Bagian 20
TUNTUNAN NABI TENTANG LINGKUNGAN KERJA DAN PERLAKUAN TERHADAP KARYAWAN
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering”.
DALAM BAB INI kita akan melihat hubungan antara pemberi kerja dan pekerja, dengan fokus utama pada hak-hak pekerja. Pada bab berikutnya kita akan lebih fokus pada hak-hak pemberi kerja. Dua hadits yang akan saya bagikan diriwayatkan oleh Sahabat yang sama, dan menarik untuk dicatat dimana topik-topik tertentu diriwayatkan oleh seorang Sahabat Nabi ﷺ secara khusus. Anda dapat mengaitkan kepribadian para Sahabat ini dengan pokok bahasan jika ada konsistensi dalam hadits yang diriwayatkan.
Hadits pertama diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar h : Rasulullah ﷺ bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah).
Hadits ini sangat terkenal tetapi jarang dibicarakan dalam aplikasi modern. Perintah yang diberikan oleh Nabi ﷺ adalah sebuah metafora; segera setelah pekerjaan selesai, mereka harus dibayar. Membayar seseorang sebelum mereka menyelesaikan pekerjaannya adalah bentuk keunggulan (iḥsān) dan akan menjadi bentuk ketidakadilan jika Anda tidak membayar mereka setelah mereka menyelesaikan pekerjaannya. Telah dikatakan bahwa, tidak diperbolehkan untuk menunda dan menangguhkan pembayaran ketika seseorang mampu membayar pekerjanya.
Ketika kita mencoba menerapkan hadits ini dalam lingkungan modern, misalnya dalam lingkungan perusahaan, terlihat jelas bahwa tidak ada seorang pun yang akan berkeringat ketika duduk di kursi kantor. Namun, mereka tetap harus dibayar tepat waktu, segera setelah mereka menyelesaikan pekerjaan mereka, dan bahkan lebih baik lagi untuk membayar mereka sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Penundaan gaji oleh orang kaya adalah bentuk kezaliman.”
Meskipun dalam keadaan tertentu mungkin seseorang tidak dapat memberikan pembayaran penuh dalam satu kali pembayaran, mereka dapat membuat kesepakatan dengan karyawan mereka, sehingga hal tersebut menjadi halal. Namun, hadits-hadits tersebut difokuskan pada majikan yang menahan pembayaran secara sewenang-wenang dan sebagai bentuk keserakahan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Orang yang menunda-nunda pembayaran padahal dia mampu membayar, maka ada dua hal yang dihalalkan. Pertama adalah reputasinya, dan kedua adalah hukuman”. Tidak termasuk ghibah untuk membicarakan kezaliman majikan kepada karyawannya, karena itu adalah sarana untuk memperingatkan orang lain. Namun, apa yang kita katakan harus dibatasi hanya sekedar untuk melindungi orang lain agar tidak menjadi korban kezaliman mereka. Sebagaimana dibolehkannya membicarakan reputasi orang tersebut, maka hukuman juga dibolehkan bagi mereka. Para ulama mengatakan bahwa jenis hukuman yang diperbolehkan adalah penahanan; hal ini revolusioner dalam arti bahwa pada saat itu hukum tebang pilih merupakan hal yang biasa, dimana orang miskin dihukum sementara orang kaya dibebaskan.
Ada sebuah bab dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī yang dikhususkan membahas tentang dosa orang yang tidak membayar gaji karyawannya, dan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah: Nabi ﷺ bersabda, Allah telah berfirman, “Aku akan menjadi lawan bagi tiga jenis orang pada hari kiamat. Yang pertama adalah orang yang membuat perjanjian atas nama-Ku namun terbukti berkhianat. Yang kedua, seseorang yang menjual orang yang merdeka dan menyimpan harganya. Yang ketiga, seseorang yang mempekerjakan seorang pekerja dan mengambil tenaganya tetapi tidak membayarnya”. Hadits ini menggambarkan betapa besarnya dosa jika tidak membayar karyawan atau buruh tepat waktu. Melalaikan pembayaran gaji karyawan akan membuat Allah memusuhi kita di Hari Kiamat, dan jika Allah sendiri telah mengatakan bahwa Dia akan memusuhi orang seperti itu, maka kesempatan apa yang kita miliki untuk masuk ke dalam Surga? Kita tidak mengetahui kebutuhan pekerja; mereka mungkin terlalu malu untuk mengatakan kepada kita bahwa mereka perlu melakukan pembayaran untuk sesuatu yang lain atau mereka mungkin khawatir bahwa jika mereka meminta kita secara langsung untuk mendapatkan upah yang seharusnya, kita mungkin tidak akan mempekerjakan mereka lagi. Kita tidak dapat berasumsi bahwa diamnya mereka merupakan persetujuan atas keterlambatan pembayaran kita dan harus berusaha untuk setidaknya memberikan pembayaran tepat waktu jika kita tidak dapat menunjukkan kemuliaan dengan membayar mereka lebih awal.
Hadits lain dari Abū Sa’id al-Khudrī meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang mempekerjakan seseorang untuk bekerja untuknya, maka ia harus menyebutkan upahnya terlebih dahulu”. (HR. Baihaqi). Dilarang membicarakan upah setelah pekerjaan dimulai; bahkan jika kita membuat kontrak lisan sederhana dengan seseorang, kita harus menentukan pembayaran sebelumnya. Tidak boleh ada ruang untuk kekecewaan atau perdebatan saat menandatangani kontrak dan karyawan harus diberikan hak mereka sepenuhnya. Kita akan menzalimi orang tersebut jika kita tidak menentukan upahnya terlebih dahulu; jika mereka mulai melakukan pekerjaan dan kita memutuskan berapa upahnya di tengah-tengah pekerjaan tersebut, bisa saja upahnya tidak cukup, tetapi mereka tidak tega untuk berhenti melakukan pekerjaan yang sudah mereka mulai, atau kondisi keuangan mereka sangat buruk sehingga mereka menerimanya.
Kita tidak dapat membuat asumsi tentang upah yang pantas; baik kita mengenal orang tersebut atau tidak, baik orang tersebut Muslim atau tidak.
Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa tindakan santun ini tidak hanya berlaku di kalangan umat Islam; kita tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan non-Muslim. Beliau mengajarkan kepada kita bahwa etika kerja lebih dari sekadar upah, dan beliau berbicara terutama tentang mu’āhid. Seorang mu’āhid adalah seseorang yang memiliki perjanjian -mereka adalah orang-orang yang dilindungi yang merupakan non-Muslim yang tinggal di tanah Muslim. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amar, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menganiaya seorang mu’āhid, melanggar hak-haknya, membebaninya dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya, atau mengambil sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, maka aku akan menuntutnya pada hari kiamat.” (Abū Dāwūd).
Ini adalah pernyataan yang sangat tegas dari Nabi ﷺ karena beliau akan menuntut seseorang dari pengikutnya (umatnya) sendiri karena mereka menganiaya atau menyakiti seorang non-Muslim. Hadits ini juga melibatkan konsep tenaga kerja karena Nabi ﷺ menyebutkan membebani mereka, dan membebani seseorang dengan lebih dari yang dapat mereka tanggung adalah dilarang.
Belas kasihan adalah bagian penting dalam Islam dan kita diajarkan untuk tidak mengambil keuntungan dari orang lain, atau menahan hak-hak mereka, melainkan berusaha untuk memperlakukan orang lain dengan kebaikan (iḥsān). Konsep pensiun bagi para lansia pertama kali diperkenalkan dalam sistem Islam oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb h. Beliau berkata, “Kaum macam apa yang membiarkan seorang pria tidak berdaya di masa tuanya setelah mendapatkan pelayanan darinya di masa mudanya?”.
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda, “Para pelayan kalian adalah saudara kalian. Allah telah menempatkan mereka di bawah tanggung jawab kalian. Barangsiapa yang memiliki seseorang di bawah tanggung jawabnya, maka hendaklah ia memberi mereka makan dengan makanan yang sama dengan yang ia makan, memberi mereka pakaian yang sama dengan yang ia kenakan, dan tidak membebani mereka di luar batas kemampuan mereka. Dan jika kamu melakukannya, kamu harus membantu mereka”. (HR. Bukhari). Nabi ﷺ tidak hanya memerintahkan kita untuk memperlakukan pelayan dengan baik; beliau menegaskan bahwa kita tidak boleh membebani mereka dengan sesuatu yang tidak dapat mereka tanggung, dan jika kita membebani mereka dengan sesuatu yang sulit, maka kita harus memastikan bahwa kita membantu mereka dalam mengerjakan tugas tersebut.
Etika ketenagakerjaan lebih dari sekadar upah, tetapi juga mencakup cara kita berbicara dengan mereka, cara kita berurusan dengan mereka, dan cara kita menghormati mereka. Banyak ulama yang menyebutkan sebuah hadits khusus ketika berbicara tentang tempat kerja, atau hubungan antara pemberi kerja dan pekerja. Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang berkata: “Saya melayani Nabi ﷺ selama sepuluh tahun. Tidak pernah beliau mencela saya. Beliau juga tidak pernah mengkritik sesuatu yang saya lakukan. Beliau tidak pernah mengatakan mengapa kamu melakukan itu atau bertanya mengapa kamu tidak melakukan itu”. (HR. Bukhari dan Muslim). Apa yang kita pelajari di sini adalah bahwa Nabi ﷺ tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kesal atau jengkel kepada Anas, dan juga tidak pernah mengkritik bagaimana Anas melakukan sesuatu. Jika Nabi ﷺ menginginkan sesuatu dilakukan dengan cara tertentu, beliau memiliki cara untuk menyampaikan pesan tersebut tanpa merendahkan Anas yang telah mulai melayani Nabi ﷺ ketika ia masih kecil. Jika Nabi ﷺ memperlakukan seorang anak dengan penuh kehormatan, kita harus bertanya pada diri kita sendiri, apa artinya hal ini bagi seorang karyawan dewasa?
Hadits tersebut mengajarkan kita untuk tidak terlalu menuntut karyawan. Kita harus bersikap lunak dan sabar; kita harus berusaha menyampaikan keinginan atau kebutuhan kita dengan cara yang bermartabat. Hadits ini juga menyadarkan kita bahwa sering kali seseorang yang berada dalam posisi berkuasa di tempat kerja, akan pulang ke rumah dan berbicara dengan pasangannya dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap karyawannya. Ketika kita terus-menerus berada dalam posisi berkuasa, kita bisa saja mulai melihat diri kita lebih unggul daripada orang lain dan dengan demikian hal itu menjadi masalah kesombongan.
Dalam sebuah hadits, Nabi ﷺ bersabda: “Seseorang tidak akan memiliki kesombongan jika ia melakukan tiga hal ini: seseorang yang makan bersama pelayannya (atau karyawannya), seseorang yang mengendarai keledai di pasar (bukan unta atau kuda, tetapi kendaraan yang sederhana), dan seseorang yang mengikat dombanya sendiri dan memerah dombanya sendiri”. (HR. Bukhari). Rasulullah ﷺ biasa duduk bersama Anas bin Malik di lantai untuk makan; beliau memberi contoh dan menunjukkan kepada kita bagaimana kita harus merendahkan diri. Kita mungkin tidak berada dalam masyarakat di mana kita menggunakan kuda dan unta untuk bepergian setiap hari, tetapi merendahkan diri dengan berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum daripada menggunakan mobil mewah kita, akan membantu menyelamatkan diri kita dari kesombongan. Kita harus berusaha keras untuk menghilangkan kesombongan dan keangkuhan dari diri kita sendiri. Jika kita mulai memandang diri kita sebagai orang yang secara bawaan lebih unggul sebab orang lain lebih rendah dari segi kontrak, maka kita berisiko memperlakukan mereka secara zalim dan menghancurkan diri kita sendiri dalam prosesnya. Hal ini membuka jalan untuk tumbuhnya kesombongan yang membahayakan kita secara spiritual.
Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kita bahwa kita harus menunjukkan penghargaan kepada mereka yang bekerja untuk kita. Beliau menunjukkan penghargaan kepada seorang wanita yang biasa membersihkan masjid bahkan setelah ia meninggal dunia. Contoh lainnya adalah Rabī’ah bin Ka’b al-Aslamī yang biasa melayani Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi ﷺ berkata kepadanya, “Mintalah kepadaku apa saja yang kamu inginkan”, dan Rabī’ah berkata bahwa ia ingin menemani Nabi ﷺ di surga. Dia jelas merasa dihargai setelah bertahun-tahun melayani Rasulullah, oleh karena itu dia tidak dapat memikirkan hal lain untuk diminta.
Allah juga berfirman dalam surah al-Syu’arā’ [26] ayat 183: “Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi”. Ayat ini sangatlah berkesan dan para ulama mengatakan bahwa ada korelasi antara orang yang menahan upah dan orang yang menebar kerusakan (korupsi), jarang sekali kita dapat menemukan orang yang menahan upah yang tidak terlibat korupsi. Jika seseorang tidak menunjukkan rasa hormat kepada orang yang bekerja untuk mereka, atau tidak memberikan hak mereka, kemungkinan besar kesombongan mereka juga akan berperan dalam tindakan korupsi dengan cara lain.
Terakhir, hadits yang ingin saya sampaikan sebagai penutup bab ini adalah sebuah hadits yang sangat indah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar: “Ada tiga orang laki-laki yang berasal dari umat terdahulu, mereka masuk ke dalam sebuah gua dan ada sebuah batu besar yang menghalangi pintu masuk gua tersebut. Mereka saling menasehati satu sama lain untuk berdoa dengan sebuah kebaikan yang telah mereka lakukan di jalan Allah dengan harapan batu besar itu akan bergeser. Dua orang pertama berdoa dan batu besar itu pun bergerak, tetapi tidak cukup untuk mereka keluar dari gua. Orang ketiga berdoa dan berkata, ‘Ya Allah, saya mempekerjakan banyak pekerja dan saya memberikan upah kepada mereka tepat waktu. Namun ada seorang pekerja yang tidak sempat saya bayar karena dia menghilang, jadi saya menginvestasikan upah tersebut untuknya. Dari investasi kecil itu, Allah memberkati saya dengan berbagai macam properti (tanah, ternak, dll). Ketika orang itu kembali, ia berkata, ‘Wahai Hamba Allah, bayarlah hutangmu kepadaku’. Dan aku berkata, ‘Engkau lihat semua ini, ini semua milikmu’. Dia berkata, ‘Apakah engkau mempermainkanku?’ Aku berkata, ‘Aku telah menginvestasikannya untukmu, jadi ambillah. Ini semua milikmu’. Ya Allah, jika aku melakukan hal itu hanya untuk mencari keridhaan-Mu, maka hilangkanlah kesulitan ini dari kami’. Dan karena itu, batu besar itu pun bergeser dan jalan pun terbuka.” (HR. Bukhari).
Ini adalah contoh yang luar biasa tentang seorang pria yang memenuhi amanahnya dan mengembalikannya dengan kesempurnaan (iḥsān). Ia mengambil upah orang yang telah bekerja untuknya dan menginvestasikannya sehingga terus bertambah dan kemudian mengembalikannya kepadanya ketika ia datang untuk mengambil upahnya. Meskipun hanya upah awal yang menjadi haknya, sang majikan bertindak dengan ketulusan murni dan memberikan segala sesuatu yang telah dihasilkan dari investasi kecil itu kepada orang tersebut. Majikan itu bisa saja memberikan upah aslinya dan mengambil manfaat dari harta tersebut, tetapi ia sadar akan Allah dan melakukan tindakan yang sangat baik.
Semoga Allah menjadikan kita adil dalam segala urusan kita, dan semoga Allah melindungi kita dari menzalimi orang lain atau dizalimi. Āmīn.
__________________
Diterjemahkan dari buku “40 on Justice – The Prophetic Voice for Social Reform ” oleh Omar Suleiman