Bagian 13
PENGACARA KORUP & KEADILAN YANG TIDAK DITEGAKKAN
Abū Umāmah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Al-Ḥayā‘ dan Al-’Iyy adalah dua cabang dari keimanan, dan Al-Badzā’ dan Al-Bayān adalah dua cabang dari kemunafikan.”.
SEBELUM melanjutkan pembahasan tentang hadist dalam bab ini, saya ingin memberikan pengantar tentang topik bab ini. Pada bab sebelumnya, kita telah membahas tentang penipuan dan perlu dicatat bahwa beberapa orang lebih pandai menipu daripada yang lain. Ini adalah skenario yang sama ketika dua orang memperdebatkan kasus mereka, dan pihak yang salah memberikan argumen yang lebih baik dalam memperdebatkan kasusnya dan mengambil apa yang bukan haknya. Atau, mungkin ada sengketa publik dan satu orang membuat pernyataan yang tidak benar atau memberikan kesan yang salah, yang menyebabkan penderitaan orang lain yang telah dirugikan.
Dalam Ṣaḥīḥ Muslim, ada bab yang membahas tentang menilai berdasarkan penampilan. Ini pada dasarnya berarti bahwa siapa pun yang membuat keputusan pasti akan membuat keputusan berdasarkan apa yang tampak bagi mereka, namun beberapa orang akan memberikan argumen yang lebih baik dalam mengemukakan dalil-dalil mereka. Salah satu hadits tentang hal ini diriwayatkan oleh Ummu Salamah, istri Rasulullah ﷺ, yang berkata: Nabi ﷺ bersabda, “Kalian membawa perselisihan kalian kepadaku, dan beberapa dari kalian mungkin lebih baik dalam berargumen daripada yang lain, maka aku memutuskan menurut apa yang kudengar dari mereka. Ingatlah, dalam keputusanku, jika aku memberikan sebuah potongan dari hak saudaranya, janganlah ia menerimanya, karena aku telah memberikan potongan dari neraka untuknya”. [Abū Dāwūd]
Apa yang kita pelajari dari hal ini adalah siapa pun yang menipu hakim atau masyarakat, ketika keputusan sedang dibuat, mereka mengambil bagian dari neraka. Jika Anda berada dalam posisi yang menguntungkan, jangan mengambil sesuatu yang bukan hak Anda.
Ada juga sebuah kisah hebat lainnya tentang Nabi ﷺ dan penduduk Madinah. Dua orang pria datang kepada Rasulullah ﷺ dengan perselisihan mengenai warisan yang telah lama tidak terselesaikan. Tak satu pun dari kedua orang itu memiliki bukti yang kuat sehingga Nabi ﷺ berkata kepada mereka, “Kalian berdua telah mengajukan kasus kalian, dan salah satu dari kalian mungkin lebih baik dalam berargumen untuk membela pihaknya, tetapi jangan lakukan itu karena itu akan menjadi bagian kalian di neraka”. Setelah Nabi ﷺ mengucapkan kata-kata ini kepada kedua orang itu, mereka berdua mulai menangis karena takut dan meminta yang lain untuk mengambil semuanya karena mereka menyadari bahwa apa pun dari dunia ini tidak sebanding dengan hukuman akhirat. Sementara mereka bersedia menyerahkan hak mereka karena takut akan hukuman yang lebih besar, Nabi ﷺ menyuruh orang ketiga untuk pergi dan membagi tanah itu secara merata sebisa mungkin, lalu mengundi untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan bagian yang mana. Kemudian beliau kembali kepada kedua orang tersebut dan berkata, Masing-masing dari kalian harus memaafkan yang lain atas perbedaan yang kalian lihat, dan mereka berdua menyetujui keputusan ini.
Oleh karena itu, kita telah diajarkan melalui tindakan Nabi Muhammad ﷺ bahwa kadang-kadang kita mungkin dapat berargumen dengan lebih baik sehingga keadilan mungkin saja tidak ditegakkan di dunia, tetapi keadilan pasti akan ditegakkan di akhirat untuk memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang dilakukan di dunia.
