fbpx
Rasa Malu Sebagai Cabang Keimanan dan Kontrol terhadap Perilaku

Rasa Malu Sebagai Cabang Keimanan dan Kontrol terhadap Perilaku

Salah satu sifat yang melekat pada manusia adalah rasa malu. Ia bisa bernilai positif atau negatif tergantung bagaimana penempatannya. Namun secara fitrah, manusia akan merasa malu jika aib/keburukannya diketahui orang lain.

Rasa malu dalam arti positif, seperti malu melakukan keburukan atau malu memperlihatkan aurat merupakan akhlak terpuji, bahkan Rasulullah ﷺ menyebutkan malu sebagai akhlak islam.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ».

Dari Anas dia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki etika, sedangkan akhlak (etika) Islam adalah rasa malu.” [Sunan Ibnu Majah no. 4181].

Merupakan Cabang Keimanan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ».

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Iman adalah tujuh puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah Laa ilaaha illallah. Cabang terendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu salah satu cabang keimanan”. [Shahih Muslim no. 35].

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ﵄، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْآخَرُ».

Dari Ibnu Umar, dia berkata: Nabi ﷺ bersabda, “Malu dan iman saling berbarengan, apabila salah satunya diangkat maka diangkat pula yang lainnya.” [Al-Mustadrak no. 58].

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : «الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ، وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ، وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ».

Dari Abu Bakrah, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Malu adalah bagian dari iman, dan iman (akan memasukkan) ke dalam surga. Kata-kata kotor adalah bagian dari perangai yang kasar, dan perangai yang kasar (akan memasukkan) ke dalam neraka.” [Al-Mustadrak no. 171].

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، عَنْ النَّبِيِّ قَالَ: «الْحَيَاءُ وَالْعِيُّ شُعْبَتَانِ مِنْ الْإِيمَانِ، وَالْبَذَاءُ وَالْبَيَانُ شُعْبَتَانِ مِنْ النِّفَاقِ».

Dari Abu Umamah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Sifat malu dan Al ‘Iyyu adalah dua cabang dari cabang-cabang keimanan. Sedangkan Al Badza` dan Al Bayan adalah dua cabang dari cabang-cabang kemunafikan.”

Abu Isa berkata: Ini adalah hadits Hasan Gharib, kami mengetahuinya hanya dari haditsnya Abu Ghassan Muhammad bin Mutharrif. Ia berkata: Al ‘Iyy adalah sedikit bicara dan Al Badza` adalah kata-kata yang keji, sedangkan Al Bayan adalah banyak bicara seperti para khatib-khatib yang memperpanjang dan menambah-nambahkan isi pembicaraan guna memperoleh pujian publik dalam hal-hal yang tidak diridlai Allah. [Sunan Tirmidzi no. 2027].

Rasulullah ﷺ Memuji Sifat Malu

عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ، قَالَ النَّبِيُّ : «الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ».

‘Imran bin Hushain berkata: Nabi ﷺ bersabda: “Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan.” [Shahih Bukhari no. 6117 ; Shahih Muslim no. 37 ; Musnad Ahmad no. 19830].

عَنْ أَنَسٍ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ : «مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ، وَمَا كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ».

Dari Anas ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah sifat buruk berada dalam sesuatu kecuali akan memperburuknya, dan tidaklah sifat malu ada dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya.” [Sunan Tirmidzi no. 1974].

Rasa Malu Adalah Mahkota Muslimah

Rasa malu yang demikian itu merupakan sifat terpuji bagi seorang muslim, terutama bagi seorang muslimah. Wanita muslimah lebih patut untuk memiliki rasa malu. Simaklah teladan mulia dari kisah putri nabi Syu’aib yang diabadikan di dalam Al-Qur’an:

فَجَآءَتْهُ إِحْدَىٰهُمَا تَمْشِى عَلَى ٱسْتِحْيَآءٍۢ قَالَتْ إِنَّ أَبِى يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا ۚ فَلَمَّا جَآءَهُۥ وَقَصَّ عَلَيْهِ ٱلْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ ۖ نَجَوْتَ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ ٢٥

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (QS. Al-Qashash [28] : 25).

Bahkan pada ayat berikutnya wanita itu mengucapkan perkataan yang hebat;

قَالَتْ إِحْدَىٰهُمَا يَـٰٓأَبَتِ ٱسْتَـْٔجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ ٱسْتَـْٔجَرْتَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْأَمِينُ ٢٦

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Wahai ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (QS. Al-Qashash [28] : 26).

Sang Ayah (Nabi Syu’aib) sangat memahami perkataan putrinya itu, sehingga beliau n berkata kepada Musa;

قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَـٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَـٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ ٢٧

“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS. Al-Qashash [28] : 27).

Itulah bagaimana rasa malu menjadi mahkota dan perhiasan bagi seorang muslimah. Sehingga sepatutnya ia menjaga diri, perilaku dan pergaulannya dengan sebaik-baiknya.

Contoh Teladan Rasa Malu Pada Diri Rasulullah 

عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ : «أَرْبَعٌ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ : الْحَيَاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ».

Dari Abu Ayyub berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Empat hal yang termasuk sunnah para rasul: malu, memakai wewangian, siwak, dan nikah.”

[Diriwayatkan dengan lafazh ini oleh Tirmidzi dalam Sunan no. 1080. Juga diriwayatkan dengan perbedaan urutan oleh Ahmad dalam Musnad no. 23581, Thabrani dalam Mu’jam Kabir no. 4085 dan Baihaqi dalam Syu’ab Iman no. 7719. Didhaifkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Al-Albani.].

Perhatikanlah bagaimana keadaan Rasulullah ﷺ yang diceritakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ﵁ قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، وَكَانَ إِذَا كَرِهَ الشَّيْءَ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ».

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Rasulullah adalah orang yang paling pemalu melebihi malunya seorang gadis yang dipingit dalam kamar, dan apabila beliau membenci sesuatu maka kami dapat mengetahuinya dari raut mukanya.” [Shahih Bukhari no.  6102 ; Shahih Muslim no. 2320 ; Musnad Ahmad no. 11683 & 11862].

Pernah suatu ketika, Rasulullah ﷺ merasa tidak enak menyuruh sejumlah shahabat yang duduk berlama-lama di kediaman beliau agar beranjak pergi. Karena  acara jamuan sudah usai. Saat itu, Rasulullah ﷺ mengundang mereka untuk menghadiri walimah pernikahan beliau dengan Zainab binti Jahsyi ra. Hanya saja, meski acara sudah selesai, sebagian mereka tidak langsung bergegas pulang. Beliau sengaja mondar-mandir keluar masuk rumah sendiri untuk memberi sinyal kepada mereka agar mereka cepat meninggalkan rumah beliau (lihat, Fathul Bari no. 4793). Namun isyarat tersebut belum terpahami. Maka turunlah ayat  53 dari surat al Ahzâb:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)1228, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”. (QS. Al-Ahzab [33] : 53)

1228 Maksudnya, pada masa Rasulullah pernah terjadi orang-orang yang menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah lalu turun ayat ini melarang masuk rumah Rasulullah untuk makan sambil menunggu-nunggu waktu makannya Rasulullah.

Sifat malu Nabi juga ditunjukkan pada peristiwa isra dan mi’raj, beliau ﷺ merasa malu kepada Allah untuk meminta keringanan akan perintah shalat.

Nabi ﷺ bersabda: “Kemudian Allah b mewajibkan kepada ummatku shalat sebanyak lima puluh kali. Maka aku pergi membawa perintah itu hingga aku berjumpa dengan Musa, lalu ia bertanya: ‘Apa yang Allah perintahkan untuk umatmu?’ Aku jawab: ‘Shalat lima puluh kali.’ Lalu dia berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tidak akan sanggup!’ Maka aku kembali dan Allah mengurangi setengahnya. Aku kemudian kembali menemui Musa dan aku katakan bahwa Allah telah mengurangi setengahnya. Tapi ia berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu karena umatmu tidak akan sanggup.’ Lalu aku kembali menemui Allah dan Allah kemudian mengurangi setengahnya lagi.’ Kemudian aku kembali menemui Musa, lalu ia berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, karena umatmu tetap tidak akan sanggup.’ Maka aku kembali menemui Allah Ta’ala, lalu Allah berfirman: ‘Lima ini adalah sebagai pengganti dari lima puluh. Tidak ada lagi perubahan keputusan di sisi-Ku!’ Maka aku kembali menemui Musa dan ia kembali berkata: ‘Kembailah kepada Rabb-Mu!’ Aku katakan: ‘Aku malu kepada Rabb-ku.’ Jibril lantas membawaku hingga sampai di Sidratul Muntaha yang diselimuti dengan warna-warni yang aku tidak tahu benda apakah itu. Kemudian aku dimasukkan ke dalam surga, ternyata di dalamnya banyak kubah-kubah terbuat dari mutiara dan tanahnya dari minyak kesturi.” [Shahih Bukhari no. 349, 3342 & 3887 ; Sunan Nasa’i no. 448]

Demikianlah contoh rasa malu yang bisa kita teladani dari pribadi Rasulullah ﷺ.

Malu Sebagai Kontrol Perilaku

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ : «إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ».

Dari Abu Mas’ud dia berkata: Nabi ﷺ bersabda: “Yang pertama kali diketahui oleh manusia dari perkara kenabian adalah ‘Jika kamu tidak punya rasa malu maka berbuatlah sesukamu’.” (Sahih Bukhari no. 6120 ; Sunan Ibnu Majah no. 4183).

Dalam sebuah wawancara di televisi, seorang purnawirawan jendral yang beragama non muslim mengatakan: “Ketika mendapatkan perintah, saya selalu berfikir apa resikonya. Jika resikonya kematian, saya siap hadapi. Namun jika resikonya adalah malu, saya tidak berani”.

Demikian keadaan orang kafir sekalipun. Mereka tidak beriman dan tidak malu kepada Allah, namun masih memiliki rasa malu kepada manusia. Sehingga jika seseorang tidak memiliki iman, namun ia memiliki rasa malu. Maka hal tersebut cukup baginya sebagai kontrol diri untuk menahannya dari perbuatan tercela.

Wallahu a’lam bish-shawaab.

Komentar