fbpx
#40HKS Bagian 6 – Mengucapkan Kebenaran Dihadapan Penguasa Zalim

#40HKS Bagian 6 – Mengucapkan Kebenaran Dihadapan Penguasa Zalim

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 6

MENGUCAPKAN KEBENARAN DIHADAPAN PENGUASA ZALIM

 

Nabi ﷺ bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran (haqq) ketika menghadapi orang yang zalim”.

 

PADA BAB SEBELUMNYA kita telah membahas sebuah hadits di mana Nabi ﷺ memberi tahu Abu Dzar tentang tindakan apa saja yang dapat dilakukan seseorang berdasarkan kapasitasnya untuk mencapai surga. Nabi ﷺ menyebutkan berbagai tingkatan tindakan dan di akhir beliau bersabda bahwa jika kita tidak dapat melakukan tindakan apa pun yang disebutkan sebelumnya, maka kita harus menahan diri dari melakukan segala bentuk keburukan. Hadits ini juga mirip dengan hadits yang lebih terkenal di mana Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa di antara kalian melihat keburukan, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, dan jika ia tidak dapat melakukannya maka dengan lidahnya, dan jika ia tidak dapat melakukannya maka ia membencinya dalam hatinya. Dan itulah iman yang paling lemah”.

Ucapan merupakan sesuatu yang dapat dengan mudah memengaruhi kebaikan atau keburukan; keduanya biasanya berawal dari lidah dan berakhir di lidah. Ada sebuah riwayat yang terkenal dari Luqman Hakim, budak Abessinia, semoga Allah meridhoinya, di mana ia disuruh oleh tuannya untuk memasak bagian terbaik dari seekor kambing dan membawanya kepadanya. Luqman memasak bagian lidah dari kambing tersebut dan membawanya kepada tuannya, setelah itu ia diminta untuk pergi dan memasak bagian terburuk dari kambing dan membawanya kepadanya, dan sekali lagi ia membawa lidah tersebut. Tuannya bertanya mengapa ia membawa lidah pada kedua kesempatan tersebut dan ia menjawab, Ketika lidah digunakan untuk kebaikan, maka ia adalah bagian terbaik dari tubuh. Dan ketika lidah digunakan untuk kejahatan, maka ia adalah bagian terburuk dari tubuh.

Yang dapat kita pelajari dari uraian di atas adalah bahwa lidah kita akan memegang peranan penting dalam menentukan apakah kita akan masuk surga atau neraka. Nabi ﷺ menyebutkan dalam berbagai hadits bahwa kita sering kali tidak menganggap perkataan kita sebagai tindakan. Meremehkan perkataan kita dan dampak yang ditimbulkannya, dapat menyebabkan kita meremehkan keberdosaannya. Jika kita tidak memahami bahaya yang dapat ditimbulkan oleh lidah kita, maka kita menempatkan diri kita dalam posisi sulit yang dapat mengakibatkan hukuman abadi di akhirat.

Hal ini membawa kita kepada hadits yang akan kita bahas dalam bab ini. Hadits ini memiliki dua riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri h:

1. Rasulullah ﷺ bersabda, “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kalimat kebenaran (haqq) di hadapan orang yang zalim.” [Musnad Ahmad]

2. Beliau bersabda, “Perkataan yang adil (‘adl) kepada orang yang zalim adalah jihad yang paling utama.”

Kata kebenaran (ḥaqq) lebih umum daripada kata keadilan (‘adl), dan kita harus melihatnya dalam konteks hadits ini karena kebenaran dapat berarti banyak hal. Riwayat kedua hadits ini membantu kita untuk lebih memahami, kata keadilan adalah jenis kebenaran yang sangat khusus; Nabi ﷺ di sini bermaksud agar kita menggunakan lidah kita untuk menentang penindasan di hadapan seorang tiran.

Hadits-hadits ini dapat dilihat sebagai kebalikan dari hadits yang dibahas dalam bab dua, di mana Nabi ﷺ melihat seorang sahabat memukul budaknya, dan beliau berkata bahwa Allah lebih mampu menyakitimu daripada dirimu. Kita diingatkan bahwa penindasan biasanya berasal dari ilusi kekuasaan yang salah, ketika seseorang lupa bahwa kekuasaan yang sebenarnya ada di tangan Allah. Di sini persamaan telah berubah, jika seseorang mengucapkan kata-kata keadilan kepada penguasa yang menindas, itu menunjukkan bahwa orang yang tidak berdaya mampu berbicara menentang orang yang kuat melalui keyakinannya yang kuat pada kekuatan tertinggi Allah atas semua orang. Dengan memiliki keyakinan bahwa Allah yang bertanggung jawab atas perubahan, seseorang dapat dan harus mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata keadilan di hadapan seorang penindas. Yang penting adalah kita berusaha, Allah akan melakukan sisanya dan Dia tidak akan meminta pertanggungjawaban kita jika penindas tidak mengubah cara-caranya.

Ada berbagai cara untuk menyampaikan kebenaran kepada penindas:

1. Yang pertama adalah memberikan nasihat kepada seseorang yang berwenang bahwa mereka tidak berhak berbuat zalim kepada orang lain. Nasihat tersebut harus berupa pengingatan kepada mereka tentang kesalahan mereka sehingga mereka dapat memperbaikinya. Tujuan akhir di sini bukanlah untuk dirayakan sebagai seseorang yang telah menantang penindas, tetapi untuk membebaskan masyarakat dari penindasan.

2. Cara kedua adalah dengan mengucapkan kata-kata kebenaran sebagai bentuk bantahan untuk mengingatkan para penindas bahwa mereka harus dimintai pertanggungjawaban. Abu Bakar al-Shiddiq h berkata: “Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasulullah ﷺ dan tegurlah aku ketika aku tidak menaati Allah dan Rasulullah ﷺ”. Ia menjelaskan kepada orang-orang bahwa mereka harus mengoreksinya; mereka harus menasihatinya jika mereka melihatnya mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum Islam (Syariah) dan praktik hidup Nabi (Sunnah).

Umar bin Khaṭṭāb h juga berkata: “Janganlah seorang pun di antara kalian melihat aibku (kesalahanku), kecuali ia akan menyingkap aib itu (menegur)”.

Ada pula sejumlah pelajaran lain yang bisa kita ambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id:

Mengapa disebut perjuangan besar (jihād)?

Imam Khattabi berkata bahwa ketika dua orang bertempur di medan perang, mereka umumnya bertempur dengan kekuatan yang sama. Akan tetapi, ketika berbicara kebenaran kepada seorang penindas, itu bukanlah medan yang setara. Sang penindas berada dalam posisi berwenang, dan mampu menyebabkan lebih banyak kerusakan, sementara orang yang menentang penindasan tidak memiliki apa-apa selain keberanian dan iman kepada Allah.

Sekelompok ulama berpendapat bahwa ini adalah bentuk perjuangan terbaik (jihād), karena jika seseorang mampu meluruskan penguasa atau orang yang berwenang, itu akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat sekaligus dan menyelamatkan mereka dari pertumpahan darah dan dampak buruk peperangan.

Sekelompok ulama lain menyebutkan bahwa bentuk perjuangan (jihad) yang paling hebat adalah jihad pribadi atau melawan ego (nafs) kita sendiri. Kelemahan dan ketakutan kita dapat mengalahkan kita karena kurangnya kepercayaan (tawakkul) kepada Allah, dan ini dapat menjadi penyakit hati. Berjuang melawan diri sendiri untuk mengalahkan penyakit ini dianggap sangat tinggi; Nabi ﷺ menyebutnya sebagai perjuangan terbaik (afḍal al-jihād) karena melibatkan perjuangan melawan diri sendiri dan berjuang melawan penindas. Perjuangan ini memiliki kemampuan untuk memberi manfaat pada tingkat individu dan berpotensi pada tingkat masyarakat. Kita mungkin tidak dapat membuat penindas mengubah cara mereka dengan kata-kata kita, tetapi kita dapat menginspirasi orang lain untuk menyuarakan kebenaran dan mereka bisa lebih berhasil. Bersuara juga dapat membuat penguasa saat ini atau penggantinya menyadari bahwa tindakan ketidakadilan mereka akan dikritik dan mereka akan dipertanyakan. Kita mungkin tidak memiliki dampak langsung, tetapi fakta bahwa kita mengatakan kebenaran tetap bermakna dan bermanfaat.

Mengatakan kebenaran kepada mereka yang berkuasa bisa menjadi tidak terpuji jika dilakukan dengan sembrono, atau dengan cara yang tidak bijaksana, atau jika dilakukan dengan maksud untuk dipuji dan dianggap berani.

Hal ini hanya terpuji jika dilakukan dengan niat yang benar dan bermanfaat. Kita harus bersedia mengabaikan diri kita sendiri demi tujuan yang mulia. Dalam hal ini, para ulama juga mengatakan bahwa dalam beberapa situasi, lebih baik diam demi menegakkan keadilan, meskipun kita disebut pengecut dalam prosesnya.

Menenangkan hati rakyat sama pentingnya dengan menenangkan hati penguasa. Sebagaimana ada ulama penguasa (‘ulamā’ al-sulṭān), ada pula ulama rakyat (‘ulamā’ ‘awām). Memilih untuk mengatakan sesuatu demi kenyamanan dan bukan karena kebenarannya menjadi sebuah masalah karena tidak dilakukan dengan niat yang benar.

Hal ini juga bertepatan dengan masalah lain yaitu memilih untuk mengatakan kebenaran secara selektif, yang sebenarnya bisa lebih buruk daripada tidak mengatakannya sama sekali. Memilih untuk mengutuk sesuatu karena kita bisa lolos dari hal itu dan memilih untuk tidak mengutuk masalah lain karena kita berasumsi atau tahu bahwa kita tidak akan bisa lolos dari hal itu, adalah kemunafikan dan lebih baik tidak berbicara sama sekali. Kita harus konsisten dalam mengatakan kebenaran (kalimat al-ḥaqq), jika tidak, maka kita harus diam.

Kita harus menunjukkan kebijaksanaan (ḥikmah) ketika berbicara, kita harus penuh perhitungan dan terkendali dalam berbicara. Kata ḥikmah berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘kendali’, karena kata ini mengharuskan kita untuk mengetahui kapan harus menahan diri. Hikmah adalah mengetahui kapan harus mengatakan sesuatu, bagaimana mengatakannya dan kapan harus menahan diri untuk tidak berbicara sama sekali. Tujuan kita haruslah untuk memajukan kebenaran, bukan diri kita sendiri sebagai juru bicara. Dan hal ini pada akhirnya mengharuskan kita untuk mempertimbangkan aspek-aspek seperti waktu dan tempat untuk memastikan bahwa ucapan kita dapat membantu tujuan yang mulia, alih-alih berbicara dengan cara yang dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Kecerobohan tidak sama dengan keberanian, dan penting untuk membedakan keduanya.

Bersikap ambigu (tidak jelas) dalam menghadapi kezaliman tidaklah dapat diterima dalam kondisi apa pun.

Salah satu contoh nyata dari hal ini adalah al-Hajjaj bin Yusuf yang merupakan penguasa yang zalim. Para sahabat mengambil pendekatan yang berbeda terhadap penindasan yang dilakukan al-Hajjaj. ‘Abdullāh bin az-Zubair h adalah seorang sahabat yang diberkahi yang menerima tahnik (kurma yang dicampur dengan ludah) langsung dari Nabi Muhammad ﷺ ketika masih bayi, ia bersikap agresif terhadap al-Hajjaj. ‘Abdullāh bin az-Zubair memberontak terhadap al-Hajjaj karena ia percaya bahwa akan lebih bermanfaat untuk mengambil sikap fisik terhadapnya.

Akan tetapi, Abdullah bin Umar h memiliki pandangan yang berbeda. Ia tidak bersikap pasif atau ambigu terhadap penindasan tersebut, tetapi ia menggunakan lidahnya untuk secara jelas memanggil dan mengutuk al-Hajjaj terkait penindasan yang dialaminya. Abdullah bin Umar memanggil al-Hajjaj ketika ia sedang berpidato dan berkata, “Wahai musuh Allah, kami tidak ingin mendengar suaramu, kami sudah muak denganmu”. Ia menantangnya secara lisan, di hadapan semua orang, yang mengakibatkan al-Hajjaj meracuninya. Hal ini menunjukkan bahwa al-Hajjaj merasa terancam oleh lidah Abdullah bin Umar sebagaimana ia merasa terancam oleh sikap tindakan fisik Abdullah bin Zubair.

Keduanya mungkin berbeda pendapat mengenai metodologi mereka dalam menentang ketidakadilan, tetapi mereka tidak ambigu tentang pendirian mereka mengenai masalah ketidakadilan. Kita tidak boleh ambigu tentang pendirian kita mengenai masalah penindasan. Rasa takut berperan besar dalam menghentikan banyak orang untuk berbicara menentang penindasan. Mari kita lihat berbagai jenis rasa takut:

  • Bentuk ketakutan terbesar adalah ketakutan akan penganiayaan; tentang hal ini Nabi ﷺ bersabda bahwa bentuk perjuangan (jihad) terbesar adalah mengatakan kebenaran meskipun memiliki ketakutan ini. Pikiran atau ketakutan akan mengalami kekerasan fisik mungkin membuat seseorang berpikir dua kali sebelum berbicara menentang penindas, namun jika mereka tetap berbicara, mereka dapat mengharapkan pahala yang luar biasa di akhirat.
  • Ada pula ketakutan yang lebih subjektif –ketakutan yang melibatkan perasaan kita. Contohnya adalah seseorang mungkin takut diejek orang lain atau kehilangan teman jika ia berkata jujur. Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id yang sangat cocok untuk hal ini: Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah seorang pun di antara kalian merendahkan dirinya sendiri.” Para sahabat bertanya kepadanya, “Bagaimana kita merendahkan diri kita sendiri?” Maka, beliau berkata, “Seseorang melihat sesuatu yang seharusnya ia bicarakan, tetapi ia tidak membicarakannya. Allah akan berkata kepada orang itu pada Hari Pengadilan, “Apa yang menghalangimu untuk membicarakan hal ini dan itu?” Orang itu akan berkata, “Takut kepada manusia.” Dan Allah akan berkata, “Dan aku lebih pantas ditakuti daripada manusia.” [Ibnu Majah]

Kita belajar di sini bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban jika kita tidak mengatakan kebenaran dan menyerukan ketidakadilan karena takut pada orang lain.

Ada pula hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id, dimana Nabi ﷺ bersabda, “Janganlah rasa takut kepada manusia menghalangimu untuk berkata benar jika kamu melihat sesuatu yang patut untuk dikoreksi. Hal itu tidak akan memperpendek umurmu dan tidak akan mengurangi hartamu”. [Musnad Ahmad]

Dalam hadits ini, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa kita harus takut akan akibat mengecewakan Allah daripada takut kepada manusia. Akar penyebab kita gagal menentang penindasan adalah karena kita tidak mempertimbangkan pentingnya dan kekuasaan Allah atas manusia.

Terakhir, dalam hadits lain, Nabi Muhammad ﷺ bersabda kepada Abdullah bin Amr, “Jika umatku sampai pada masa ketika seseorang tidak dapat berkata kepada penindas, ‘Hai penindas,’ maka sebaiknya kamu menjauh dari mereka.” [Ahmad]. Penting untuk dipahami di sini bahwa Nabi ﷺ tidak mengatakan untuk meninggalkan atau menjauh dari Umat Muslim. Melainkan, Nabi ﷺ memberi tahu kita bahwa tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya sehingga masalah mencapai titik di mana seorang Muslim tidak dapat menegur penindas yang terang-terangan, sehingga membiarkan penindas tersebut bebas melakukan tindakan ketidakadilan.

Kami memohon kepada Allah agar melindungi kami, memberikan keberanian di hati kami dan kebenaran di lidah kami. Semoga Allah memberkahi kami dengan ketulusan untuk menyampaikan kebenaran di waktu dan dengan cara yang paling diridhai-Nya. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Komentar