Penjelasan Hadits: “Aku Diutus dengan Pedang Menjelang Hari Kiamat”
Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam kepada Rasulullah ﷺ. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya:
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya sebuah hadits dari Ibnu Umar k bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diutus menjelang Kiamat dengan membawa pedang sehingga yang disembah hanyalah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan rezekiku dijadikan berada di bawah bayang-bayang tombakku, dan kehinaan serta kerendahan dijadikan bagi orang-orang yang menyelisihi perintahku, dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” [Musnad Imam Ahmad (2/92). Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (15/509) berkata: sanadnya baik].
Hadits ini mengandung hikmah yang agung dan kalimat-kalimat yang bermanfaat yang harus direnungkan dan dipertimbangkan. Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali telah menjelaskannya dalam sebuah risalah kecil yang saya rangkum dalam kata ini:
Sabda beliau ﷺ: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari Kiamat”, maksudnya adalah bahwa Allah mengutus beliau untuk menyeru kepada tauhid dengan pedang setelah sebelumnya menyeru dengan hujjah (argumen), maka barangsiapa yang tidak menerima seruan tauhid dengan Al-Qur`ān, hujjah, dan penjelasan, maka ia akan diseru dengan pedang, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa.” (QS. al-Hadid [57] : 25). Dan pada ucapan nabi tersebut juga terdapat isyarat akan dekatnya jarak diutusnya beliau dengan terjadinya kiamat.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Anas h, bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Aku diutus sedangkan jarak antara aku dan kiamat seperti kedua jari ini.” Anas berkata, “Beliau menyatukan jari telunjuk dan jari tengah.” (HR. Bukhari no. 6504 dan Muslim no. 2951).
Sabda beliau ﷺ: “Sehingga yang disembah hanyalah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya“. Ini adalah tujuan terbesar dari diutusnya beliau ﷺ dan para rasul sebelumnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, “bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku!”.” (QS. Al-Anbiya [21] : 25), dan firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut”.” (QS. An-Nahl [16] : 36). Bahkan inilah tujuan diciptakannya makhluk dan keberadaan mereka, sebagaimana firman Allah: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat [51] : 56). Maka tidaklah Allah menciptakan mereka melainkan dengan memerintahkan mereka untuk menyembah-Nya, dan Allah telah mengambil janji dari mereka akan hal itu ketika Dia mengeluarkan mereka dari sulbi Adam, sebagaimana firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”. …” (QS. Al-A’raf [7] : 172).
Sabda beliau ﷺ: “Rezekiku dijadikan berada di bawah bayangan tombakku”. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak mengutusnya untuk bekerja mencari dunia, mengumpulkan dan menimbunnya, atau berusaha mencari sebab-sebabnya, tetapi Allah mengutusnya sebagai dai yang mendakwahkan tauhid dengan pedang, dan perlu baginya untuk membunuh musuh-musuhnya yang tidak mau menerima seruan tauhid, merampas harta benda mereka, dan menawan wanita-wanita serta anak-anak mereka. Maka rezeki (penghasilan) beliau adalah apa yang telah Allah berikan kepadanya yang berasal dari harta benda yang dirampas dari musuh-musuhnya. Karena sesungguhnya harta benda itu Allah ciptakan bagi anak Adam hanya untuk membantunya dalam ibadah dan keta’atan kepada Allah. Maka siapa yang memakai hartanya untuk berbuat kufur dan syirik kepada Allah, maka Allah akan menjadikannya dikalahkan oleh Rasul dan para pengikutnya, mereka akan merampas harta itu darinya dan mengembalikan harta itu kepada yang lebih berhak, yaitu para ahli tauhid, ahli ibadah dan orang-orang yang ta’at kepada-Nya. Dan karena itulah harta semacam ini disebut fai’ (artinya kembali) karena statusnya kembali kepada yang lebih berhak, yang karenanya harta itu diciptakan.
Allah berfirman, “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu, sebagai makanan yang halal lagi baik” (Al-Anfal [8] : 69), dan ini adalah salah satu hal yang dikhususkan Allah untuk Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, yaitu Allah menghalalkan ghanimah bagi mereka.
Sabda beliau ﷺ: “Dan kehinaan serta kerendahan dijadikan bagi orang-orang yang menyelisihi perintahku“. Hal ini menunjukkan bahwa kemuliaan dan ketinggian di dunia dan akhirat adalah karena mengikuti perintah Rasulullah ﷺ, sebagaimana firman Allah: “Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munafiqun [63] : 8). Allah juga berfirman: “Barangsiapa menghendaki kemuliaan, maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah.” (QS. Fathir [35] : 10). Maka kehinaan dan kerendahan itu terjadi karena menyelisihi perintah Allah. Dan orang-orang yang menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya terbagi menjadi 3 golongan:
Golongan pertama: Orang-orang yang menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya karena tidak beriman, seperti orang-orang kafir dan ahli kitab yang tidak mau menaati Rasulullah ﷺ, maka mereka berada dalam kehinaan dan kerendahan. Oleh karena itu Allah memerintahkan untuk memerangi ahli kitab hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sementara mereka dalam keadaan rendah. Allah juga menimpakan kehinaan dan kemiskinan kepada kaum Yahudi karena kekafiran mereka kepada Rasulullah ﷺ merupakan kekafiran ‘inaad (bebal/keras kepala).
Golongan kedua: Siapa yang meyakini wajibnya menta’ati Allah dan Rasul-Nya, kemudian melanggar perintahnya dengan melakukan maksiat yang ia yakini sebagai maksiat, maka ia mendapatkan porsi/bagian dari kehinaan dan kerendahan.
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Meskipun hentakan kaki bighal-bighal mereka mengeluarkan suara gemerincing dan kuda-kuda mereka berlari kencang, namun kehinaan maksiat tetap tidak terpisah dari hati mereka, Allah sangat ingin untuk menghinakan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya.” Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Ya Allah, muliakanlah kami dengan ketaatan dan janganlah Engkau hinakan kami dengan kemaksiatan”.
Seorang penyair bernama Abul ‘Atahiyah berkata:
“Ketahuilah bahwa ketakwaan adalah kemuliaan dan kehormatan … dan kecintaanmu kepada dunia adalah kehinaan dan penyakit.
Tidak ada kerugian bagi seorang hamba yang bertakwa … jika ia menunaikan ketakwaan, meskipun ia menyembunyikan atau menyamarkannya”.
Golongan ketiga: Mereka yang menyelisihi perintah Allah dan Rasulnya dari kalangan ahli syubhat, mereka itulah ahli bid’ah dan hawa nafsu. Mereka semua mendapatkan porsi kehinaan dan kerendahan sesuai dengan penyelisihan mereka terhadap perintah-Nya, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sembahannya), kelak akan menerima kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebohongan.” (QS. Al-A’raf [7] : 152).
Orang-orang yang sesat dan menyimpang semuanya adalah pendusta atas nama Allah, dan kesesatan mereka diperberat sesuai dengan banyaknya jumlah kedustaan mereka atas nama Allah. Firman Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS. An-Nur [24] : 63).
Ibnu Rajab al-Hanbali r berkata: “Salah satu kehinaan terbesar yang disebabkan oleh menyelisihi perintah Nabi ﷺ adalah meninggalkan jihad melawan musuh-musuh Allah. Barangsiapa yang mengikuti jalan Rasul ﷺ dalam berjihad, maka ia akan mulia, dan barangsiapa yang meninggalkan jihad padahal ia mampu, maka ia akan terhina.”
Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab Sunan nya sebuah hadits dari Ibnu Umar k, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila kalian mulai sibuk berbisnis, hobi dengan beternak, senang dengan cocok tanam, serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, yang tidak akan dihapuskan sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Fatawa (29/30): Sanadnya baik).
Nabi ﷺ melihat alat pembajak, lalu bersabda, “Tidaklah alat itu masuk ke dalam rumah suatu kaum, kecuali kehinaan akan masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari, no. 2321)… Barangsiapa yang meninggalkan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ berupa jihad padahal dia mampu, dan dia malah sibuk mengumpulkan dunia meskipun dengan cara yang mubah, maka dia akan ditimpa kehinaan. Maka apatah lagi kalau dia meninggalkan jihad karena sibuk mengumpulkan dunia dengan cara yang haram?” (Syarah Hadits Yatba’ul Mayyita Tsalatsatun Ibnu Rajab al-Hanbali).
Sabda beliau: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” Kalimat ini menunjukkan kepada dua hal:
Pertama: Menyerupai orang-orang buruk, seperti orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat. Allah telah mencela orang-orang yang menyerupai mereka dalam sebagian keburukan mereka. Allah berfirman: “Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya.” (QS. At-Taubah [9] : 69).
Nabi ﷺ melarang menyerupai orang-orang musyrik dan ahli kitab, beliau melarang shalat di waktu terbit dan terbenamnya matahari, mencukur jenggot, mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan larangan-larangan yang lainnya.
Kedua: Menyerupai orang-orang baik dan bertakwa, hal ini baik dan dianjurkan. Oleh karenanya disyari’atkan untuk meneladani Rasulullah ﷺ dalam perkataan, perbuatan, dan akhlaknya, yang merupakan syarat kecintaan yang hakiki. Karena seseorang akan selalu bersama dengan orang yang dicintainya, dan wajib baginya untuk ikut serta dalam asal-usul perbuatannya, meskipun orang yang dicintainya itu berada di bawah derajatnya.
والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam keatas Nabi kami Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya.
Diterjemahkan dari “Ad-Durar Al-Muntaqaah min Al-Kalimaat Al-Mulaqqaah” oleh Amin Asy-Syaqawi. Kalimat ke-37.