Bagian 10
SEMUA ORANG MELAKUKANNYA
Ḥudzaifah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menjadi ‘yes-man’ dengan mengatakan, “Jika orang-orang berbuat baik maka kami akan berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat maka kami akan berbuat jahat. Sebaliknya, buatlah keputusan sendiri: jika orang-orang berbuat baik, maka kalian akan berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat, maka kalian tidak akan berbuat zalim”.
KITA TIDAK BOLEH terpengaruh oleh orang-orang yang melakukan pelanggaran; kita tidak boleh membiarkan seseorang yang berkarakter buruk mengajari kita cara-cara mereka, dan kita juga tidak boleh menggunakan ketidakadilan mereka terhadap kita sebagai alasan untuk melakukan ketidakadilan terhadap mereka. Nabi ﷺ mengatakan bahwa kita harus memenuhi kepercayaan orang yang mempercayakan sesuatu kepada kita, tidak mengkhianati orang yang mengkhianati kita dan tidak menipu orang yang menipu kita. Gagasan tentang belas kasihan dan toleransi adalah untuk menghentikan seseorang dari merendahkan diri ke derajat orang yang menzaliminya, dan ini adalah salah satu pelajaran paling mendalam yang kita pelajari dari biografi Nabi Muhammad ﷺ.
Hadits yang akan kita bahas dalam bab ini akan menyoroti poin untuk tidak terlibat dalam kesalahan karena orang lain di sekitar kita melakukan kesalahan, dan pada saat yang sama, tidak melakukan kebaikan sementara orang lain di sekitar kita melakukan kebaikan.
Ḥudzaifah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kalian menjadi ‘yes-man’ dengan mengatakan, ‘Jika orang-orang berbuat baik maka kita akan berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat, maka kita akan berbuat jahat’. Sebaliknya, buatlah keputusan sendiri: jika orang-orang berbuat baik, maka kalian akan berbuat baik, dan jika mereka berbuat jahat, maka kalian tidak akan berbuat zalim”. [at-Tirmidzī]
Sebagian besar ketidakadilan yang terjadi di masyarakat disebabkan karena perilaku tersebut telah dinormalisasi dengan konsep ‘semua orang melakukannya’. Sebagai contoh, jika sebuah masyarakat berfungsi dengan suap, maka kemungkinan besar semua orang akan menganggapnya sebagai hal yang normal meskipun hal tersebut tidak diperbolehkan (ḥarām), Nabi Muhammad ﷺ melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. Namun, sangat disayangkan bahwa orang-orang pasrah pada anggapan, ‘jika Anda tidak dapat menghentikan mereka, bergabunglah dengan mereka’. Tindakan ketidakadilan menjadi jauh lebih mudah untuk dibenarkan ketika mayoritas orang terlibat di dalamnya. Salah satu tindakan tersebut adalah kecurangan dalam timbangan (taṭfīf) yang merupakan praktik bisnis korup yang masih dilakukan oleh banyak orang hingga saat ini, sehingga orang lain di sekitar mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan melakukan hal yang sama.
Sebuah contoh dari sejarah baru-baru ini adalah Allen Brooks, seorang pria kulit hitam berusia enam puluh lima tahun dari Dallas, Amerika yang dihukum mati di depan umum pada tahun 1910. Kerumunan orang berkumpul di sekelilingnya dan mengambil foto, yang kemudian digunakan sebagai kartu pos. Ini adalah bagaimana hukuman mati di depan umum telah menjadi hal yang normal di bagian selatan Amerika Serikat; keluarga-keluarga akan keluar dan berpiknik sambil menyaksikan seseorang dihukum mati. Mereka telah kehilangan rasa simpati dan empati terhadap manusia lain dan tidak menganggap penindasan terhadap orang kulit hitam sebagai sebuah ketidakadilan. Hal ini menunjukkan bahwa standar sebuah masyarakat mendikte perilaku orang-orang yang tinggal di dalamnya, menyebabkan kejahatan menjadi normal, dan inilah mengapa Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa hal paling kecil yang dapat kita lakukan adalah membenci tindakan kejahatan di dalam hati kita.
Bahkan jika suatu kejahatan adalah hal yang umum di masyarakat (terlepas dari apakah itu dosa moral atau pelanggaran terhadap orang lain), hati kita tidak boleh merasa nyaman dengannya, dan kita juga tidak boleh menyesuaikan diri dengannya. Mungkin ada sistem yang didasarkan pada bunga (riba) yang membuat orang terjerat hutang, dan dengan demikian membuka jalan bagi lebih banyak masalah seperti bunuh diri atau mencuri; tetapi hal ini tidak mengizinkan kita sebagai Muslim untuk menerimanya atau menjadi bagian darinya. Namun, kebanyakan orang terpengaruh oleh dosa dan kezaliman yang meluas dan akhirnya menyerah dan berkata, ‘Saya harus melakukan ini untuk bertahan hidup’.
Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an dalam Surah al-An’ām [6] ayat 116: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”.
Pesan ini ada dalam keyakinan kita, tetapi juga ditransfer ke dalam praktik kita sehari-hari. Lidah kita dapat dengan mudah menyerah pada pelanggaran; jika orang-orang di sekitar kita terlibat dalam kebohongan atau menggunjing, kita juga dapat jatuh ke dalam perangkap yang sama karena hal itu telah menjadi perilaku yang dinormalisasi.
Imām Ibn Qudāmah r menegaskan hal ini dalam bukunya, Mukhtaṣar Minhāj al-Qāṣidīn: “Dengan seringnya seseorang melihat korupsi, maka ia akan menganggap korupsi sebagai sesuatu yang sepele, dan efek serta dampaknya akan memudar. Dengan demikian, setiap kali seseorang secara teratur melihat orang lain melakukan dosa besar, ia meremehkan dosa-dosa kecil yang ia lakukan sendiri… Demikian pula, jika seorang ulama terlihat mengenakan pakaian sutra atau cincin emas, orang-orang akan secara agresif mencela hal itu. Namun, mereka dapat melihatnya duduk dalam sebuah pertemuan yang panjang di mana ia tidak melakukan apa-apa selain menggunjingkan orang lain, namun mereka tidak tersinggung dengan hal itu. Menggunjing jauh lebih buruk daripada memakai emas, tetapi karena seringnya hal itu disaksikan, hati menjadi kebas (tidak peka) terhadapnya.”
Ini adalah paragraf yang kuat, dengan jelas menyatakan bahwa kita menjadi begitu kebas terhadap dosa-dosa besar karena betapa seringnya dosa-dosa itu dilakukan, sementara kita memperhatikan dan dengan penuh semangat menolak hal-hal yang sepele, atau hal-hal yang meragukan meskipun kita tidak sepenuhnya yakin apakah itu dilarang (ḥarām).
Ibnu Mas’ud h berkata: “Hendaknya kalian membiasakan diri kalian sehingga jika semua orang di muka bumi ini kafir, kalian tetap beriman”. Yang dimaksud di sini adalah bahwa kita harus membiasakan diri kita untuk tidak berpikiran bahwa jika orang lain melakukan sesuatu, kita bebas melakukan hal yang sama. Kita tidak bisa membiarkan orang lain menetapkan standar yang rendah untuk kita, kita harus menetapkan standar dan cita-cita yang lebih tinggi untuk diri kita sendiri dan tidak membiarkan diri kita terbawa oleh apa yang ada di sekitar kita. Kita juga tidak boleh membiarkan diri kita terbiasa melihat orang lain diperlakukan tidak adil, karena hal tersebut menormalkan perilaku tersebut dan memungkinkannya untuk terus terjadi di masyarakat.
Ada satu hadits penting lainnya yang ingin saya sebutkan di sini, di mana Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Berhati-hatilah terhadap dosa-dosa kecil. Bayangkan sekelompok orang yang turun ke sebuah lembah dan mereka masing-masing membawa tongkat. Mereka semua mulai melemparkan tongkat mereka ke dalam api hingga api menjadi sangat besar dan membakar mereka semua”. [Musnad Ahmad]
Beliau menggunakan metafora ini untuk menjelaskan bahwa ketika setiap orang menyumbangkan dosa kecil (dan menganggapnya tidak penting), maka seluruh masyarakat akan menderita sebagai akibatnya.
Ibnu Abbas meriwayatkan: “Tidak ada dosa besar jika kamu memohon ampun untuknya dan tidak ada dosa kecil jika kamu terbiasa untuk melakukannya”. [Tafsīr al-Ṭabarī]. Allah dapat mengampuni dosa-dosa besar jika kamu memohon ampun darinya, tetapi jika kita bersikeras dan mengulangi dosa-dosa kecil, maka dosa tersebut akan menjadi dosa yang lebih besar. Kita tidak boleh menganggap dosa-dosa kecil sebagai sesuatu yang tidak penting, karena dosa-dosa kecil itu akan terus bertambah dan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada satu dosa besar.
Lebih jauh lagi, kita membiarkan kejahatan menjadi hal yang biasa dalam masyarakat dengan membiarkannya terjadi sejak awal. Mengenai hal ini, Al-‘Urs bin ‘Amīr Al-Kindī meriwayatkan dari Nabi ﷺ “Ketika sebuah dosa dilakukan, orang yang melihatnya dan tidak menyetujuinya akan menjadi seperti orang yang tidak hadir, dan orang yang tidak melihatnya namun menyetujuinya akan menjadi seperti orang yang hadir saat dosa itu dilakukan”. [Abū Dāwūd]. Hadits ini menyoroti perlunya mengambil sikap tegas terhadap ketidakadilan dengan setidaknya mengutuknya, sehingga kita tidak membiarkannya dengan cara apa pun.
Abdullah bin Mas’ūd juga meriwayatkan dari Rasulullah ﷺ : “Cacat pertama yang membinasakan Banī Isrā’īl adalah seorang laki-laki bertemu dengan laki-laki lain dan berkata, ‘Wahai Fulan, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang kamu lakukan, karena hal itu tidak halal bagimu’. Kemudian ia bertemu dengan orang tersebut keesokan harinya dan hal itu tidak menghalanginya untuk makan, minum, dan duduk bersamanya. Ketika mereka melakukan hal itu, Allah menyatukan hati mereka satu sama lain”. [Abū Dāwūd & at-Tirmidzī].
Hadits ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengambil sikap tegas terhadap kemungkaran, pengingkarannya tidak serius, dan dia menganggap enteng dosa tersebut. Kita tidak boleh seperti orang ini; sebaliknya, kita harus berdiri teguh melawan ketidakadilan dan tidak membiarkan diri kita menjadi kebas terhadapnya.
Jika dilihat dari sudut pandang fikih, kita mungkin bertanya-tanya apakah diperbolehkan untuk terkadang berpartisipasi dalam sesuatu yang tidak disukai dalam Islam, tetapi telah menjadi hal yang umum dalam masyarakat tempat kita tinggal. Hal ini diperbolehkan; namun, hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu:
1. Pada saat kebutuhan mendesak atau terpaksa.
2. Jika nyawa kita dalam bahaya.
3. Untuk mencegah kejahatan yang lebih besar. Misalnya, Anda mungkin berada dalam posisi di mana Anda harus memilih di antara dua keburukan, dan Anda melakukan keburukan yang lebih kecil.
4. Jika Anda tidak dapat menghindari kejahatan sepenuhnya, maka Anda hanya terlibat di dalamnya sejauh yang diperlukan dan tidak memeluknya dengan antusias. Contohnya adalah bunga (ribā); sebagai Muslim, kita dilarang untuk terlibat langsung dalam riba, tetapi karena tempat tinggal kita, kita mungkin harus terlibat dalam sistem tersebut sampai batas tertentu, suka atau tidak suka.
Ibnu Taimiyyah r juga berkata: “Mendengar tidak sama dengan menyimak”. Artinya, kita tidak memiliki kendali atas apa yang dikatakan, tetapi kita dapat mengendalikan apakah kita memperhatikannya atau tidak dan kita dapat membencinya di dalam hati seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ kepada kita.
Saya ingin menyebutkan di sini sebuah hadits yang sangat menarik yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ tentang sebuah peristiwa yang terjadi sebelum beliau menerima wahyu Al-Qur’an:
Zaid bin ‘Amr bin Nufail tidak pernah menyembah berhala, dia adalah pengikut Ibrahim, semoga berkah Allah atasnya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Aku ingat pernah duduk di sebuah pertemuan dimana mereka makan daging yang dikorbankan untuk berhala dan aku tidak mau mengambil bagian dari daging itu. Ketika mereka menyajikan makanan itu kepada Zaid, ia berdiri dan berkata, ‘Allah menciptakan kalian, memberi rezeki kepada kalian dan hewan-hewan kalian, namun kalian berkorban untuk selain-Nya'”. Nabi ﷺ kagum melihat Zaid menghadapi orang-orang yang berkuasa pada saat itu. Demikian pula, ketika orang-orang Arab melakukan ṭawaf di sekitar Ka’bah, Zaid akan berdiri membelakangi Ka’bah dan berkata, ‘Tak seorang pun dari kalian berada di atas agama Ibrahim’. Dia juga akan menangis dan berkata, ‘Ya Allah, seandainya aku tahu cara terbaik untuk menyembah-Mu, aku akan melakukannya, tetapi aku tidak tahu’. [al-Bukhārī]
Dia meninggal sebelum Muhammad ﷺ menerima kenabian, tetapi dia meninggal sebagai seorang monoteis; dia percaya kepada Allah dan mencari kebenaran. Namun, putra Zaid, Sa’id, menjadi salah satu orang pertama yang menerima Islam dan merupakan salah satu dari sepuluh orang yang dijanjikan surga. Sa’id, semoga Allah meridhainya, bertanya kepada Nabi ﷺ tentang nasib ayahnya, dan Nabi ﷺ menjawab, “Pada Hari Kiamat, Zaid akan berdiri sendiri sebagai sebuah ummat sendiri”. Zaid adalah kebalikan dari seorang ‘yes-man’ – ia tidak peduli dengan norma-norma masyarakat, ia memilih untuk tidak mengambil bagian dalam tindakan kebodohan mereka dan sebaliknya mencari kebenaran dengan tulus dan sungguh-sungguh. Beliau adalah contoh mulia yang harus kita jadikan panutan dalam hal tidak mengikuti apa yang orang lain lakukan di masyarakat tanpa memikirkan kata-kata dan tindakan kita.
Kisah Zaid menunjukkan kepada kita bagaimana tauhid dan fitrah menuntun seseorang kepada keadilan. Ibnu Abbas k berkata bahwa ketika orang-orang Arab pergi menguburkan anak-anak perempuan mereka, Zaid akan pergi menyelamatkan anak-anak perempuan itu dan membawanya ke rumahnya untuk mengasuhnya hingga mereka mencapai usia pernikahan, setelah itu ia akan menikahkan mereka. Zaid melakukan hal ini sebelum Allah mewahyukan bahwa pembunuhan bayi perempuan dilarang (ḥarām) dan tidak adil; ia tahu bahwa praktik ini salah dan ia tidak menerimanya. Dia mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk menghentikan gadis-gadis tak berdosa dikubur hidup-hidup karena dia tidak sesuai dengan norma-norma jahat masyarakatnya, dan Nabi ﷺ memujinya atas perilaku ini.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ḥudzaifah di awal bab ini memberikan jalan bagi banyak peristiwa dan pernyataan yang berbeda yang memungkinkan kita untuk memahami pentingnya untuk tidak mengikuti kezaliman. Salah satu pernyataan yang sangat kuat adalah dari Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Barangsiapa yang membantu orang yang zalim, maka suatu saat ia akan diuji oleh orang yang zalim tersebut”. (Majmū’ Al-Fatāwā). Kita mungkin membiarkan suatu bentuk kezaliman karena hal tersebut bermanfaat bagi kita, namun pada akhirnya hal tersebut akan kembali menghantui kita.
Saya ingin mengakhiri bab ini dengan berbagi cerita indah lainnya dengan Anda yang benar-benar menyentuh pesan dari hadits yang disebutkan di awal bab ini. Diriwayatkan oleh Abdullah bin al-Zubair bin Aslam (Aslam adalah anak dari Umar bin al-Khaṭṭāb, sehingga Abdullah adalah cicit dari Umar): “Aslam berkata, ‘Ketika aku sedang menyamar bersama ‘Umar bin al-Khaṭṭāb di Madinah dalam salah satu patroli malam yang sering dilakukannya untuk mengamati kondisi rakyatnya, kami mendengar seorang pemerah susu yang menolak untuk mematuhi perintah ibunya untuk mengencerkan susu dengan air dan menjual susu yang telah dipalsukan. Ketika ibunya bersikeras bahwa Umar tidak akan mengetahuinya, gadis itu menjawab, “Wahai ibu! Demi Allah! Aku tidak akan pernah menaatinya di depan umum dan mendurhakainya secara pribadi. Karena jika ‘Umar tidak mengetahuinya, Tuhan ‘Umar pasti mengetahuinya!” Mendengar percakapan ini, ‘Umar memberikan instruksi agar pintu rumah mereka diberi tanda dan agar dilakukan penyelidikan tentang siapa mereka dan apakah anak perempuannya sudah menikah atau belum. ‘Āṣim adalah satu-satunya anak laki-laki Umar yang belum menikah pada saat itu.
Keesokan paginya, ‘Umar berkata, ‘Wahai Aslam, lewati rumah itu dan belilah dari gadis itu untuk melihat apakah dia menepati janjinya,’ dan dia pun melakukannya dan menemukan bahwa susu itu tidak tercemar seperti yang telah dia janjikan. Umar memanggil gadis itu dan ibunya ke hadapannya dan menceritakan apa yang telah ia dengar. Sebagai penghargaan, ia mengusulkan untuk menikahkan gadis itu dengan putranya, ‘Āṣim. Ia menerimanya dan dari perkawinan ini lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Layla, yang kelak akan menjadi ibu dari ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz.”
Kita dapat melihat dengan jelas di sini bahwa gadis itu menolak untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain karena dia tahu bahwa Allah mengawasi, dan adalah salah untuk berbuat curang. Kesalehan dan kejujurannya telah memberinya seorang suami yang luar biasa dalam bentuk putra Khalifah. Dia dianugerahi tempat di rumah tangga kepala negara setelah sebelumnya berada dalam keadaan miskin, dan dia juga kemudian menjadi nenek dari kepala negara yang lain. Niat dan perbuatan kita dapat menuai pahala dalam kehidupan kita di dunia, dan tentu saja di akhirat.
Semoga Allah menganugerahi kita ketulusan dan ketakwaan, dan mengizinkan kita untuk menolak keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kejahatan di masyarakat. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman