Setelah mengalami persekusi selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah dan kaum muslimin melakukan hijrah ke Yatsrib. Penduduk Yatsrib telah banyak yang memeluk Islam dan mereka berjanji siap melindungi Rasulullah. Kaum muslimin Makkah berangkat lebih dahulu sementara Rasulullah masih menunggu izin dari Allah. Setelah menerima izin dari Allah, Rasulullah berangkat hijrah ke Yatsrib ditemani oleh sahabatnya yang paling dekat; Abu Bakar.
Selama berhari-hari para penduduk Yatsrib yang beriman, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar menunggu-nunggu Rasulullah dengan harap-harap cemas. Mereka beramai-ramai pergi ke pinggiran kota Yatsrib di arah kedatangan Rasulullah. Semakin hari rasa rindu didada mereka semakin menjadi. Hingga akhirnya hari yang dinanti-nanti itupun datang. Rasulullah tiba di Yatsrib diikuti dengan suka cita dan sambutan hangat penduduknya.
Ketika orang-orang menyambut beliau dan mulai ramai berkumpul di sekeliling beliau, salah seorang Bani Israil ikut menghampiri. Ia bernama Abdullah bin Salam, seorang ulama Yahudi dari Bani Qainuqa’. Ia telah mendengar berita tentang diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab yang saat itu hijrah ke kotanya. Semua Ahli Kitab pada masa itu, baik Yahudi maupun Nasrani memang sedang menunggu-nunggu kedatangan seorang Nabi akhir zaman yang telah diramalkan dalam kitab suci mereka. Sebagai seorang Rabi yang mengetahui Taurat, Abdullah bin Salam pun mengetahui dengan pasti ciri-ciri Nabi yang dijanjikan itu. Kemudian ia ikut masuk kedalam kerumunan untuk melihat langsung Rasulullah, ia menuturkan:
فَلَمَّا تَبَيَّنْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ، فَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ سَمِعْتُهُ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ».
“Ketika telah jelas terlihat olehku wajah Rasulullah, maka bisa kuketahui bahwa raut muka beliau bukanlah raut muka seorang pendusta. Maka hal pertama yang aku dengar dari ucapan beliau adalah: ‘Wahai sekalian manusia! Tebarkanlah salam, berilah makanan, sambungkan silaturahim, shalatlah dimalam hari ketika orang-orang sedang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan damai’.” (HR. Ibnu Majah 3251 ; Tirmidzi 2485 ; Ahmad 23784 ; Al-Hakim 4283, 7277).
Pada tulisan ini, mari kita tadabburi hadits Rasulullah yang agung ini. Lalu kita selami sebagian hikmah yang terkandung didalamnya dan mengambil manfaat darinya.
Meski hanya bersumber dari seorang sahabat saja, yaitu Abdullah bin Salam, hadits ini derajatnya shahih berdasarkan penilaian beberapa ulama, diantaranya: At-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Albani, Syu’aib Al-Arna’uth dan Abu Thahir Zubair Ali Zai.
Hadits ini memberitahukan kepada kita tuntunan Rasulullah berupa amalan-amalan yang akan mengantarkan pelakunya ke surga. Yaitu: menebarkan salam, memberi makanan, menyambung silaturahim, dan shalat malam. Terdapat hadits lain dari Abu Hurairah yang menguatkan isi kandungan hadits ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، ﵁ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَنْبِئْنِي عَنْ أَمْرٍ إِذَا أَخَذْتُ بِهِ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: «أَفْشِ السَّلَامَ وَأَطْعِمِ الطَّعَامَ وَصِلِ الْأَرْحَامَ وَقُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ وَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ»
Dari Abu Hurairah ia berkata: Aku berkata (kepada Rasulullah): “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku perkara yang jika aku kerjakan akan membuatku masuk surga”. Maka beliau menjawab: “Tebarkan salam, berikan makanan, sambungkan silaturahim, dirikan shalat malam ketika orang-orang tertidur, maka masuklah ke surga dengan damai”. (HR. Al-Hakim 7174, 7278, ; Ahmad 7932, 8295, 10399 ; Ibnu Hibban 195, 743 ; Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya” (9/59) ; Al-Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” 8374)
Hadits Abu Hurairah diatas semakin menguatkan keutamaan amalan-amalan yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Salam. Bahwa ke-4 amalan yang disebutkan merupakan amalan yang menyebabkan pelakunya masuk surga dengan damai.
Tebarkan Salam
Salam merupakan ucapan yang mengandung nilai penghormatan dan doa kepada sesama muslim. Lafazh salam dalam Islam adalah:
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya dilimpahkan kepadamu”.
Lafazh ini adalah lafazh yang ditetapkan dalam syari’at islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu, redaksi ini juga mengandung doa yang agung. Sehingga tidak sepatutnya seorang muslim mengganti redaksi salamnya dengan ungkapan lain, seperti selamat pagi/siang/sore/malam atau dengan redaksi salam dalam agama lain.
Saling menebarkan salam kepada sesama muslim dapat menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang. Sedangkan rasa cinta sesama muslim meneguhkan keimanan. Dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ».
Dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah bersabda: “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu, apabila kalian mengerjakannya niscaya kalian akan saling menyayangi?; Sebarkanlah salam di antara kalian.“ (Muslim 54)
Berikan Makanan
Rasulullah ﷺ bersabda:
«خِيَارُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَرَدَّ السَّلَامَ»
“Orang terbaik diantara kalian adalah yang memberi makanan dan menjawab salam”. (HR. Ahmad 23926, 23929 ; Thabrani dalam “Makarimul Akhlaq” 156 ; Al-Hakim 7739 ; Abu Nu’aim dalam “Hilyatul Auliya'” (1/153) ; Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” 8565 ; semuanya dari Shuhaib bin Sinan. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Didha’ifkan oleh Syu’aib Al-Arna’uth)
Makanan adalah kebutuhan hidup manusia yang paling pokok. Memberi makanan adalah salah satu bentuk sedekah yang paling sederhana, paling mudah dan paling utama. Memberi makan kepada orang yang lapar memiliki nilai yang besar dalam islam. Karena dengannya ia telah menyelamatkan hidup seseorang. Karenanya ia termasuk amalan yang paling dicintai Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ ﷿ مَنْ أَطْعَمَ مِسْكِينًا مِنْ جُوعٍ، أَوْ دَفَعَ عَنْهُ مَغْرَمًا، أَوْ كَشَفَ عَنْهُ كَرْبًا»
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah memberi makan orang miskin sehingga hilang rasa laparnya, atau melunasi hutangnya, atau meringankan kesusahannya”. (HR. Thabrani dalam “Mu’jam Al-Kabir” 3187 dari Al-Hakam bin Umair)
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
«أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا»
“Amalan yang paling dicintai Allah adalah menyenangkan seorang muslim, atau meringankan kesusahannya, atau melunasi hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya”. HR. Thabrani dalam “Al-Kabir” 13646 dan “Al-Ausath” 6026 dari Ibnu Umar, dan dalam “Ash-Shaghir” 861 dari Umar. Dinilai dha’if oleh Nuruddin Al-Haitsami dalam “Majma’ Az-Zawaa’id” 13708. Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim 7706 dari Ibnu Abbas.
Jika kita lihat kedua riwayat diatas, maka kita akan dapati bahwa perbuatan memberi makan orang lapar disebutkan bersamaan dengan perbuatan lainnya yang juga merupakan amalan yang paling dicintai Allah. Yaitu meringankan kesusahan dan melunasi hutang. Oleh karena itu poin kedua ini, yaitu memberi makan bisa diperluas menjadi memberi bantuan atau sedekah dalam bentuk apapun, tidak terbatas kepada makanan. Penyebutan makanan hanyalah mewakili bentuk sedekah lainnya karena makanan adalah bentuk sedekah yang paling utama.
Sedekah makanan yang paling besar nilai pahalanya adalah sedekah air. Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَيْسَ صَدَقَةٌ أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ مَاءٍ».
“Tidak ada sedekah yang lebih besar pahalanya melebihi sedekah air”. (HR. Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” 3106 didha’ifkan oleh Al-Albani dalam “Dha’if Al-Jami’ush Shaghir” 4890)
Sedekah air atau minuman disebut sebagai sedekah yang paling besar pahalanya karena kebutuhan manusia kepada air melebihi kebutuhannya kepada makanan. Maka janganlah kita meremehkan amalan sekecil apapun karena bisa jadi amalan tersebut ternyata bernilai besar disisi Allah.
Sambung Silaturahim
Silaturahim artinya menyambung ‘rahim’. Dan maksud rahim disini adalah hubungan keluarga atau kekerabatan, karena keluarga/kerabat itu memiliki hubungan darah yang berasal dari rahim yang sama. Silaturahim biasa dilakukan dengan saling mengunjungi antar keluarga, menjenguk, mendukung, hingga memberi bantuan dan hadiah.
Dengan bersilaturahim niscaya akan muncul banyak peluang dan kesempatan baru, juga akan terbuka pintu-pintu rezeki yang sebelumnya tak terbayangkan. Bahkan seringkali silaturahim mengarah kepada terciptanya relasi kemitraan dan perjodohan sehingga terbentuk keluarga-keluarga baru yang semakin memperkuat posisi kabilahnya. Rasulullah bersabda:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ».
“Siapa yang senang dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia bersilaturahim”. Hadits ini diterima dari Anas bin Malik (Bukhari 2067, 5986 ; Muslim 2557 ; Abu Dawud 1693 ; Ahmad 12588, 13585 ; Ibnu Hibban 760), Abu Hurairah (Bukhari 5985), Ibnu Abbas (Thabrani dalam “Al-Kabir” 11822 ; Al-Hakim 7279), Tsauban (Ahmad 22400).
Rasulullah bahkan menganjurkan kita untuk mempelajari nasab atau silsilah keluarga demi mendorong ummatnya untuk menggalakan silaturahim:
«تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ، فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الأَهْلِ، مَثْرَاةٌ فِي المَالِ، مَنْسَأَةٌ فِي الأَثَرِ». -يَعْنِي زِيَادَةً فِي الْعُمُرِ-.
“Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahim karena silaturrahim itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (Tirmidzi 1979 ; Ahmad 8878 ; Thabrani dalam “Al-Kabir” 176)
Lebih dari itu, silaturahim juga merupakan tuntutan keimanan. Rasulullah telah memposisikan silaturahim sebagai bukti realisasi dari keimanan kepada Allah dan hari akhir. Sehingga silaturahim termasuk kedalam salah satu cabang dari cabang-cabang keimanan. Beliau bersabda:
«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ».
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia bersilaturahim. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berbicara yang baik atau diam”. (Bukhari 6138 dari Abu Hurairah)
Kebalikan dari silaturahim adalah qath’u-rahim artinya memutus ‘rahim’. Yaitu memutuskan hubungan kekeluargaan, misalnya dengan cara memutus komunikasi, menghindar atau menjauhi percakapan, bahkan dengan memulai atau melestarikan permusuhan. Hal ini merupakan perbuatan tercela dan dosa yang dibenci Allah. Pelakunya disebut qaathi’ (pemutus) bahkan terancam tidak akan masuk surga. Rasulullah bersabda:
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ».
“Tidak akan masuk surga seorang Qaathi’ (orang yang memutus hubungan kekeluargaan)”. (Bukhari 5984 dari Jubair bin Muth’im)
Qath’u rahim termasuk keburukan (dosa) yang hukumannya disegerakan, sehingga bisa jadi si pemutus hubungan keluarga itu akan menerima hukumannya di dunia sebelum mendapat hukuman di akhirat. Sebagaimana silaturahim juga merupakan kebaikan yang balasannya cepat dirasakan. Rasulullah bersabda:
«أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وَصِلَةُ الرَّحِمِ، وَأَسْرَعُ الشَّرِّ عُقُوبَةً الْبَغْيُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ»
“Kebaikan yang paling cepat ganjarannya adalah perbuatan baik dan silaturahim. Dan keburukan yang paling cepat hukumannya adalah kezaliman dan memutuskan silaturahim”. (HR. Ibnu Majah 4212 dan Thabrani dalam “Al-Ausath” 9383 dari Aisyah ; Baihaqi dalam “Sunan Al-Kubra” 19872 dari Makhul)
Shalat Malam
Yang dimaksud shalat malam adalah shalat sunnah di akhir malam yang biasa dikenal dengan tahajjud. Shalat ini memiliki nilai yang agung disisi Allah. Bagaimana tidak, orang yang mengerjakannya telah mengeluarkan effort yang begitu besar. Ia bangun di sepertiga malam terakhir, melawan rasa ngantuknya dan menundukkan hawa nafsunya untuk berbaring dibalik kehangatan selimut. Ia memilih untuk mengambil air wudhu dan bermunajat kepada Rabb-nya sementara orang lain terlena dengan kenyamanan tempat tidur. Sehingga wajar jika amalan ini begitu istimewa. Allah berfirman:
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِـَٔايَـٰتِنَا ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ ۩ ١٥ تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ ٱلْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًۭا وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ١٦ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّآ أُخْفِىَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ١٧
“Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengannya (ayat-ayat Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, dan mereka tidak menyombongkan diri. Lambung mereka berada jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan”. (QS. As-Sajdah [32] 15-17).
Mereka yang terbiasa melakukan shalat malam sambil beristighfar memohon ampun kepada Allah adalah termasuk kedalam golongan orang-orang yang bertakwa. Dan untuk mereka itulah Allah telah menyediakan pahala berupa kenikmatan surga yang dipenuhi dengan taman-taman dan mata air. Allah berfirman:
إِنَّ ٱلْمُتَّقِينَ فِى جَنَّـٰتٍ وَعُيُونٍ ١٥ ءَاخِذِينَ مَآ ءَاتَىٰهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ ١٦ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ ٱلَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ ١٧ وَبِٱلْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ١٨
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air, mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah)“. (QS. Adz-Dzariyat [51] : 15-18).
Rasulullah bersabda tentang keutamaan qiyamul lail, bahwa shalat malam itu selain bernilai secara ukhrawi juga bermanfaat secara duniawi:
«عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللهِ، وَمَنْهَاةٌ عَنْ الإِثْمِ، وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنِ الجَسَدِ».
“Hendaknya kalian melakukan shalat malam, karena shalat malam adalah keadaan orang-orang shalih sebelum kalian, dan sesungguhnya shalat malam mendekatkan kepada Allah, serta menghalangi dari dosa, menghapus kesalahan, dan mengusir penyakit dari badan“. Hadits ini diterima dari Bilal (HR. Tirmidzi 3549 ; Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” 2823), Abu Umamah (HR. Tirmidzi 3549 ; Ibnu Khuzaimah 1135 ; Thabrani dalam “Al-Kabir” 7466 ; Al-Hakim 1156) dan Salman Al-Farisi (HR. Thabrani dalam “Al-Kabir” 6154 ; Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” 2824).
Waktu akhir malam memiliki keutamaan yang agung, dimana pada saat itu merupakan waktu terdekat antara Rabb dengan hamba, sehingga seorang muslim hendaknya memaksimalkan waktu ini untuk memperbanyak dzikir dan munajat kepada Allah. Doa yang dipanjatkan pada akhir malam tentu akan lebih mustajab. Rasulullah bersabda:
«أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنَ العَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الآخِرِ، فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ»
“Waktu yang paling dekat antara Rabb dengan seorang hamba adalah pada tengah malam terakhir, maka apabila kamu mampu menjadi golongan orang-orang yang berdzikir kepada Allah (shalat) pada waktu itu. lakukanlah!”. Hadits ini diterima dari Amr bin ‘Abasah (Tirmidzi 3579 ; Nasa’i dalam “Sunan Al-Kubra” 1556 ; Ibnu Khuzaimah 1147 ; Al-Hakim 1162)
***
Itulah ke-4 amalan yang menjadi penyebab pelakunya masuk surga. Sekarang mari kita gali hikmah besar yang mungkin luput dari pembahasan para muballigh atau da’i. Jika kita perhatikan dari ke-4 amalan yang disebutkan diatas, lalu kita tadabburi dan renungkan nilai yang tersembunyi dibaliknya, maka kita akan menemukan bahwa 3 dari 4 amalan tersebut merupakan AMALAN SOSIAL. Hanya 1 dari 4 yang merupakan AMALAN SPIRITUAL. Sehingga tidak berlebihan jika kami katakan, bahwa ” ¾ atau 75% kunci surga terdapat pada amalan sosial”.
Bahkan ke-3 amalan sosial itu disebutkan lebih dulu dibandingkan amalan spiritual. Hal ini semakin menegaskan pentingnya keshalihan sosial bagi seorang muslim. Tidak kalah pentingnya dengan keshalihan spiritual. Karena keshalihan spiritual adalah urusan antara dirinya dengan Allah dan tidak banyak berdampak pada kehidupan sosialnya. Orang lain pun tidak bisa menilainya karena sifatnya yang privat. Adapun keshalihan sosial maka hal tersebut merupakan perkara yang berdampak langsung dengan kehidupannya. Selain itu, orang lain pun bisa menilainya dan juga memberikan kesaksian atasnya. Dalam hadits disebutkan:
«هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي الْأَرْضِ».
“Orang yang ini kalian puji dengan kebaikan, maka wajib baginya surga. Sedangkan orang yang satunya lagi kalian cela dengan keburukannya, maka wajib baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di bumi ini”. Hadits ini diterima dari Anas bin Malik (HR. Bukhari 1367, 2642 ; Muslim 949 ; Ahmad 12837, 12938, 13572 ; Tirmidzi 1058 ; Nasa’i 1932 ; Ibnu Hibban 4440, 5038 ; Abu Nu’aim dalam “Hilyah” (6/291) ; Baihaqi dalam “Sunan Al-Kubra” 7185) dan dari Abu Hurairah (HR. Tirmidzi 2384 ; Nasa’i 1933 ; Ibnu Majah 1492 ; Ahmad 10471, 10836 ; Thabrani dalam “Al-Ausath” 2513, 2515)
Selain itu jika kita perhatikan cerita yang disampaikan oleh Abdullah bin Salam diawal tadi, maka kita bisa mengambil hikmah lain lagi. Bahwa hadits ini merupakan PESAN PERTAMA Rasulullah setelah beliau tiba di Yatsrib, yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Hal ini semakin menambah nilai keutamaan hadits ini beserta pesan-pesan yang dikandungnya. Rupanya Rasulullah mengawali pembentukan Kota Madinah itu dengan membina masyarakat didalamnya untuk peduli dengan urusan sosial.
Islam sangat memberikan perhatian dalam hal menjaga hubungan sosial antar masyarakat. Syari’at ini memandang penting terciptanya mu’amalah yang baik. Seorang muslim belum sempurna imannya jika ia belum berakhlak baik. Dan bukan disebut muslim yang baik jika ia masih suka menyakiti atau mengganggu sesama muslim. Bahkan bisa jadi gangguan yang ia lakukan kepada saudara muslimnya menyebabkan ia masuk kedalam neraka.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ﵁، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: «هِيَ فِي النَّارِ»، قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، وَصَلَاتِهَا، وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: «هِيَ فِي الْجَنَّةِ».
Dari Abu Hurairah, ia berkata; ‘Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah; ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ada seorang wanita yang dikenal banyak melakukan shalat sunnah, puasa sunnah, dan banyak bersedekah. Akan tetapi ia menyakiti tetangganya dengan ucapannya’. Rasulullah berkata: “Dia penghuni neraka”. Laki-laki itu berkata lagi; ‘Dan ada juga seorang wanita lainnya dikenal sedikit puasa sunnahnya, shalat sunnahnya dan sedekahnya, ia hanya bersedekah dengan sepotong keju, namun ia tidak menyakiti tetangganya dengan ucapannya’. Rasulullah berkata: “Dia penghuni surga”.’. (HR. Ahmad 9675 ; Bukhari dalam “Adabul Mufrad” 119 ; Ibnu Hibban 4465; Al-Hakim 7305 ; Al-Bazzar 9713 ; Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” 9098)
Hadits diatas mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan mu’amalah dengan orang lain. Selain itu hadits tersebut juga memberikan pelajaran agar kita tidak terlalu mengandalkan amalan ibadah spiritual tanpa memperbagus ibadah sosial. Terlebih lagi hadits ini juga memberitahukan bahwa kezhaliman bisa menghapus amal shalih. Maka hati-hatilah dengan perbuatan zhalim kepada orang lain, jangan sampai kita menjadi orang yang bangkrut di akhirat kelak.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: «أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ، وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ».
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab: ‘Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.’ Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan merampas harta orang lain serta melukai dan memukul orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka”. (HR. Muslim 2581 ; Ahmad 8029, 8414, 8842 ; Tirmidzi 2418 ; Ibnu Hibban 3813, 5100 ; Thabrani dalam “Al-Ausath” 2778 ; Baihaqi dalam “Syuabul Iman” 338)
Oleh karena itu hendaknya seorang muslim berhati-hati dalam bermu’amalah dengan orang lain. Ia mesti menjaga ucapan dan perbuatannya agar tidak menyakiti saudaranya sesama muslim. Jangan sampai amal shalihnya yang selama ini ia kumpulkan di dunia menjadi habis tidak tersisa karena diberikan kepada korban-korban yang pernah ia sakiti. Bahkan bisa dobel kerugiannya karena jika amalannya telah habis duluan sedangkan kezalimannya belum lunas terbayarkan, maka ia akan menanggung dosa-dosa para korbannya. Na’uudzu billaah.
Mari kita senantiasa menjaga lisan dan perbuatan kita dari menyakiti orang lain. Juga kita berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi kezhaliman dengan cara selalu menjaga dan menunaikan hak dan kewajiban sesama manusia; hak suami dan istri, hak orang tua dan anak, hak keluarga/kerabat, hak guru dan murid, hak antara atasan dan bawahan, hak boss dengan karyawannya, hak tetangga, hak teman kerja dan lainnya. Wallaahu a’lam bish-shawaab.