Keadaan pada saat itu sangat berbeda, orang-orang biasanya menjadi pengacara bagi diri mereka sendiri karena mereka mempresentasikan dan memperjuangkan kasus mereka sendiri. Tidak seperti cara kerja sistem saat ini, dimana orang kaya dapat menyewa pengacara yang baik sedangkan untuk orang miskin, pengacaranya ditentukan atau ditunjuk oleh pengadilan, sehingga menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan sejak awal. Orang-orang ditipu sampai-sampai tidak ada gunanya mencari keadilan, karena orang yang mereka hadapi dapat mempengaruhi hakim. Dan hal inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad ﷺ karena pada dasarnya tidak adil.
Kisah indah lainnya yang ingin saya bagikan kepada Anda adalah ketika ‘Alī bin Abī Ṭālib – semoga Allah meridhoinya – menjadi Khalifah. Selama Perang Ṣiffīn, perisai ‘Alī dicuri, dan kemudian ketika ia sedang berjalan di Irak, ia melihat seorang warga Kristen yang membawa perisainya. ‘Alī mendekati orang tersebut dan mengatakan bahwa perisai yang dipegangnya adalah miliknya, yang kemudian dibantah oleh orang tersebut. Ali, sebagai kepala negara, bisa saja mengancam orang tersebut dengan hukuman, tetapi ia berkata, “Mari kita bawa kasus ini ke hakim. Mereka pergi kepada Syuraih bin Ḥārits yang tidak sempat bertemu dengan Rasulullah ﷺ sendiri, tetapi ia sangat dihormati oleh para sahabat karena kemampuannya dalam memutuskan perkara secara adil (Umar bin al-Khaṭṭāb pernah memanggil Syuraih untuk memutuskan suatu perkara, dan Syuraih memutuskan perkara yang bertentangan dengan Umar, Umar menepuk punggungnya dan berkata bahwa inilah mengapa ia menyukai Syuraih – karena ia tidak digoyahkan oleh kekuasaan dan tidak terintimidasi oleh pengaruh).
Ali dan orang Kristen tersebut mendatangi Syuraih, ‘Alī berkata bahwa orang Kristen tersebut telah mengambil perisainya. Syuraih kemudian bertanya kepada Ali, bukti apa yang Anda miliki bahwa itu adalah perisai Anda? ‘Alī menjawab, aku akan memanggil pelayanku dan anakku Ḥasan, mereka berdua akan bersaksi bahwa itu adalah perisaiku. Syuraih berkata bahwa hal ini tidak dapat diterima karena pelayan itu mungkin takut kepada ‘Alī dan bersaksi bahwa perisai itu adalah milik Ali, sementara Ḥasan adalah anaknya dan ia akan berpihak kepada ayahnya. ‘Alī berkata, “Subḥānallāh, apakah engkau akan menolak kesaksian orang yang telah dijamin oleh Nabi ﷺ masuk surga? Syuraih berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ia adalah anakmu, ini adalah konflik kepentingan, aku tidak bisa menerima kesaksian ini. ‘Alī tertawa dan berkata, Syuraih benar. Setelah itu, ia mengatakan kepada orang Kristen tersebut bahwa ia boleh pergi, orang tersebut terkejut dengan perilaku ini, dan berkata, “Perilaku seperti ini hanya bisa diilhami dan diajarkan oleh seorang nabi Allah,” dan kemudian dilanjutkan dengan menyatakan keimanannya (syahadat) dan mengembalikan perisainya kepada ‘Alī. Orang itu mengatakan kepada ‘Alī bahwa ia melihat perisai itu jatuh ketika ia meninggalkan Ṣiffīn dan ia mengambilnya, tetapi ia belum pernah melihat keadilan seperti ini sebelumnya. Ali, semoga Allah meridhainya, kemudian memberikan perisai tersebut kepada orang tersebut sebagai hadiah karena ia baru saja menerima Islam.
Ini hanyalah beberapa contoh dari jenis keadilan yang diilhami oleh Nabi Muhammad ﷺ, dan ini menjadi dasar dari hadits yang akan kita bahas sekarang. Diriwayatkan oleh Abū Umāmah, yang berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Kesopanan atau rasa malu (al-ḥayā’) dan kepolosan (al-‘iyy) adalah dua cabang dari keimanan (īmān), sedangkan berkata-kata vulgar (al-badzā’) dan kelihaian berbicara (al-bayaan) adalah dua cabang dari kemunafikan”. [al-Tirmidzī]
Al-‘Iyy adalah kata yang sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun secara umum berarti sederhana dalam berbicara, lugas, tidak bermain-main dengan kata-kata. Meskipun biasanya digunakan dalam arti merendahkan, dalam hadits ini Nabi Muhammad ﷺ memuji sifat ini karena kesederhanaan dalam bahasa melibatkan kejujuran, dan menjadi pembohong yang buruk adalah salah satu berkah terbaik yang bisa kita dapatkan dari Allah, karena lebih baik kita tertangkap di dunia dengan kebohongan kita daripada menderita karenanya di akhirat.
Sebagai perbandingan, Nabi ﷺ bersabda bahwa kefasihan berbicara adalah salah satu cabang kemunafikan; kefasihan berbicara bisa membuat seseorang memanfaatkan orang lain dan menipu. Namun, fasih berbicara tidak selalu dikaitkan dengan kemunafikan – Nabi Muhammad ﷺ disebut sebagai Mubīn, orang yang berbicara dengan jelas dan fasih. Namun, kita telah melihat sepanjang sejarah dan di zaman modern ini bahwa para politisi khususnya dapat menggunakan kefasihan berbicara untuk menipu orang dan mengambil keuntungan dari massa. Kefasihan berbicara dapat menjadi anugerah atau kutukan tergantung pada bagaimana ia digunakan, dan Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Beberapa ucapan yang fasih sama efektifnya dengan sihir”. [al-Bukhārī]
Hadits ini juga menyebutkan bahwa berkata-kata vulgar adalah cabang dari kemunafikan. Nabi Muhammad ﷺ mengatakan dalam hadits lain bahwa, Seorang mukmin sejati tidak terlibat dalam mengejek, atau sering mengutuk (orang lain), kata-kata yang tidak senonoh atau melecehkan. Beberapa orang mungkin menggunakan ejekan atau bahasa vulgar saat berdebat karena marah atau karena mereka pikir itu akan memvalidasi poin mereka, namun, sebagai orang beriman kita tidak boleh bersikap vulgar dalam berbicara atau bertindak. Ungkapan vulgar atau tidak senonoh adalah kebalikan dari kesopanan, seperti halnya berbicara dengan sederhana adalah kebalikan dari perkataan yang fasih; Rasulullah ﷺ telah menggunakan penyeimbang dari setiap karakteristik untuk memperjelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam Islam.
Ibnu Taimiyyah menulis, “Ḥayā’ (rasa malu) berasal dari ḥayāh (kehidupan), karena orang yang memiliki hati yang hidup adalah orang yang hidup, dan rasa malunya akan menghindarkannya dari ketidaksenonohan – karena kehidupan hati adalah kekebalannya terhadap ketidaksenonohan yang merusak hati.” Ketidaksenonohan bisa sangat berbahaya karena dapat membawa orang kepada kebohongan, penipuan, dan korupsi. Demikian pula, seseorang mungkin dapat berargumen dengan fasih dalam suatu kasus, dan menang, tetapi pada akhirnya itu akan menjadi hukuman baginya karena mengetahui bahwa mereka dapat menggunakan tipu daya, membuat kita tergoda untuk menggunakannya lagi dan lagi.
Ḥakīm bin Ḥizām h meriwayatkan: Rasulullah ﷺ bersabda, “Pembeli dan penjual memiliki hak khiyar (hak pilih) sampai keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan berterus terang, maka jual beli mereka diberkahi. Jika mereka menyembunyikan cacat atau berbohong, maka berkah dari penjualan mereka akan hilang”. [al-Bukhārī & Muslim]. Seseorang mungkin bisa saja memalsukan produk dengan sangat baik, sehingga menipu penjual dan menghilangkan kebaikan (barakah) dari transaksi tersebut.
Contoh dari hal ini dapat ditemukan pada masa hidup Nabi Muhammad ﷺ. Seorang pria Anṣār bernama Basyīr bin Ubairiq telah mencuri perisai dari seorang Muslim. Dia menyembunyikannya di dalam karung tepung dan tepung itu mulai bocor dari karung, membuat jejak ke rumahnya. Ketika Basyīr menyadari hal ini, ia takut bahwa ia akan tertangkap dan melemparkan perisai tersebut ke rumah seorang pria Yahudi bernama Zaid bin al-Samīn, agar ia dituduh melakukan pencurian. Banū Ubairiq datang kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah kejadian itu dan meminta pembelaan terhadap Basyīr, sembari menuduh Zaid mencuri perisai tersebut.
Ketika Rasulullah ﷺ sedang menilai situasi, beliau melihat bahwa di satu sisi ada seorang pria Muslim (yang kemudian ternyata adalah seorang munafik), dan di sisi lain ada seorang pria Yahudi yang tampaknya mencuri perisai karena ditemukan di rumahnya. Rasulullah ﷺ hampir saja menghukum Zaid ketika Allah mewahyukan ayat berikut dalam surah al-Nisā’ [4] ayat 105-112:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat, dan mohonkanlah ampunan kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa, mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah bersama mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. Itulah kamu! Kamu berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi siapa yang akan menentang Allah untuk (membela) mereka pada hari Kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap azab Allah)? Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Dan barang siapa berbuat kesalahan atau dosa, kemudian dia tuduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata.”
Allah menurunkan ayat-ayat ini untuk membela orang Yahudi yang tidak bersalah untuk memperingatkan Nabi ﷺ tentang Basyir yang munafik dan pandai bicara, dan agar tidak terpengaruh oleh tipu dayanya. Meskipun dalam kasus ini keadilan ditegakkan dengan segera, terkadang di dunia ini keadilan tidak ditegakkan dengan segera, mungkin ditunda oleh Allah sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa orang yang lolos dari penipuan semacam itu akan mendapati hal tersebut sebagai kesaksian yang memberatkannya pada Hari Kiamat.
Rasa malu karena Allah akan menjauhkan kita dari berbuat curang dan menipu orang lain dengan menyalahgunakan bakat kefasihan berbicara yang diberikan oleh Allah. Kefasihan berbicara dapat digunakan untuk hal-hal yang baik, seperti menyebarkan firman Allah atau untuk hal-hal yang buruk seperti berbohong dan menipu orang lain demi keuntungan diri sendiri. Beberapa orang menggunakan kefasihan berbicara untuk tujuan-tujuan negatif, misalnya para pelobi tembakau, atau mereka yang bekerja untuk perusahaan farmasi dan asuransi atau para pengamat media yang sebagian besar adalah pendukung korupsi. Bahkan industri gula pun memiliki tingkat korupsi di dalamnya karena mereka dengan licik menyembunyikan beberapa kebenaran; Harvard Business Journal menemukan pada tahun 2015 bahwa industri gula mendanai penelitian tentang bahaya lemak untuk mengalihkan perhatian dari bahaya gula itu sendiri.
Sebuah kisah menarik yang menggambarkan pentingnya mendengar kedua sisi dari sebuah cerita adalah dari masa Qāḍī ‘Iyāḍ yang merupakan seorang hakim agung. Suatu ketika ia didatangi oleh dua orang wanita yang sedang menangis, dan ia mulai mendengarkan keluhan mereka. Setelah mereka menceritakan keluhan mereka, beliau meminta untuk mendengar sisi lain dari cerita tersebut agar dapat memberikan keputusan yang adil. Seorang pria yang hadir pada saat itu bertanya, “Iyyāḍ, tidakkah engkau melihat para wanita ini menangis di depanmu? Mengapa engkau tidak memutuskan perkara ini untuk mereka?” Sang Hakim menjawab bahwa Allah telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang saudara-saudara Yusuf yang kembali kepada ayah mereka Ya’qūb dan menangisi saudara mereka, Yusuf, meskipun mereka telah meninggalkannya dalam keadaan yang paling buruk. Menangis saja bukanlah bukti bahwa seseorang itu jujur, dan bahwa ia tidak dapat membuat keputusan tanpa mendengar kedua belah pihak.
Menarik simpati melalui tindakan seperti menangis dapat mempengaruhi seseorang untuk mendukung mereka bahkan ketika mereka berada dalam kesalahan. Terbawa oleh emosi dalam membuat keputusan akan menghasilkan keputusan yang salah dan Allah menjelaskan hal ini dengan sangat baik dalam Al Qur’an, dalam Surat al-Mā’idah [5] ayat 8: “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa”.
Sebuah ungkapan indah dari Imām al-Syaukani, “Jika orang yang didakwa itu kaya, maka janganlah ia diunggulkan karena kekayaannya, agar dapat mengambil manfaat darinya atau menghindari mudharatnya, sehingga ia tidak perlu didakwa. Dan jika ia miskin, maka ia tidak boleh diistimewakan karena kefakirannya -karena belas kasihan dan kasih sayang kepadanya-, sehingga orang tersebut pun dimenangkan. Keputusan harus diambil secara adil tanpa mengistimewakan seseorang karena status finansial atau status sosialnya.
Saat ini di Amerika kita melihat peningkatan kebrutalan polisi, dan orang-orang yang telah menyaksikannya secara langsung tidak mau berbicara atau menjadi juri karena mereka tidak ingin polisi menyebabkan masalah bagi mereka. Mereka memilih untuk tidak bersaksi karena orang-orang yang berada dalam posisi berkuasa atau berpengaruh menimbulkan rasa takut dalam hati mereka, dan ini tidak adil. Sama tidak adilnya jika kita secara tidak benar memilih seseorang karena belas kasihan terhadap kemiskinan atau kekurangan harta mereka, sehingga menyebabkan penilaian yang tidak adil terhadap seseorang yang mungkin lebih kaya tetapi jujur.
Kita juga harus memastikan bahwa kita tidak akan secara sengaja memutarbalikkan situasi, menggunakan kefasihan atau status atau posisi kita untuk menzalimi seseorang. Kesaksian palsu adalah dosa besar dalam Islam, dan kita harus berhati-hati untuk tidak mengatakan apa pun yang dapat menyebabkan penilaian yang tidak adil terhadap seseorang. Membela pihak yang bersalah dapat mempengaruhi keputusan dan mengakibatkan ketidakadilan, dan saat ini ketika pengacara dibayar dengan jumlah yang sangat besar, mudah untuk jatuh ke dalam perangkap berbohong atau memutarbalikkan fakta demi uang. Orang-orang secara tidak wajar menjadi sasaran dan dibuat menderita di tangan sistem yang zalim dan kejam ini.
Memperdaya orang lain membutuhkan kemampuan untuk menipu, yang berarti bahwa jika dua orang berdebat tentang suatu hal dan salah satu dari mereka lebih pandai berargumen meskipun mereka salah, mereka sebenarnya menipu atau memperdaya orang lain dengan kefasihannya. Jika seorang hakim memenangkan orang yang mahir berbicara, karena ia ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari yang seharusnya, maka ia termasuk orang yang akan memperoleh bagian dari neraka. Seseorang mungkin dapat menyewa pengacara yang lebih baik untuk meningkatkan peluangnya memenangkan sebuah kasus di dunia ini, tapi di akhirat, orang tersebut tidak memiliki siapa-siapa selain dirinya sendiri untuk berdiri di hadapan Allah di persidangan.
Rasa takut kepada Allah (taqwā) harus menguasai diri kita, dan kita tidak boleh membiarkan diri kita mengambil lebih dari apa yang seharusnya kita dapatkan jika kita berada dalam posisi dimana keputusan hakim memberikan kita lebih dari apa yang seharusnya. Keadilan harus diterapkan kepada semua orang secara adil; berada dalam posisi yang diuntungkan karena kekayaan atau kekuasaan tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang batil.
Semoga Allah mengizinkan kita untuk bersikap adil dalam penilaian kita dan melindungi kita dari mengambil sesuatu melebihi apa yang menjadi hak kita. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman