al Qur’an, Dia juga mengatakan bahwa Dia tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Pernyataan ini memiliki konotasi yang berbeda seperti:
• Allah tidak membebani kita dalam kewajiban agama kita melebihi kemampuan kita. Islam telah membuat kewajiban kita masuk akal dan dapat dicapai sesuai dengan kemampuan kita, dan jika karena suatu alasan kita tidak dapat memenuhi suatu kewajiban, maka ada kelonggaran untuk menyesuaikan dengan kemampuan kita.
• Kita membebani diri kita sendiri dengan merasa terdorong untuk terlibat dalam transaksi berbasis bunga.
Dalam hal memahami dosa riba, riba adalah dosa yang paling diremehkan dari tujuh dosa besar. Nabi Muhammad ﷺ bersabda tentang dosa ini, “Satu dirham yang dimakan seseorang sebagai ribā dengan sengaja lebih buruk di hadapan Allah daripada tiga puluh enam kali berzinā.” (HR. Al-Bukhari). Beliau juga bersabda, “Ribā itu ada tujuh puluh dua macam, yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya.” (HR. Ibnu Majah). Kedua sabda Nabi ini menunjukkan betapa beratnya dosa riba, bahkan lebih berat daripada berzina berkali-kali, dan bahkan disamakan dengan hubungan sedarah. Namun, riba dan bunga telah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat dan tidak dipandang sama dengan dosa-dosa besar lainnya seperti perzinahan dan pembunuhan. Kita harus berhenti dan bertanya pada diri kita sendiri mengapa ribā lebih buruk daripada zinā.
Al-Baghawi berkata, “Pada tingkat masyarakat, ketika ekonomi menjadi lebih kaya karena ribā, orang kaya melakukan lebih banyak tindakan amoral (fāḥisyah) dan orang miskin memanjakan diri dalam kesedihan dan jatuh ke dalam dosa-dosa yang sama.” Orang kaya menikmati dosa-dosa ini karena mereka dapat dengan mudah mengakses hal-hal seperti itu, sementara orang miskin menjadi putus asa dan mencari alternatif yang lebih murah untuk melakukan hal yang sama. Ketidaksetaraan yang disebabkan oleh ribā memaksa orang untuk melakukan hal tersebut; riba menyebabkan lebih banyak kerusakan pada masyarakat daripada dosa-dosa lainnya. Dengan melibatkan diri Anda dalam riba, Anda berkontribusi pada sistem yang memiskinkan dan terus menuntun orang ke arah yang sesat.
Pada ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah, Allah menyebutkan sebuah ayat tentang sedekah, diikuti dengan ayat tentang ribā, dan kemudian ayat lain tentang sedekah dan seterusnya. Allah membuat kontras antara orang yang berinfak dan mendapatkan pahala dengan orang yang terlibat dalam riba dan menguras harta orang lain melalui praktik riba dan hukumannya. Secara sosial, jika orang mendistribusikan sedekah sebagaimana mestinya, orang tidak akan merasa perlu untuk mengambil pinjaman dengan bunga. Jika masyarakat berfungsi dengan baik, mereka yang mampu akan memperhatikan pendidikan atau makanan atau kebutuhan lain dari mereka yang kurang mampu. Sistem harus dibangun sedemikian rupa sehingga mereka yang mampu, harus membantu mereka yang berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, sehingga mereka tidak perlu melibatkan diri dalam pinjaman atau kontrak berbasis bunga.
Pada tingkat individu, orang-orang yang melihat uang sebagai beban akan memberikannya sebagai sedekah secara teratur; mereka ingin melepaskan diri dari uang dan memberikannya kepada mereka yang membutuhkan. Mereka yang melakukan hal tersebut, telah lulus dari ujian yang Allah berikan kepada mereka. Kekayaan adalah ujian yang sangat besar; mereka yang menjadi serakah dan menginginkan lebih banyak akan menimbulkan masalah dalam masyarakat, sementara mereka yang merasa berhutang kepada Allah akan berinfak siang dan malam, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Allah juga menyebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 275: “Orang-orang yang memakan ribā tidak dapat berdiri pada hari kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan yang membuatnya gila”. Ibnu al-‘Abbās k berkata tentang hal ini, “Orang yang memakan riba pada hari kiamat akan berada dalam kondisi seperti orang yang dihajar hingga gila, lalu ia diperintahkan untuk mengambil senjatanya dan bersiap-siap untuk berperang melawan Allah dan Rasulullah ﷺ, dan bahkan orang kafir pun tidak akan mampu berdiri dalam kondisi seperti itu.”
Allah telah melarang riba dan telah memotivasi tindakan sedekah bagi manusia; masyarakat dapat bertahan tanpa ribā tetapi tidak dapat selamat dengannya. Ekonomi global runtuh berulang kali karena didasarkan pada sistem bunga, dan sistem tersebut pasti akan gagal. Ini adalah sistem yang menyebabkan kemiskinan, ketidaksetaraan dan kesenjangan ekonomi yang besar – yang mana Islam datang untuk menyingkirkannya dari masyarakat.
Dalam hal pinjaman, Islam tidak memandangnya sebagai transaksi bisnis, tetapi sebagai amal. Konsep pinjaman dalam Islam adalah meminjamkan uang sebagai sarana amal jika Anda tidak dapat memberikannya. Abdullah bin Umar h mengatakan bahwa ada tiga jenis pinjaman:
1. Ada pinjaman yang Anda pinjamkan karena mengharapkan ridha Allah, sehingga Anda mendapatkan ridha Allah.
2. Ada pinjaman yang anda berikan karena mengharapkan keridhaan teman anda. Orang lain mungkin tidak menyukai Anda sebelumnya, tetapi karena Anda meminjamkan uang kepada mereka, mereka akan menaruh rasa hormat kepada Anda.
3. Jenis pinjaman yang ketiga adalah pinjaman yang di dalamnya Anda mengambil sesuatu yang haram dengan sesuatu yang halal, yaitu ribā. Mengambil keuntungan finansial dari uang yang Anda pinjamkan kepada orang lain adalah jenis pinjaman yang ketiga, yang dilarang dalam Islam.
Ada sebuah peristiwa yang melibatkan Imām Abū Ḥanīfah di mana ia meminjamkan sejumlah uang kepada seseorang, tetapi orang tersebut tidak membayarnya kembali selama beberapa waktu. Suatu hari Abū Ḥanīfah sedang beristirahat dalam perjalanan dan duduk di bawah naungan pohon milik orang tersebut (pohon itu berada di sisi lain dari tembok, tetapi naungannya berada di luar). Tiba-tiba, Abū Ḥanīfah menyadari bahwa pohon itu adalah milik orang yang ia pinjami uang dan mulai khawatir duduk di bawah naungan pohon itu termasuk riba.
Bagaimanapun juga, bukan hanya Islam yang melarang riba – semua agama Abrahamic telah melarangnya. Dalam agama Yahudi, dikatakan dalam Imamat dan Keluaran, “Jika kamu meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, bahkan kepada orang miskin sekalipun, janganlah kamu menjadi kreditur baginya, dan janganlah kamu membebani dia dengan bunga. Dan jika saudaramu miskin dan ia tidak mampu membayar, janganlah kamu mengambil bunga dari padanya, tetapi takutlah kepada Tuhanmu, supaya saudaramu itu dapat hidup bersama-sama dengan kamu”. Dalam kitab Ulangan, dikatakan bahwa bunga dapat dibebankan kepada orang asing tetapi tidak kepada masyarakat Israel. Kitab Talmud mengatakan, bukan hanya kreditur yang mengambil bunga dan melanggar larangan, tetapi juga debitur yang setuju untuk membayar bunga, penjamin yang menjamin utang yang berbunga, para saksi yang menyaksikan pembuatan utang berbunga, dan bahkan juru tulis yang menulis perjanjian. Meskipun larangan ini mirip dengan larangan dalam Islam, namun larangan ini terbatas pada komunitas bangsa Israel.
Thomas Aquinas, seorang Kristen, di sisi lain, dengan sangat terkenal mengatakan, “Mengambil riba atas uang yang dipinjamkan adalah ketidakadilan, karena hal ini berarti menjual sesuatu yang tidak ada, dan ini jelas mengarah pada ketidaksetaraan yang bertentangan dengan keadilan”. Bunga dilarang di Gereja Katolik hingga tahun 1832; mereka akhirnya menyerah pada tekanan dari kaum Protestan setelah Reformasi Protestan pada abad ketujuh belas, yang menafsirkan kembali hukum dan ayat-ayat riba dan mengizinkan orang untuk bertransaksi dengannya.
Para filsuf kuno seperti Aristoteles yang bahkan bukan penganut agama Ibrahimi memandang bunga sebagai transaksi yang rendah. Menghasilkan uang dari uang, atau membiakkan uang dengan metode apa pun yang dapat dipikirkan orang dipandang sebagai hal yang tidak wajar dan salah. Riba dipandang rendah karena pada dasarnya menciptakan perbudakan ekonomi. Orang menjadi terkubur dalam hutang, dan orang kaya menggunakan hal ini untuk semakin memiskinkan orang miskin dan mengisi kantong mereka sendiri.
Secara bahasa, kata ribā berarti bertambah, yang juga sama dengan kata zakāh. Namun, perbedaannya adalah bahwa zakāh adalah peningkatan dengan penyucian, sedangkan ribā tidak memiliki manfaat dan telah dilarang (ḥarām). Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Tidaklah seseorang yang bertransaksi dengan riba dalam jumlah yang banyak (untuk menambah hartanya), melainkan ia akan berakhir dengan sedikit (hartanya akan berkurang)”. Allah akan membuat harta orang yang bertransaksi dengan riba menjadi berkurang, meskipun orang tersebut berusaha menambah hartanya dengan mengambil riba.
Rasulullah ﷺ juga mengetahui bahwa riba akan menyebar karena semua dosa besar menyebar. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan datang suatu masa di mana tidak ada lagi orang yang tidak memakan riba, dan barangsiapa yang tidak memakannya, maka ia akan terkena dampaknya”. (Musnad Ahmad). Bahkan jika kita tidak berurusan dengan bunga secara langsung, kita mungkin masih terlibat di dalamnya tanpa mengetahui dan tanpa menginginkannya. Hal-hal seperti rekening bank atau kartu kredit dapat berarti bahwa kita terlibat dalam bunga dalam kapasitas tertentu.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda, “Allah melaknat orang yang memakan ribā, orang yang memberikannya, orang yang menjadi saksi, dan orang yang menuliskan transaksinya, mereka semua sama dosanya.” [Musnad Ahmad]. Hadits ini mirip dengan kutipan yang saya sebutkan sebelumnya dari Talmud, dan membawa pesan yang sama bahwa sekecil apapun kapasitas seseorang yang terlibat dalam transaksi yang melibatkan bunga, ia akan sama dosanya dengan orang yang memakan bunga. Dengan demikian, ketika kita melihat jangka panjang, kita harus menyadari bahwa kita tidak boleh hanya menjadi produk dari masyarakat kita dan hanya sekedar bertahan hidup, kita harus memperbaiki masyarakat kita. Masyarakat kita harus berkembang secara kolektif; kita tidak boleh mencari alasan untuk membuat bunga dapat diterima. Pada tahun 1990-an, orang-orang terus mendesak para ulama yang tinggal di negara lain untuk mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan membeli rumah dengan KPR konvensional. Ya, memiliki rumah untuk ditinggali adalah sebuah kebutuhan, namun tidak ada upaya kolektif yang dilakukan untuk menciptakan alternatif yang lebih Islami, yang berakibat pada keluarnya fatwa-fatwa semacam itu. Sebagai Muslim, kita tidak ditugaskan untuk mencari jalan keluar hanya untuk diri kita sendiri, tetapi kita harus mencoba dan menciptakan alternatif yang dapat diterima secara Islam. Desakan dapat membuka pintu; semakin banyak umat Islam menuntut alternatif halal, semakin banyak penyedia yang akan dipaksa untuk mematuhi dan menyediakan alternatif ini. Dengan tidak menyerah, kita dapat membantu menciptakan solusi bagi seluruh komunitas Muslim dan memungkinkan solusi model ini menjadi sukses dan berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi pengganti yang realistis dan mudah diakses.
Mantan presiden Nigeria membuat pernyataan yang mendalam di mana ia mengomentari krisis utang mereka dan mengatakan bahwa mereka telah meminjam lima miliar dolar, mereka telah membayar sekitar enam belas miliar dolar, namun mereka masih diberitahu bahwa mereka berutang dua puluh delapan miliar dolar. Dia mengatakan bahwa hal terburuk di dunia adalah bunga berbunga; ketidakadilan para kreditor asing berarti bahwa utang Nigeria tidak akan berakhir. Keserakahan dan keegoisan seperti itu tidak dapat diterima dalam Islam; hal ini bertentangan dengan empati yang ada dalam Islam. Bunga menciptakan uang yang tidak ada dan menenggelamkan bangsa-bangsa ke dalam kemiskinan dan keadaan yang buruk; bunga menciptakan sistem ekonomi yang selalu gagal, dan hanya yang terkaya yang dapat pulih.
Sebuah hadits yang kuat dan mengerikan yang menggambarkan betapa buruknya riba adalah ketika Nabi Muhammad ﷺ menyaksikan neraka dan berkata: “Kami terus berjalan hingga kami tiba di sebuah sungai yang berwarna merah seperti darah. Di sungai ini ada seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya ada seorang pria yang mengumpulkan banyak batu. Perenang itu akan berenang ke pantai, di mana orang itu akan melemparkan batu ke dalam mulutnya yang akan mengirimnya kembali ke tengah sungai, dan dia akan berenang kembali, hanya untuk hal yang sama terjadi berulang kali. Saya bertanya siapakah mereka berdua? Mereka berkata kepadaku, ‘Lanjutkan, lanjutkan”. (HR. Bukhari).
Orang yang sedang berenang di sungai dan dilempari batu, adalah konsumen dari bunga. Setiap kali dia mencoba keluar, dia didorong kembali ke sungai darah dengan batu-batu itu, sama seperti yang terjadi pada orang-orang yang meminjam darinya – mereka mengira bahwa mereka akan terbebas dari utang mereka, tetapi dia menambahnya dengan bunga. Para ahli juga menyebutkan bahwa warna merah melambangkan emas atau kekayaan yang ia tenggelamkan. Pemakan bunga percaya bahwa dia pintar dengan memojokkan atau memaksa orang untuk berhutang dan mengambil keuntungan dari kebutuhan mereka, tetapi dia akan muncul di Hari Penghakiman dalam keadaan sempoyongan seperti orang gila.
Di dunia di mana sangat sulit untuk melihat keadilan, mendengar tentang hal ini saja sudah cukup menentramkan; mengetahui bahwa Allah pada akhirnya akan memberikan keadilan. Semoga Allah melindungi kita dari keterlibatan dalam riba dalam bentuk apa pun, dan semoga Dia mengizinkan kita untuk menyucikan diri kita dari riba, dan juga membersihkan sistem keuangan kita dari riba. Semoga Allah tidak pernah mengizinkan kita untuk berada dalam situasi yang rentan di mana kita merasa terpaksa untuk menghadapinya. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman