fbpx
#40HKS Bagian 12 – Siapa yang Menipu, Maka ia Bukan Golongan Kami

#40HKS Bagian 12 – Siapa yang Menipu, Maka ia Bukan Golongan Kami

Seri #40HaditsKeadilanSosial

Bagian 12

SIAPA YANG MENIPU, MAKA IA BUKAN GOLONGAN KAMI

 

Dari Abū Hurairah h ia berkata, Rasulullah ﷺ pernah melewati setumpuk jagung. Beliau memasukkan tangannya ke dalamnya dan jari-jarinya terasa basah. Beliau bertanya kepada pemilik tumpukan jagung tersebut, “Apa ini?”. Dia menjawab: Wahai Rasulullah! Jagung ini telah basah kuyup oleh air hujan. Maka beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas sehingga orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan dari golongan kami”.

 

TEMA dari bab ini mirip dengan bab sebelumnya, karena melibatkan interaksi kita dengan orang lain. Hadits ini diriwayatkan oleh Abū Hurairah h:

Rasulullah ﷺ pernah melewati setumpuk jagung. Beliau memasukkan tangannya ke dalamnya dan jari-jarinya terasa basah. Beliau bertanya kepada pemilik tumpukan jagung tersebut, “Apa ini?”. Pemiliknya menjawab, Wahai Rasulullah! Jagung ini telah basah kuyup oleh air hujan. Nabi berkata, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas sehingga orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan dari golongan kami”. [al-Bukhārī & Muslim]

Dalam versi lain dari hadits ini, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan dariku” (bukan dari umat Rasulullah ﷺ). Ini tidak berarti bahwa mereka bukan Muslim, tetapi ini berarti bahwa mereka tidak berperilaku sebagaimana seharusnya pengikut Rasulullah ﷺ berperilaku.

Ada makna yang mendalam di akhir pernyataan Nabi ﷺ dalam hadits ini; bagaimana mungkin kita bisa mengaku loyal (setia) kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikut Nabi Muhammad ﷺ (umatnya) jika kita menipu atau mencurangi sesama kita sendiri? Kita tidak memiliki kesetiaan sejati kepada umat jika kita menipu mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri kita sendiri.

Hadits lain yang ingin saya sebutkan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah h: Rasulullah ﷺ menceritakan kepada kami bahwa ada seorang laki-laki yang biasa menjual perasan anggur. Ia mengencerkannya dengan air, sehingga menipu orang. Ia menjual araknya di atas kapal yang ditumpanginya bersama sekelompok orang. Suatu hari, seekor monyet mencuri semua uang yang telah ia hasilkan dan naik ke atas dek kapal. Monyet tersebut kemudian melemparkan satu koin ke atas dek kapal dan satu koin lagi ke laut hingga uangnya berkurang menjadi setengahnya. [HR. Ahmad]. Monyet dalam kisah ini digunakan oleh Allah untuk memurnikan harta orang tersebut karena ia telah menipu orang-orang.

Ada banyak kisah lain yang memungkinkan kita untuk memahami betapa seriusnya menipu. Salah satunya adalah kisah yang diriwayatkan oleh al-Ṭabarānī yang mengatakan bahwa Jarīr bin Abdullah al-Bajalī h meminta kepada budaknya yang telah dimerdekakan untuk membelikannya seekor kuda. Maka budak itu membelikannya kuda seharga tiga ratus dirham, lalu budak itu membawa kuda dan pemiliknya kepada Jarīr untuk membayarnya. Jarīr berkata kepada pemilik kuda, “Kuda Anda bernilai lebih dari tiga ratus dirham. Maukah kamu menjualnya dengan harga empat ratus dirham?” Ia menjawab, “Ya, wahai Abū Abdullah”. Kemudian ia berkata, “Kuda Anda bernilai lebih dari empat ratus dirham. Maukah engkau menjualnya dengan harga lima ratus dirham?”. Ia terus menambahnya dengan seratus dirham setiap kali, dan pemiliknya pun setuju, lalu Jarīr berkata bahwa harga kudanya lebih dari itu, hingga mencapai delapan ratus dirham, lalu membelinya dengan harga tersebut. Jarīr lalu berkata tentang hal ini, “Aku telah berbai’at kepada Rasulullah ﷺ bahwa aku akan berlaku adil kepada setiap muslim.”

Jarīr h sebenarnya tidak perlu menaikkan harga kuda tersebut, tetapi ketakwaan, keikhlasan, dan rasa takutnya untuk menipu orang lain membuatnya menaikkan harga. Transaksi tersebut tetap halal seandainya Jarīr membeli kuda tersebut dengan harga tiga ratus dirham, atau bahkan seandainya dia menawar dengan harga yang lebih murah, namun kenyataan bahwa dia membayar dengan harga lima ratus dirham lebih tinggi menunjukkan keseriusannya dalam hal ini.

Patut juga kita ceritakan di sini tiga kejadian yang melibatkan Imām Abū Ḥanīfah r, karena kita dapat mengambil banyak pelajaran darinya. Beliau bukan hanya pendiri salah satu dari empat mazhab hukum (fiqih), beliau juga dikenal sebagai salah satu pedagang yang paling kaya dan jujur di pasar-pasar Madinah.

1. Abū Ḥanīfah pernah didatangi seorang wanita yang ingin menjual sesuatu kepadanya. Ia bertanya berapa harga barang tersebut, dan wanita itu menjawab seratus dirham. Abū Ḥanīfah tidak setuju dan mengatakan bahwa harganya lebih mahal, lalu wanita itu menjawab dua ratus dirham, dan hal ini berlanjut hingga Abū Ḥanīfah memanggil seorang laki-laki dan bertanya kepadanya berapa harga barang tersebut, lalu ia menjawab lima ratus dirham. Abū Ḥanīfah kemudian membeli barang tersebut dengan harga lima ratus dirham.

2. Abū Ḥanīfah tetap berbisnis bahkan setelah ia menjadi seorang ulama, dan ia memiliki seorang mitra yang bernama Ḥafṣ bin Abdurraḥmān. Pada suatu kesempatan, Abū Ḥanīfah melihat ada pakaian yang cacat, maka ia menyuruh Ḥafṣ untuk menunjukkan cacat tersebut kepada calon pembeli sebelum menjualnya. Ḥafṣ lupa melakukan hal ini dan menjual pakaian tersebut kepada seorang pelanggan tanpa menunjukkan cacatnya. Ketika Abū Ḥanīfah kembali, ia melihat bahwa pakaian tersebut telah terjual dan bertanya kepada Ḥafṣ apakah ia telah memberi tahu pelanggan tentang cacat tersebut, dan Ḥafṣ menjawab bahwa ia lupa. Abū Ḥanīfah kemudian bertanya berapa harga yang ia jual, dan kemudian memberikan seluruh keuntungan hari itu untuk disedekahkan dan memutuskan kerja samanya dengan Ḥafṣ. Setelah itu, ia menyuruh anaknya untuk mencari si pembeli dan memberitahukan cacat barang tersebut.

3. Suatu ketika Abū Ḥanīfah meminta putranya, Ḥammād, untuk mengambilkan sebuah barang dari rak untuk seorang pelanggan, dan ketika ia mengambilkan barang tersebut, ia mengucapkan shalawat kepada Nabi, tetapi ia melakukannya dengan cara yang seolah-olah memuji barang tersebut di depan pelanggan. Abū Ḥanīfah mendengar hal ini dan berkata, “Memang shalawat dan salam semoga tercurah kepadanya (Nabi Muhammad), tetapi kamu telah memuji pakaian itu, maka aku tidak akan menjualnya”. Dengan memuji pakaian tersebut, Ḥammād telah meningkatkan nilai pakaian tersebut dan Abū Ḥanīfah tidak ingin mengambil keuntungan dari pelanggan yang mungkin telah dituntun untuk percaya bahwa pakaian itu adalah sesuatu yang istimewa.

Contoh-contoh ini menggambarkan betapa tingginya standar yang ditetapkan Abū Ḥanīfah untuk dirinya sendiri. Dia tidak ingin mengambil risiko melakukan ketidakadilan sekecil apa pun, dan kita harus mencari inspirasi dari hal ini. Ibn Ḥajar mengatakan bahwa menyembunyikan cacat pada suatu barang dan kemudian menjualnya dengan harga yang tidak akan dibayar oleh pembeli seandainya mereka mengetahui cacat tersebut merupakan suatu kezaliman. Menjual barang dengan menyembunyikan cacat merupakan salah satu bentuk penipuan.

Lebih lanjut, Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa “Setiap pengkhianat akan dikenakan suatu panji pada hari kiamat, dan panji tersebut akan tertulis: Ini adalah orang yang mengkhianati si fulan”. [HR. al-Bukhārī]. Pengkhianatan adalah bentuk penipuan dan merupakan sesuatu yang harus kita hindari karena dapat membuat kita kehilangan tempat kita di surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Allah berfirman: Ada tiga orang yang akan Aku lawan pada hari kiamat; seseorang yang memberi janji lalu mengkhianatinya, seseorang yang menjual orang yang merdeka untuk dijadikan budak dan menyimpan uangnya, dan seseorang yang mempekerjakan seseorang, mengambil manfaat dari hasil kerjanya, lalu tidak membayar upahnya.” Ketika kita mengetahui hadits ini, menjadi sangat penting bagi kita untuk tidak melakukan kezaliman ini, bahkan sekecil apapun, jika tidak, kita akan menghadapi risiko Allah akan menuntut kita di Hari Penghakiman.

Ibnu Ḥajar juga mengatakan bahwa jenis penipuan yang paling buruk adalah penipuan yang dilakukan terhadap agama. Ini mungkin tidak terlihat seperti hal yang besar, tetapi bahkan mengucapkan “Wallāhi” tentang sesuatu yang tidak benar adalah bentuk penipuan agama. Imām al-Qurṭubī menulis tentang orang-orang yang berusaha tampil religius di pasar agar orang lain mau berbisnis dengan mereka, padahal pada kenyataannya, mereka tidak religius. Di zaman modern di mana terjadi peningkatan belanja online, penjual dapat dengan mudah menipu pelanggan dengan memberikan penampilan palsu dan meningkatkan peringkat mereka dengan ulasan palsu; jadi mereka tidak hanya menipu dengan menjual produk mereka dengan klaim palsu, mereka juga memberikan penampilan palsu dan membuat diri mereka terlihat sebagai orang yang dapat dipercaya dan sukses.

Hadits penting lainnya yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah h, ia mengatakan: Rasulullah ﷺ bersabda, “Menjelang akhir zaman akan datang orang-orang yang akan menipu dengan agama untuk tujuan-tujuan duniawi, mereka menipu orang-orang dengan berpakaian seperti domba yang lembut, lidah mereka lebih manis dari gula tetapi hati mereka adalah hati serigala. Allah (Yang Maha Perkasa dan Maha Agung) berfirman, ‘Apakah Aku yang kamu tipu ataukah kamu yang bersekongkol untuk menentang-Ku? Aku bersumpah untuk mengirimkan kepada orang-orang ini cobaan (fitnah) yang membuat mereka sama sekali kehilangan akal sehat”. [at-Tirmidzī]

Hadits ini menjelaskan bahwa orang-orang akan menggunakan tindakan atau perbuatan yang terlihat religius untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat materialistis; alih-alih mencari akhirat, mereka akan mencari kehidupan dunia dan menipu orang lain atas nama agama.

Zahr asy-Syahrī menulis sebuah buku yang berjudul al-Ghisysy yang di dalamnya ia membahas berbagai macam bentuk penipuan (ghisysy), beberapa di antaranya akan kita bahas untuk memahami konteksnya secara lebih rinci:

1. Penipuan dalam transaksi bisnis

  • Pedagang yang menjual buah atau sayuran dapat menipu pelanggan dengan meletakkan daun atau kertas di bagian bawah keranjang untuk membuatnya tampak lebih penuh daripada yang sebenarnya, atau mereka dapat meletakkan produk dengan kualitas terbaik di bagian atas untuk membuat pelanggan percaya bahwa semua produk memiliki kualitas yang sama seperti yang mereka lihat di bagian atas.
  • Pedagang mencampur minyak makanan dengan parfum untuk meningkatkan kuantitas dan kemudian menuangkannya ke dalam botol parfum untuk dijual.
  • Beberapa penjual membeli produk (berdasarkan beratnya) dalam kemasan yang ringan dan kemudian mengganti kemasan tersebut dengan kemasan yang lebih tebal dan berat untuk menambah beratnya. Mereka kemudian menjual produk tersebut dengan harga yang lebih tinggi karena berat isi dan pembungkusnya. Selain itu, hal-hal seperti mengganti label dengan label lain atau mengganti kemasan dengan kemasan yang terlihat lebih mahal untuk menciptakan penampilan yang palsu dan membuatnya tampak seperti sesuatu yang lain.
  • Seseorang yang menjual pakaian mungkin melakukan perbaikan ringan pada pakaian yang cacat karena pernah dipakai atau sudah tua. Mereka kemudian menjual pakaian tersebut dengan menyamarkan cacatnya dan tidak memberi tahu pelanggan bahwa pakaian tersebut telah diperbaiki; dengan demikian, mereka menjualnya seolah-olah pakaian tersebut baru.
  • Beberapa pemilik toko menerangi toko mereka dengan warna atau tingkat kecerahan tertentu untuk membuat produk mereka terlihat lebih baik daripada yang sebenarnya, seperti membuat produk yang kasar terlihat lebih halus dan produk yang jelek terlihat menarik.
  • Beberapa pengrajin emas mencampur emas dengan tembaga atau logam lainnya, dan kemudian menjual produk tersebut seolah-olah itu adalah emas murni.
  • Beberapa penjual mengambil produk yang sudah diperbaharui dan menjualnya seolah-olah produk tersebut baru. (Hal ini sangat mudah dilakukan di zaman modern dengan adanya belanja online; penjual dapat membeli barang bekas atau barang rekondisi dan memasarkannya sebagai barang baru tanpa sepengetahuan pelanggan).
  • Beberapa pedagang memutar balik odometer mobil untuk menipu pembeli agar percaya bahwa jarak tempuh mobil tersebut lebih pendek dari yang sebenarnya. Mereka juga dapat mengecat ulang atau menyamarkan area tertentu pada mobil, dan tidak memberi tahu pembeli mengenai kecelakaan atau kerusakan pada mobil sebelumnya.
  • Beberapa orang akan memuji suatu produk secara berlebihan dan bersumpah demi Allah bahwa produk tersebut lebih baik daripada yang sebenarnya dan akan mengarang alasan mengapa mereka menjualnya atau mengapa pelanggan harus membelinya.
  • Beberapa penjual akan melakukan penawaran yang dibuat-buat pada suatu produk untuk menciptakan inflasi buatan pada harga produk tersebut; penjual bisa saja membawa seorang teman ke toko bersama mereka dan menyuruh teman tersebut bertindak seolah-olah dia adalah seorang pelanggan, ketika seorang pelanggan yang sebenarnya masuk, mereka mulai menawar produk yang sama untuk memaksa pelanggan tersebut membelinya.
  • Tukang jagal menggembungkan daging hewan atau menyuruh hewan tersebut minum banyak air sebelum disembelih untuk memberi kesan palsu bahwa hewan tersebut memiliki banyak daging, lalu menjualnya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga sebenarnya.
  • Nabi Muhammad ﷺ melarang semua praktik semacam itu, karena penipuan pada akhirnya bisa menjadi kebiasaan. Memberikan kesan yang salah tentang sesuatu adalah penipuan, baik itu tentang diri kita sendiri sebagai penjual atau produk yang kita jual. Begitu seseorang mulai belajar menipu, ia akan menemukan cara-cara baru untuk menipu orang lain dalam aspek kehidupan lainnya selain bisnis.

2. Penipuan dalam pernikahan

  • Menyembunyikan penyakit atau cacat (seperti fisik) ketika bertemu dengan calon pasangan. Namun, hal ini tidak termasuk masalah rohani yang terjadi di masa lalu, karena kita tidak diwajibkan untuk menceritakan kesalahan atau dosa di masa lalu setelah bertobat dan mengubah cara hidup kita.
  • Menyembunyikan masalah keuangan seperti hutang atau kurangnya pendapatan sebelum menikah; masalah ini harus diungkapkan secara terbuka kepada calon pasangan. Menyembunyikan sesuatu demi mempengaruhi keputusan orang tersebut terhadap Anda dan mendapatkan komitmen mereka adalah penipuan.
  • Sayangnya, beberapa wali tidak berusaha untuk mencari tahu tentang calon pasangan untuk putri mereka. Mereka tidak mencari tahu tentang komitmen agamanya, atau kepribadiannya dan dengan demikian mereka menipu putri mereka sendiri.
  • Beberapa orang mungkin mengetahui bahwa seseorang berlaku kasar terhadap istrinya yang terdahulu, dan tidak memberitahukan kepada calon istri orang tersebut, meskipun mereka datang untuk menanyakannya. Nabi ﷺ sepenuhnya jujur dan menasehati para wanita secara terbuka agar tidak menikah dengan orang yang memiliki kekurangan yang berbahaya dalam karakter mereka.
  • Juga merupakan penipuan ketika seseorang memuji calon pelamar secara berlebihan di depan keluarga yang putrinya ingin dinikahi. Para ulama mengatakan bahwa memuji seseorang dengan cara yang tidak sesuai dengan dirinya (misalnya, menggambarkan orang tersebut sebagai orang yang salat lima waktu dan saleh, padahal kenyataannya tidak) adalah penipuan, dan juga berbahaya karena pernikahan merupakan ikatan suci yang sedang dipertaruhkan. Contohnya bisa dilihat dalam kisah Bilāl bin Rabāḥ h. Seorang laki-laki yang mengaku sebagai saudara Bilāl, karena ikatan nasab, ingin menikahi seorang wanita Arab, dan keluarga mempelai wanita berkata, “Jika kamu membawa Bilāl bersamamu, kami akan merestui pernikahan itu. Bilāl kemudian pergi bersamanya dan berkata, Saya Bilāl bin Rabāḥ dan ini adalah saudaraku, kami dulunya adalah budak dan Allah telah memerdekakan kami. Saudaraku memiliki kekurangan, maka jika engkau ingin menikahkannya, silakan, dan jika engkau tidak ingin menikahkannya, silakan. Bilāl tidak memuji saudaranya secara palsu, tetapi ia mengatakan secara terbuka tentang kekurangannya.
  • Menyembunyikan istri lain atau menikahi istri kedua secara diam-diam adalah penipuan. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa pernikahan harus dipublikasikan, atau dengan kata lain, harus diumumkan dan diketahui oleh masyarakat. Hal ini untuk menghormati hak-hak para istri dan untuk memastikan bahwa tidak ada ruang untuk kerahasiaan, sehingga ada pertanggungjawaban dari pihak suami.

3. Penipuan dalam nasihat yang tulus (nasīḥah) atau keputusan hukum (fatwā)

  • Nabi ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang memberikan pendapat hukum (fatwa) tanpa pengetahuan, maka dosanya ada pada mereka. [Abū Dāwūd]. Beberapa orang tidak suka mengakui bahwa mereka tidak mengetahui sesuatu, mereka akan memberikan pendapat yang salah atau tidak tepat, dan ini adalah bentuk penipuan.
  • Memberikan nasihat yang salah dengan sengaja kepada seseorang juga merupakan bentuk penipuan.
  • Diriwayatkan oleh Abū Hurairah, Nabi ﷺ bersabda: Barangsiapa yang diberi keputusan hukum dalam keadaan tidak tahu, maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberi keputusan tersebut. Sulaimān al-Mahrī menambahkan dalam riwayatnya: Barangsiapa menasihati saudaranya, padahal ia tahu bahwa kebenaran itu ada di sisi yang lain, maka ia telah menipunya.
  • Salah satu contoh penipuan melalui nasihat adalah Maimūn bin Mihrān yang mengatakan bahwa ia bermaksud untuk menikahi seorang wanita, lalu ia meminta nasihat dari seorang teman tentang wanita tersebut. Temannya menjawab Maimūn dengan mengatakan bahwa wanita itu tidak cocok karena dia pernah melihat wanita itu mencium seorang pria. Maimūn menerima saran tersebut, namun kemudian ia mengetahui bahwa temannya itu telah menikahi wanita tersebut. Dia pergi bertanya kepada temannya mengapa dia menikahi wanita itu meskipun dia melihat wanita itu mencium seorang pria, dan temannya mengatakan kepadanya bahwa pria yang diciumnya adalah ayahnya. Meskipun dia mengatakan yang sebenarnya tentang wanita yang mencium seorang pria, niatnya adalah untuk menipu Maimūn, dan karena itu dia telah menutupi keseluruhan informasi yang sebenarnya sehingga menyesatkan Maimūn.
  • Menyesatkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang merugikan mereka karena Anda tidak ingin mereka mengganggu kesuksesan Anda.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Jika ada seorang penguasa yang memiliki otoritas untuk mengatur umat Islam meninggal dunia sementara dia menipu mereka, Allah akan mengharamkan surga baginya”. [al-Bukhārī] Meskipun hadits ini mengacu pada mereka yang berada dalam posisi pemerintahan atau kepemimpinan, kita harus memikirkannya secara pribadi dan mempertimbangkan hubungan kita dengan orang-orang yang berada di bawah otoritas kita.

4. Penipuan dalam melamar pekerjaan

  • Menonjolkan kelebihan Anda saat melamar pekerjaan diperbolehkan selama hal itu masih dalam batas-batas yang dapat diterima. Misalnya, jika Anda dengan tulus menganggap diri Anda sebagai orang yang bertanggung jawab atau pemimpin yang baik, tidak masalah jika Anda sedikit melebih-lebihkan deskripsi tentang diri Anda selama Anda tidak menipu. Hal ini menjadi tidak diperbolehkan jika Anda melangkah keluar dari batasan dengan berbohong atau menipu mengenai pendidikan, kualifikasi, atau karakteristik Anda.
  • Area abu-abu seperti ini dibatasi oleh ketakwaan. Sebagai contoh, ketika Nabi Yusuf n mengajukan diri untuk jabatan menteri di pemerintahan Fir’aun, ia memuji keahlian dan pengetahuannya dengan cara yang dapat diterima dan tidak melebih-lebihkan atau memalsukan keahliannya.
  • Mengaku bahwa Anda adalah orang yang sabar atau tenang, padahal Anda tahu betul bahwa Anda tidak sabar, adalah sebuah kebohongan besar. Melakukan hal tersebut untuk mencoba mendapatkan pekerjaan adalah menipu dan dapat menimbulkan masalah jika Anda ditawari pekerjaan dan ditempatkan pada posisi yang mengharuskan Anda menunjukkan kesabaran.

Para ahli telah menyebutkan bahwa ada tiga masalah utama yang muncul akibat penipuan:

1. Kita tidak mempedulikan Dia yang mengawasi kita. Kita percaya bahwa kita telah berhasil menipu orang lain, tetapi kita gagal menyadari bahwa Allah tidak dapat ditipu. Sikap ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan Tuhan dan kelemahan iman yang signifikan karena kita merasa bahwa kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban di dunia ini.

2. Kita merugikan orang lain dengan menjual produk yang cacat atau menipu mereka dengan penampilan yang palsu.

3. Kita mematikan kejujuran dengan cara-cara curang kita, sehingga menyulitkan orang-orang yang berbisnis dengan jujur untuk mencari nafkah. Hal ini menciptakan budaya curang dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam penipuan karena semua orang melakukannya dan hal itu telah menjadi norma dalam masyarakat.

Kita harus mengingat Hadits Nabi ﷺ untuk membantu kita menjauh dari melakukan apa pun yang melibatkan kecurangan atau penipuan atau hal-hal yang dapat membuat kita menjadi bagian dari orang-orang yang tidak benar. Yang tak kalah penting, perlu dicatat bahwa aturan-aturan ini berlaku untuk semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim. Tidak dapat diterima untuk melakukan penipuan, kecurangan, atau memperdaya siapa pun.

Semoga Allah melindungi kita dari menggambarkan diri kita sebagai sesuatu yang tidak benar, menipu atau mengelabui orang dengan penampilan atau memperdaya siapapun. Semoga Allah juga mengampuni kita atas kekurangan kita dan membimbing kita menuju praktik-praktik terbaik untuk diri kita sendiri dan komunitas kita. Āmīn.

 

__________________

Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman

Komentar